Rambu Rambu Dalam Mengamalkan Kaidah Fiqih: Yang Haram Menjadi Boleh Ketika Darurat…

Rambu rambu dalam mengamalkan kaidah fiqih:
yang haram menjadi boleh ketika darurat.

1. Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.

Maknanya, sesuatu yang membahayakan lima pokok dasar –yang telah disinggung di atas- itu secara yakin atau prediksi kuat telah atau akan terjadi. Di mana kalau tidak menerjang yang haram, maka akan membinasakannya atau minimalnya mendekati kebinasaan.

Atas dasar ini, sesuatu yang hanya prasangka belaka atau masih diragukan, tidak bisa dijadikan dasar dalam menentukan kondisi darurat.

Dalil syarat ini:
Allah mencela prasangka, dalam firman-Nya:

ﺇِﻥَّ ﺑَﻌۡﺾَ ﭐﻟﻈَّﻦِّ ﺇِﺛۡﻢٌ۬ۖ

Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa . (QS. Al-Hujurot [49]: 12)

Dalam suatu hadits diriwayatkan: Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, kami berada di sebuah negeri yang terkena paceklik, maka bangkai apa yang halal untuk kami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Apabila kalian tidak menyiapkannya sebagai sarapan pagi atau makan sore, maka silakan memakannya.” (HR. Ahmad: 1600 dan dishahihkan oleh Hakim 4/125)

Kaidah umum dalam syari’at Islam, bahwa banyak hukum yang dikaitkan dengan kondisi yakin atau predikat kuat. Namun, jika hanya prasangka belaka maka sama sekali tidak digubris.

2. Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.

Maknanya bahwa bahaya itu tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara haram, dan tidak ada satu pun cara halal yang bisa mengatasinya. Namun, apabila ditemukan cara yang halal meskipun dengan kualitas di bawahnya, maka harus dan wajib menggunakan cara halal tersebut.

Dalil syarat ini, firman Allah Ta’ala:

ﻓَﭑﺗَّﻘُﻮﺍْ ﭐﻟﻠَّﻪَ ﻣَﺎ ﭐﺳۡﺘَﻄَﻌۡﺘُﻢۡ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu . (QS. At-Taghobun [64]:16)

Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang harus mengerahkan apa yang dia mampu untuk bertaqwa pada Allah, dan dalam masalah ini untuk meninggalkan yang haram. Apabila ada cara yang dihalalkan maka sama sekali tidak boleh yang haram, dan tidak ada alasan darurat.

Dari Jabir bin Samuroh radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seseorang yang tinggal di sebuah lembah bersama istri dan anaknya. Lalu ada seseorang yang berkata (kepadanya): “Untaku hilang, jika engkau menemukannya maka ikatlah.” Dan laki-laki itupun menemukannya namun tidak menemukan pemiliknya. Lalu unta itu sakit. Istrinya berkata: “Sembelihlah ia.” Namun suaminya tidak mau, sehingga unta itu mati, lalu istrinya berkata: “kulitilah sehingga kita bisa membuat dendeng dagingnya lalu kita makan.” Dia menjawab: “ Saya tidak akan melakukannya hingga saya bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .” Setelah ditanyakan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau balik bertanya: “Apakah engkau memiliki lainnya?” Dia menjawab: “Tidak” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Makanlah.” (Hasan. HR. Abu Dawud: 3816)

3. Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja.

Maksudnya bolehnya melakukan yang terlarang saat kondisi darurat tersebut, hanya sekadar untuk menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya saja. Jika bahaya tersebut sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukannya. Allah berfirman:

ﻓَﻤَﻦِ ﭐﺿۡﻄُﺮَّ ﻏَﻴۡﺮَ ﺑَﺎﻍٍ۬ ﻭَﻟَﺎ ﻋَﺎﺩٍ۬ ﻓَﻠَﺎٓ ﺇِﺛۡﻢَ ﻋَﻠَﻴۡﻪِۚ ﺇِﻥَّ ﭐﻟﻠَّﻪَ ﻏَﻔُﻮﺭٌ۬ ﺭَّﺣِﻴﻢٌ

Barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang . (QS.al-Baqarah [2]: 173)

Atas dasar ini, orang kelaparan yang kalau tidak makan bangkai akan meninggal dunia maka boleh makan sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Tidak boleh sampai kenyang.

4. Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat tersebut.

Artinya, kalau kondisi itu sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukan perkara terlarang tersebut. Itulah yang sering diistilahkan oleh para ulama dalam sebuah kaidah: “ Apa yang boleh dilakukan karena ada udzur, maka akan batal apabila udzur itu sudah tidak ada .”

Contoh: orang yang tidak menemukan air atau tidak bisa menggunakan air boleh bertayamum, namun kalau kemudian ada air maka tidak lagi tayamum dan harus berwudhu. Begitu pula jika sudah bisa menggunakan air, maka tidak boleh lagi bertayamum.

5. Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.

Badru Salam, حفظه الله تعالى

Tentang Administrator Mahad

Cek Juga

KOK BERAT..?

Bulan ramadhan adalah bulan yang dilipat-gandakan amal.. Namun sebagian orang merasa berat untuk melaksanakan amal …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *