Rosulullah shollallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلاَئِكَتِهِ قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِى فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيَقُولُ قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيَقُولُ مَاذَا قَالَ عَبْدِى فَيَقُولُونَ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ فَيَقُولُ اللَّهُ ابْنُوا لِعَبْدِى بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ الْحَمْدِ
“Apabila mati anak seorang hamba, maka Allah berkata kepada para malaikatnya, “kalian telah mencabut ruh anak hambaku..”
Mereka menjawab, “iya..”
Allah berkata, “kalian telah mengambil buah hatinya..”
Mereka berkata: “iya..”
Maka Allah berkata, “apa yang dikatakannya..?” (dan Allah Maha Tahu apa yang dikatakannya)
Mereka menjawab, “dia memujimu dan mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilayhi rooji’uun..”
Allah pun berkata, “bangunlah untuknya sebuah rumah di surga, dan namakan rumah pujian (Al-Hamdu)..”
[HR. At-Tirmidzi dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 1408]
Al-Munawi rohimahullah berkata,
أن الأسقام والمصائب لا يثاب عليها لأنها ليست بفعل اختياري بل هو على الصبر وهو ما عليه ابن السلام وابن القيم قالا فهو إنما نال ذلك البيت بحمده واسترجاعه لا بمصيبته
“Hadits ini menunjukan bahwa penderitaan dan musibah tidaklah diberikan pahala begitu saja, sebab ia bukan perbuatan berdasarkan pilihan, tetapi pahala diberikan karena KESABARAN, inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnus Salam dan Ibnul Qoyyim, mereka berdua berkata: “Dia mendapatkan rumah di surga itu karena pujiannya dan ucapan Innaa lillaahi wa innaa ilayhi rooji’uun, bukan semata karena musibahnya..”
[Faidhul Qodhir, 1/564]
Para ulama menyebutkan bahwa seseorang dalam menghadapi musibah ada empat keadaan.
KEADAAN PERTAMA adalah murka (marah) yaitu seseorang menampakkan rasa marah baik pada lisan, hati atau anggota badannya. Seseorang yang murka pada Allah dalam hatinya yaitu dia merasa benci (murka) pada Allah dan dia merasa bahwa Allah telah menzholiminya dengan ditimpakan suatu musibah. –Kita berlindung pada Allah dari perbuatan semacam ini-
Adapun seseorang merasa murka lisannya seperti dia mencaci maki waktu (masa) sehingga menyakiti Allah. Dalam shohih Muslim, Rosulullah shollallahu ’alayhi wa sallam bersabda,
“Allah ’Azza wa Jalla berfirman, ’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang..” (HR. Muslim no. 6000)
Sedangkan murka dengan anggota badannya adalah seperti seseorang menampar-nampar pipinya, memukul-mukul kepalanya sampai merobek-robek bajunya atau semacam itu. Dalam hadits disebutkan mengenai orang yang melakukan kelakukan tidak sabar dengan merusak diri. Rosulullah shollallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang menampar pipi (wajah), merobek saku, dan melakukan amalan Jahiliyah..” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103).
Perbuatan tersebut termasuk niyahah dan ancamannya berat. Niyahah termasuk larangan bahkan dosa besar karena diancam dengan hukuman (siksaan) di akhirat kelak. Rosulullah shollallahu ’alayhi wa sallam bersabda,
“Empat hal yang terdapat pada umatku yang termasuk perbuatan jahiliyah yang susah untuk ditinggalkan :
(1) membangga-banggakan kebesaran leluhur,
(2) mencela keturunan,
(3) mengaitkan turunnya hujan kepada bintang tertentu, dan
(4) meratapi mayit (niyahah)
Lalu beliau bersabda, “Orang yang melakukan niyahah bila mati sebelum ia bertaubat, maka ia akan dibangkitkan pada hari kiamat dan ia dikenakan pakaian yang berlumuran dengan cairan tembaga, serta mantel yang bercampur dengan penyakit gatal..” (HR. Muslim no. 934).
KEADAAN KEDUA adalah sabar dengan menahan diri terhadap musibah yang dihadapi. Keadaan kedua ini adalah dia merasa benci dengan musibah dan tidak pula menyukai kejadian seperti itu terjadi tetapi dia menahan diri dengan tidak menggerutu dengan lisannya yang bisa membuat Allah murka padanya, dia juga tidak marah sehingga memukul-mukul anggota badannya, dia juga tidak menggerutu dalam hatinya.
KEADAAN KETIGA adalah ridho terhadap musibah. Yaitu seseorang merasa lapang hatinya dengan musibah yang menimpa, dia betul-betul ridho dan seakan-akan dia tidak mendapatkan musibah. Hukum sabar adalah wajib dan ridho adalah mustahab (dianjurkan).
KEADAAN KEEMPAT adalah bersyukur kepada Allah atas musibah yang menimpa.
Keadaan seperi inilah yang dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alayhi wa sallam ketika melihat (mendapatkan) sesuatu yang dia sukai, beliau shollallahu ‘alayhi wa sallam mengucapkan,
“Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat – Segala puji hanya milik Allah yang dengan segala nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna.’ Dan ketika beliau mendapatkan sesuatu yang tidak disukai, beliau shollallahu ‘alayhi wa sallam mengucapkan,
“Alhamdulillah ‘alaa kulli hal – segala puji hanya milik Allah atas setiap keadaan..” (HR. Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Keadaan terakhir inilah tingkatan tertinggi dalam mengahadapi musibah yaitu seseorang malah mensyukuri musibah yang menimpa dirinya. Keadaan seperti inilah yang didapati pada hamba Allah yang selalu bersyukur kepada-Nya, dia melihat bahwa di balik musibah dunia yang menimpanya ada lagi musibah yang lebih besar yaitu musibah agama. Dan ingatlah musibah agama tentu saja lebih berat daripada musibah dunia karena azab (siksaan) di dunia tentu saja masih lebih ringan dibandingkan siksaan di akhirat nanti. Karena musibah dapat menghapuskan dosa, maka orang semacam ini bersyukur kepada Allah karena dia telah mendapatkan tambahan kebaikan.
Nabi shollallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,
“Tidaklah rasa capek, rasa sakit (yang terus menerus), kekhawatian, rasa sedih, bahaya, kesusahan menimpa seorang muslim sampai duri yang menusuknya kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan musibah tersebut..” (HR. Bukhari no. 5641)
wallahu ta’ala a’lam