Banyak diantara kita yang terjebak dan tercebur dalam kubangan dunia, sehingga sulit untuk keluar darinya. Sehingga hidupnya habis untuk mencari dunia. Orang yang demikian tertipu oleh dunia dan lupa akan kehidupan yang lebih kekal yaitu akhirat.
Tujuan kita adalah akhirat
Padahal tujuan hidup kita adalah akhirat. Bahkan sejak awal kita diciptakan Allah Ta’ala telah menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir manusia. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Orang yang ambisinya bukan akhirat, ia akan merugi selama-lamanya di akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahannam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir” (QS. Al-Isra’: 18).
Allah Ta’ala juga berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan (balasan) penuh atas pekerjaan mereka di dunia (dengan sempurna) dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu) di akhirat kecuali neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan (di dunia) dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Hud: 15-16).
Orang yang ambisinya adalah dunia, akan Allah cerai-beraikan urusannya di dunia. Allah jadikan dunia semakin menyibukkan ia. Rasûlullâh Shallallahu’alaihi Wasallambersabda:
مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.
“Barangsiapa ambisi terbesarnya adalah dunia, maka Allah akan cerai-beraikan urusannya, Allah jadikan kefaqiran di depan matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali sesuai apa yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang ambisi terbesarnya adalah akhirat, Allah akan memudahkan urusannya, Allah jadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam ia tidak menyangkanya” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah no. 950).
Dunia itu hina, akhirat itu mulia
Jika kita membaca dan merenungi ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam maka kita temukan semuanya menghinakan perkara dunia dan memuliakan perkara akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Ali ‘Imran: 185).
Juga ayat lainnya:
إِنَّمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ
“sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal” (QS. Al Mu’min: 39).
Allah Ta’ala berfirman:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
“Bahkan kalian mengutamakan kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal” (QS. Al-A’la: 16-17)
Kenikmatan duniawi tidak lebih berharga dari sehelai sayap nyamuk. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لَوْ كَانَتِ الدنيا تَعْدِلُ عندَ اللهِ جَناحَ بَعُوضَةٍ ، ما سَقَى كافرًا مِنْها شَرْبَةَ ماءٍ
“Andai nikmat dunia itu setara dengan sayap nyamuk di sisi Allah, niscaya orang kafir tidak akan diberikan nikmat dunia sekadar air minum walaupun hanya seteguk” (HR. Tirmidzi no.3240, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Kenikmatan duniawi lebih hina di sisi Allah dari bangkai kambing yang cacat. Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu:
رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ مرَّ بالسوقِ ، داخلًا من بعضِ العاليةِ ، والناسُ كنفتْهُ . فمرَّ بجديٍ أسكَّ ميتٍ . فتناولَه فأخذ بأذنِه . ثم قال ” أيكم يحبُّ أنَّ هذا لهُ بدرهمٍ ؟ ” فقالوا : ما نحبُّ أنَّهُ لنا بشيٍء . وما نصنعُ بهِ ؟ قال ” أتحبون أنَّهُ لكم ؟ ” قالوا : واللهِ ! لو كان حيًّا ، كان عيبًا فيهِ ، لأنَّهُ أسكُّ . فكيف وهو ميتٌ ؟ فقال ” فواللهِ ! للدنيا أهونُ على اللهِ ، من هذا عليكم “
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjalan melewati pasar. Beliau berjalan melewati beberapa dataran tinggi, ketika banyak orang berada di sekitar beliau. Lalu beliau berjalan melewati bangkai anak kambing yang telinganya cacat. Beliau memegang telinga bangkai tersebut lalu bersabda, “Adakah diantara kalian yang berkenan bangkai ini seharga satu dirham?”. Para sahabat menjawab “Sama sekali tidak tertarik kepadanya. Dan apa yang bisa kami lakukan dengannya?”. Nabi bersabda, “Apakah kalian mau jika bangkai ini (gratis) menjadi milik kalian?”. Para sahabat menjawab, “Demi Allah, andai ia hidup, ia dalam keadaan cacat, karena telinganya cacat, maka apalagi jika ia sudah jadi bangkai?”. Lalu Nabi bersabda: “Demi Allah, sungguh dunia bagi kalian itu lebih hina dari bangkai ini di sisi Allah” (HR. Muslim no. 2957)
Perkara dunia itu asalnya terlaknat, kecuali yang membuat kita ingat kepada Allah dan kepada akhirat, belajar ilmu agama serta mengajarkannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ألا إنَّ الدُّنيا ملعونةٌ ملعونٌ ما فيها ، إلَّا ذِكرُ اللَّهِ وما والاهُ ، وعالِمٌ ، أو متعلِّمٌ
“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu terlaknat. Semua yang ada di dalamnya terlaknat kecuali dzikrullah serta orang yang berdzikir, orang yang berilmu agama dan orang yang mengajarkan ilmu agama” (HR. At Tirmidzi 2322, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما ذئبانِ جائعانِ أُرسلا في غنمٍ، بأفسدَ لها من حرصِ المرءِ على المالِ والشرفِ، لدِينه
“Dua ekor serigala yang dilepas kepada seekor kambing, itu tidak lebih rusak daripada ambisi manusia terhadap harta dan kedudukan, yang merusak agamanya” (HR. At Tirmidzi no. 2376, ia berkata: “hasan shahih”).
Kenikmatan hakiki di akhirat
Allah menjadikan rahmat 100 bagian, 1 bagian di dunia, 99 bagian di akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
جعلَ اللَّهُ الرَّحمةَ فى مائةِ جُزءٍ ، فأمسَك عندَه تِسعَةً وتسعينَ جُزءًا ، وأنزلَ فى الأرضِ جُزءًا واحِدًا ، فمِنْ ذلِك الجزءِ يتراحَمُ الخلقُ حتَّى تَرفعَ الفرسُ حافِرَها عن ولدِها ، خَشيةَ أن تصيبَهُ
“Allah menjadikan rahmat-Nya 100 bagian, Ia menyimpan 99 bagian darinya dan menurunkan 1 bagian saja ke dunia. Dari 1 bagian rahmat inilah semua makhluk mendapatkan rahmat, sampai-sampai kuda yang (diberi ilham untuk) mengangkat kakinya agar tidak menginjak anaknya (itu karena rahmat Allah)” (HR. Bukhari no. 6000, Muslim no. 2752).
Dunia itu remeh dan sedikit dibandingkan akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
وَاللهِ مَا الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ – فِي الْيَمِّ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِعُ
“Tiadalah dunia dibanding akhirat melainkan hanyalah seperti air yang menempel di jari ketika salah seorang dari kalian mencelupkannya di laut” (HR. Muslim no.2858).
Oleh karena itu, orang yang cerdas tentunya adalah orang yang mencari akhirat, bukan mencari dunia. Ketika seorang sahabat dari Anshar bertanya:
يا رسولَ اللَّهِ أيُّ المؤمنينَ أفضلُ ؟ قالَ : أَحسنُهُم خُلقًا ، قالَ : فأيُّ المؤمنينَ أَكْيَسُ ؟ قالَ : أَكْثرُهُم للمَوتِ ذِكْرًا ، وأحسنُهُم لما بعدَهُ استِعدادًا ، أولئِكَ الأَكْياسُ
“Wahai Rasulullah, orang Mu’min mana yang paling utama? Nabi menjawab: yang paling baik akhlaknya. Orang Anshar bertanya lagi: lalu orang Mu’min mana yang paling cerdas? Nabi menjawab: yang paling banyak mengingat mati, dan yang paling baik dalam menyiapkan bekal untuk akhiratnya, itulah orang-orang yang cerdas” (HR. Ibnu Majah no. 3454, dihasankan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Mencari dunia itu sekedarnya
Lalu apakah tidak boleh mencari harta dunia? Boleh, namun mencari kenikmatan dunia itu sekedarnya yang dapat menegakkan tulang punggung kita, membantu kita meraih akhirat, membantu kita melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menghindarkan kita dari yang terlarang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:
ما ملأَ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطنٍ حسْبُ الآدميِّ لقيماتٌ يُقِمنَ صلبَهُ فإن غلبتِ الآدميَّ نفسُهُ فثُلُثٌ للطَّعامِ وثلثٌ للشَّرابِ وثلثٌ للنَّفَ
“Tidak ada bejana yang lebih buruk yang diisi manusia kecuali perutnya. Hendaknya cukup baginya untuk memakan beberapa suapan yang sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika ia masih ingin lebih, maka hendaknya ia isi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya” (HR. At Tirmidzi no. 2380, ia berkata: “hasan shahih”).
Dan pemilik harta dipuji jika ia gunakan hartanya untuk mencari akhirat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنما الدنيا لأربعةِ نفرٍ ؛ عبدٌ رزقَه اللهُ مالًا و علمًا فهو يتَّقي فيه ربَّه ، و يصِلُ فيه رَحِمَه ، و يعلمُ للهِ فيه حقًّا ، فهذا بأفضلِ المنازلِ ، و عبدٌ رزقَه اللهُ علمًا ، و لم يرزقْه مالًا ، فهو صادقُ النَّيَّةِ ، يقولُ : لو أنَّ لي مالًا لعملتُ بعملِ فلانٍ ، فهو بنِيَّتِه ، فأجرُهما سواءٌ و عبدٌ رزقَه اللهُ مالًا ، و لم يرزقْه عِلمًا يخبِطُ في مالِه بغيرِ علمٍ ، و لا يتَّقي فيه ربَّه ، و لا يصِلُ فيه رَحِمَه ، و لا يعلمُ للهِ فيه حقًّا ، فهذا بأخبثِ المنازلِ ، و عبدٌ لم يرزقْه اللهُ مالًا و لا علمًا فهو يقولُ : لو أنَّ لي مالًا لعملتُ فيه بعملِ فلانٍ ، فهو بنيَّتِه ، فوزرُهما سواءٌ
“Dunia itu untuk 4 orang:
1. Hamba yang diberi rizki oleh Allah berupa harta dan ilmu (agama), ia bertaqwa kepada kepada Allah dengan ilmu dan hartanya, ia gunakan untuk menyambung silaturahim, ia mengetahui di dalamnya terdapat hak Allah, inilah kedudukan yang paling utama
2. Hamba yang diberi rizki oleh Allah berupa ilmu (agama), namun tidak diberi harta. Namun niatnya tulus. Ia berkata: andai aku memiliki harta aku akan beramal sepert Fulan (nomor 1), dan ia sungguh-sungguh dengan niatnya tersebut. Maka antara mereka berdua (nomor 1 dan 2) pahalanya sama
3. Hamba yang diberi rizki oleh Allah berupa harta, namun tidak diberi ilmu (agama). Ia membelanjakan hartanya tanpa ilmu, ia juga tidak bertaqwa dalam menggunakan hartanya, dan tidak menyambung silaturahmi dengannya, ia juga tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Ini adalah seburuk-buruk kedudukan.
4. Hamba yang tidak diberi rizki dan juga tidak diberi ilmu (agama). Ia pun berkata: Andai saya memiliki harta maka saya akan beramal seperti si Fulan (yang ke-3), dan ia sungguh-sungguh dengan niatnya itu, maka mereka berdua (nomor 3 dan 4) dosanya sama”
(HR. At Tirmidzi no. 2325, ia berkata: “hasan shahih”).
Mencari dunia itu juga sekedar untuk melaksanakan kewajiban yang Allah wajibkan, yang ini juga merupakan orientasi akhirat. Diantaranya adalah untuk kewajiban menafkahi keluarga. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
كفَى بالمرءِ إثمًا أن يُضَيِّعَ من يَقُوتُ
“Cukuplah seseorang dikatakan pendosa jika ia menelantarkan (tidak menafkahi) orang yang ia wajib nafkahi” (HR. Abu Daud no. 1692, Ibnu Hibban no. 4240, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Demikian juga mencari dunia sekedar agar terhindar dari keharaman dan kehinaan, semisal mengemis dan meminta-minta kepada orang lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ما يزال الرجلُ يسألُ الناسَ ، حتى يأتي يومَ القيامةِ وليس في وجهِه مُزعَةُ لحمٍ
“Tidalah orang yang senantiasa meminta-minta kepada orang lain kecuali ia di hari kiamat akan datang tanpa sekedar daging sedikitpun” (HR. Bukhari no. 1474, Muslim no. 1040).
Sekedar memenuhi kewajiban dan terhindar dari kehinaan dan keharaman, sekedar itulah kita mencari dunia. Tidak lebih dari itu. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memuji orang yang Allah beri ia rezeki secukupnya, namun hatinya tidak condong untuk mengejar dunia, ia merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan tersebut. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
قد أفلحَ من أسلمَ ، ورُزِقَ كفافًا ، وقنَّعَه اللهُ بما آتاهُ
“Sungguh beruntung orang yang sudah berislam, lalu Allah beri rezeki yang secukupnya, dan Allah jadikan hatinya qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang dikaruniakan kepadanya” (HR. Muslim no. 1054).
Di dunia ini hendaknya bagaikan orang asing yang singgah. Orang asing yang singgah tentunya tidak berlama-lama, tidak terkait dan tidak mengejar mati-matian apa yang ada di tempat ia singgah tersebut. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu, ia berkata:
أخَذ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بمَنكِبي فقال : ( كُنْ في الدنيا كأنك غريبٌ أو عابرُ سبيلٍ ) . وكان ابنُ عُمرَ يقولُ : إذا أمسيْتَ فلا تنتَظِرِ الصباحَ، وإذا أصبحْتَ فلا تنتظِرِ المساءَ، وخُذْ من صحتِك لمرضِك، ومن حياتِك لموتِك
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam merangkul bahuku lalu bersabda: ‘Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau orang yang mampir di tengah perjalanannya’. Lalu Ibnu Umar mengatakan: ‘jika engkau ada di sore hari, maka jangan menunggu hingga pagi, jika engkau berada di pagi hari, maka jangan menunggu hingga sore. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, manfaatkan waktu hidupmu sebelum matimu’” (HR. Al Bukhari no. 6416).
Walhasil, hard work kita hendaknya untuk akhirat, jangan menghabiskan waktu kita untuk mencari dunia. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يقولُ يا ابنَ آدمَ : تَفَرَّغْ لعبادَتِي أملأْ صدركَ غِنًى وأسُدُّ فقرَكَ ، وإِنْ لَّا تفعلْ ملأتُ يديْكَ شُغْلًا ، ولم أسُدَّ فقْرَكَ
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Wahai manusia! Habiskan waktumu untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku penuhi dadamu dengan kecukupan dan akan Aku tutup kefaqiranmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka akan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan dan Aku tidak akan tutup kefaqiranmu’” (HR. At Tirmidzi no. 2466, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
ِAli bin Abi Thalib radhiallahu’anhu pernah berkhutbah:
ألا وإن الدنيا قد ترحلت مدبرة ، ألا وإن الآخرة قد ترحلت مقبلة ، ولكل واحدة منهما بنون ، فكونوا من أبناء الآخرة ولا تكونوا من أبناء الدنيا ، فإن اليوم عمل ولا حساب ، وغدا حساب ولا عمل
“Ketahuilah, bahwa dunia sedikit-demi-sedikit kita tinggalkan, sedangkan akhirat sedikit-demi-sedikit akan segera kita temui. Masing-masing mereka memiliki anak-anak. Maka jadilah anak-anak akhirat, dan jangan menjadi anak-anak dunia. Karena hari ini (di dunia) adalah waktunya beramal dan belum ada hisab, sedangkan besok (di akhirat) waktunya hisab dan tidak ada lagi amalan” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/3426).
Semoga kita termasuk anak-anak akhirat dan bukan anak-anak dunia. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
***