Jika seseorang membeli barang dengan pembayaran tertunda, maka bentuknya berarti berutang. Dalam berutang ini, pihak kreditor (pemberi pinjaman) tidak boleh memberikan tambahan jika pelunasan itu telat.
Majma’ Al-Fiqh Al-Islami pernah mengeluarkan keputusan, “Ketiga: Jika pembeli kredit telat dalam melunasi cicilan sesuai dengan janji yang ditetapkan, maka tidak boleh dikenakan tambahan (denda) dengan syarat sebelumnya atau tanpa syarat. Karena denda dalam hal ini termasuk riba yang diharamkan.” (Dinukil dari Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 101384)
Suatu yang harus diperhatikan bahwa orang yang makan riba (rentenir) dan nasabah (penyetor) sama-sama terkena laknat.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).
Lihat bahasan tentang laknat bagi pendukung riba:
Bolehkah tetap kita ikut transaksi, di mana kita bertekad membayarnya tepat waktu biar tidak dikenakan denda?
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid menyatakan bahwa tetap tidak boleh mengikuti transaksi semacam itu. Walaupun pembeli bertekad untuk melunasinya tepat waktu karena dua alasan:
- Ini sama saja menyetujui syarat riba, itu haram.
- Bisa jadi ia tetap terjatuh dalam riba karena telat saat punya udzur yaitu karena lupa, sakit, atau pergi safar. (Dinukil dari Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 101384)
Denda Ketika Telat dalam Pelunasan Utang Termasuk dalam Riba Jahiliyah
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizahullah menyatakan dengan tegas bahwa denda ketika membayar angsuran dari waktu yang ditetapkan termasuk dalam riba jahiliyah yang para ulama sepakat akan keharamannya. Karena riba jahiliyah dahulu seperti itu. Lihat bahasan dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 117956.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, ”Bersabarlah kepada orang yang sulit melunasi utang.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2:287)
Di halaman yang sama, Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa jangan seperti orang jahiliyah yang akan berkata kepada pihak yang berutang (debitor) ketika sudah jatuh tempo, “Lunasilah! Kalau tidak, utangmu akan dibungakan.”
Yang harusnya dilakukan pada orang yang berutang sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang yang berutang itu) berada dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia lapang. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Dari salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abul Yasar; beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِى ظِلِّهِ فَلْيُنْظِرِ الْمُعْسِرَ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ
“Barang siapa ingin mendapatkan naungan Allah ‘Azza wa Jalla, hendaklah dia memberi tenggang waktu bagi orang yang mendapat kesulitan untuk melunasi utang atau bahkan dia membebaskan utangnya tadi.” (HR. Ahmad, 3:427. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Semoga bermanfaat. Ya Allah, cukupkanlah kami dengan yang halal, jauhkanlah kami dari yang haram.
—
Disusun @ Perpus Rumaysho – DS, Ahad Pagi, 15 Syawal 1438 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal