Agungnya Perkara Tauhid dan Istighfar
Tauhid dan istighfar adalah dua perkara yang sangat agung dan penting. Tauhid adalah hak Allah Ta’ala atas hamba-hambaNya dan merupakan tujuan penciptaan mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَما خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56).
Tauhid, Syarat Penentu Sahnya Amal Ibadah
Tauhid adalah syarat sah suatu amal. Tanpa tauhid, amal kita seluruhnya tidak akan bernilai. Tauhid adalah asas pokok agama Islam dan asas pokok sahnya seluruh amal ibadah seseorang, sehingga amal tersebut diterima di sisi Allah Ta’ala. Oleh karena itu, menjadi kewajiban yang pertama kali atas setiap muslim untuk memperhatikan tauhidnya dan membetulkan aqidahnya. Tauhid adalah makna dari kalimat “laa ilaaha illallah”, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah Ta’ala. Ibadah seluruhnya adalah hak Allah Ta’ala, tidak boleh kita berikan sedikit pun kepada selain Allah.
Untuk mewujudkan tauhid inilah, para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan kami wahyukan kepadanya, bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 25).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun” (QS. An-Nisa’ [4]: 36).
Tauhid, Hak Allah Atas Hamba dan Ampunan Adalah Hak Hamba Atas Allah
Tauhid adalah hak Allah Ta’ala atas hamba-Nya. Sedangkan ampunan (maghfirah) adalah hak hamba atas Allah Ta’ala. Istighfar adalah permintaan ampunan, yang merupakan kebutuhan seorang hamba. Semua hamba Allah Ta’ala membutuhkan istighfar. Karena makna istighfar adalah permohonan ampunan dari kesalahan yang dilakukan seorang hamba berkaitan dengan hak Allah Ta’ala, baik karena meninggalkan kewajiban atau karena mengerjakan yang haram.
Seorang hamba memohon kepada Allah Ta’ala untuk mengampuni dosanya dan bertaubat dari dosanya. Hal ini setelah dia bertekad untuk meninggalkan perbuatan dosa yang sebelumnya dia lakukan dan menunaikan kewajiban yang pernah dia tinggalkan. Dia meminta kepada Allah untuk menutupi dosanya yang telah lalu dan memperbaiki amalnya di masa mendatang. Adapun yang hanya beristighfar tanpa berusaha memperbaiki amalnya, bahkan tetap berada di atas kondisinya semula, maka istighfarnya tidak benar dan patut dipertanyakan. Karena istighfar tidaklah cukup dengan lisan saja, tanpa ada usaha untuk memperbaiki diri.
Seorang hamba sangat butuh istighfar, karena istighfar merupakan salah satu syi’ar para Nabi dan Rasul, dari Adam ‘alaihis salaam sampai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semuanya beristighfar kepada Allah Ta’ala dan memohon ampunan kepada-Nya. Jika para Nabi saja sangat butuh istighfar, sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al-Qur’an, maka selain Nabi tentu lebih butuh terhadap istighfar, dalam semua kondisi dan keadaan, bahkan setelah beribadah kepada Allah Ta’ala. Seorang hamba yang menunaikan shalat, berpuasa, bersedekah, mereka butuh istighfar. Lalu, bagaimana lagi dengan hamba yang bermaksiat kepada-Nya?
Oleh karena itu, seorang hamba membutuhkan dua hal ini: tauhid dan istighfar. Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah (sesembahan) (yang berhak disembah) selain Allah Ta’ala dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” (QS. Muhammad [47]: 19).
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bertauhid dan beristighfar.
Teladan Nabi Yunus Dalam Mentauhidkan Allah
Ketika Nabi Yunus ‘alaihis salaam berada dalam kegelapan (dalam perut ikan), beliau menyeru dengan tauhid dan istighfar, sebagaimana diceritakan oleh Allah Ta’ala,
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang dzalim“ (QS. Al-Anbiya’ [21]: 87).
Lihatlah, bagaimana Nabi Yunus menyeru dengan tauhid, disertai pengakuan terhadap dosa dan kesalahannya. Inilah adat kebiasaan orang-orang yang beriman, yaitu senantiasa dan terus-menerus beristighfar, lebih-lebih ketika berada di penghujung amal shalih, ketika di akhir majelis ilmu, atau ketika di pertemuan yang sifatnya umum. Karena bisa jadi dalam majelis tersbut terdapat ghibah, namimah (adu domba), dan senda gurau yang melampaui batas.
Perbaiki Tauhid dan Perbanyak Istighfar Di Penghujung Ramadhan
Demikianlah, kita memohon kepada Allah Ta’ala untuk menutup bulan Ramadhan ini dengan dibebaskan dari api neraka, diterima amal-amal kita, dan senantiasa diberikan kebaikan dan keselamatan. Dan semoga Allah Ta’ala menyempurnakan pahala amal kita, memberikan kita hidayah untuk terus istiqamah dalam beribadah di sisa umur kita, bukan hanya di bulan Ramadhan ini saja.
Diselesaikan ba’da isya, Rotterdam NL 6 Ramadhan 1438/2 Juni 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim