Masalah hadiah dari orang yang berhutang kepada orang yang menghutangi ini adalah masalah turunan dari masalah riba.
Masalah hadiah dari orang yang berhutang kepada orang yang menghutangi ini adalah masalah turunan dari masalah riba.
Apa kaitannya dengan riba?
Kaidah umum mengenal riba dalam hutang-piutang adalah:
كل قرض جَرَّ نفعاً فهو ربا
“setiap hutang-piutang yang mendatangkan manfaat (bagi orang yang menghutangi) maka itu adalah riba“.
Kaidah ini tidak shahih jika dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, namun para ulama sepakat bahwa maknanya benar dan diamalkan. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
الحديث المذكور ضعيف عن أهل العلم، ليس بصحيح، ولكن معناه صحيح عن العلماء معناه، أن القروض التي تجر نفعاً ممنوعة بالإجماع
“hadits ini lemah menurut para ulama, tidak shahih. Namun maknanya benar menurut mereka, yaitu bahwasanya hutang yang mendatangkan manfaat maka itu terlarang berdasarkan kesepakatan para ulama” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi no.463, lihat di: http://www.binbaz.org.sa/noor/2872).
Misalnya jika Fulan berhutang seratus juta rupiah kepada Alan dengan syarat pengembaliannya sebesar 120 juta. Maka 20 juta yang didapat Alan ini adalah manfaat yang datang dari hutang-piutang, sehingga disebut riba sebagaimana kaidah di atas. Oleh karena itu, jika kita terapkan kaidah di atas, hadiah yang diberikan oleh penghutang kepada orang yang memberikan hutang, bisa juga menjadi sebuah manfaat yang datang dari hutang-piutang. Sehingga bahasan ini terkait dengan bahasan riba.
Selain terkait dengan riba, hadiah tersebut juga terkait dengan risywah (sogokan). Karena terkadang penghutang memberikan hadiah kepada orang yang menghutangi dengan harapan tempo pembayaran hutang bisa ditunda atau diperpanjang. Imam Asy Syaukani menjelaskan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ وَالْعَارِيَّةَ وَنَحْوَهُمَا إذَا كَانَتْ لِأَجْلِ التَّنْفِيسِ فِي أَجَلِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ رِشْوَةِ صَاحِبِ الدَّيْنِ، أَوْ لِأَجْلِ أَنْ يَكُونَ لِصَاحِبِ الدَّيْنِ مَنْفَعَةٌ فِي مُقَابِلِ دَيْنِهِ فَذَلِكَ مُحَرَّمٌ؛ لِأَنَّهُ نَوْعٌ مِنْ الرِّبَا أَوْ رِشْوَةٌ
“Kesimpulannya, hadiah atau pinjaman atau semisalnya jika diberikan untuk menunda tempo pembayaran atau sebagai risywah (sogokan), atau untuk memberikan manfaat kepada pemberi hutang atas hutang yang diberikan, maka ini haram. Karena ini merupakan bentuk riba atau risywah” (Nailul Authar, 5/275).
Lalu bagaimana hukumnya?
Pertama, terdapat sebuah hadits yang digunakan para ulama dalam bab ini. Dikeluarkan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (2432):
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ: حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ حُمَيْدٍ الضَّبِّيُّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَاقَ الْهُنَائِيِّ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ: الرَّجُلُ مِنَّا يُقْرِضُ أَخَاهُ الْمَالَ فَيُهْدِي لَهُ؟ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا، فَأَهْدَى لَهُ، أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ، فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ»
“Hisyam bin Ammar menuturkan kepada kami, Ismail bin Ayyasy menuturkan kepada kami, Utbah bin Humaid Adh Dhibbi menuturkan kepada kami, dari Yahya bin Abi Ishaq Al Huna-i, ia berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik: Bolehkah seseorang di antara kami yang berhutang kepada saudaranya lalu ia memberikan hadiah kepadanya? Maka Anas bin Malik mengatakan: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‘Jika seseorang di antara kalian memberikan hutang, lalu si penghutang memberikan hadiah kepadanya, atau memboncengnya dengan hewan tunggangan, maka jangan mau dibonceng dan jangan terima hadiahnya. Kecuali jika hal itu memang sudah biasa terjadi di antara mereka‘”.
Dalam sanadnya terdapat dua masalah:
- Utbah bin Humaid Adh Dhibbi. Abu Hatim Ar Razi mengatakan: “shalihul hadits“. Imam Ahmad mengatakan: “ia lemah, tidak kuat haditsnya”. Ibnu Hajar mengatakan: “shaduq, memiliki banyak wahm“. Maka yang tepat ia adalah perawi yang shaduq, tidak diterima haditsnya jika bersendirian.
- Ismail bin Ayyasy. Ia disepakati oleh ulama bahwa status haditsnya shahih jika meriwayatkan dari penduduk Syam, dan dhaif jika dari selain penduduk Syam karena mukhtalith.
Dari keterangan ini jelaslah bahwa riwayat ini lemah, sebagaimana dikatakan Asy-Syaukani dalam Ad-Durari Al-Mudhiyyah (270), Ar-Ruba’i dalam Fathul Ghaffar(3/1224), Al-Albani dalam Dhaif Ibni Majah (479) dan Silsilah Adh-Dhaifah (1162), dan ulama yang lainnya.
Kedua, saling memberi hadiah pada asalnya adalah perbuatan yang dianjurkan. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
تهادُوا تحابُّوا
“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad no. 462, dihasankan Al Albani dalam Shahih Adabil Mufrad).
Demikian juga menerima hadiah hukumnya dianjurkan bahwa wajib menurut sebagian ulama. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صنع إليكم معروفاً فكافئوه، فإن لم تجدوا ما تكافئونه فأدعوا له حتى تروا أنكم قد كافئتموه
“Siapa saja yang memberikan sesuatu kebaikan padamu, maka balaslah yang sepadan. Jika kalian tidak memiliki sesuatu yang dapat membalasnya dengan sepadan, maka doakanlah ia hingga engkau memandang bahwa doamu tersebut sudah sepadan dengan pemberiannya“.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah mengatakan:
قبول الهدية من هدي النبي صلى الله عليه وسلم، حتى إن بعض أهل العلم قالوا: يجب قبول الهدية إذا تمت الشروط
“Menerima hadiah itu termasuk akhlak yang diajarkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa menerima hadiah itu wajib jika terpenuhi syarat-syaratnya” (Sumber: http://binothaimeen.net/content/11820).
Ketiga, mengenai hukum hadiah atau manfaat dari penghutang kepada pemberi hutang. Perlu diketahui bahwa masalah ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah di antara para ulama.
Andaikan hadits Anas bin Malik radhiallahu ’anhu di atas shahih, tentu ia adalah dalil qath’i dalam masalah ini. Namun hadits tersebut lemah dan tidak kami ketahui adanya dalil qath’i yang shahih dalam masalah ini. Sehingga ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (33/131-132) disebutkan para ulama khilaf dalam empat pendapat:
Pendapat pertama
Penghutang boleh memberikan hadiah kepada pemberi hutang, namun jika diketahui bahwa penghutang memberi hadiah liajlil qardh (karena sebab hutangnya), yang lebih utama adalah bersikap wara‘ dengan tidak menerimanya. Adapun jika diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan bukan karena sebab hutangnya, namun karena sedekah atau karena adanya kekerabatan di antara keduanya, maka tidak perlu bersikap wara‘ dan hendaknya diambil hadiahnya. Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah.
Pendapat kedua
Penghutang tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi hutang karena berharap tempo pembayaran hutangnya ditunda. Pemberi hutang diharamkan menerima hadiah darinya jika diketahui tujuannya adalah demikian. Jika hadiahnya sudah diterima, maka wajib mengembalikannya. Jika hadiahnya sudah terpakai atau sudah habis maka wajib mengembalikan yang semisal nilainya. Namun jika penghutang dalam memberikan hadiah tidak berharap penundaan tempo, maka ia boleh memberi hadiah. Ini adalah pendapat ulama Malikiyyah.
Pendapat ketiga
Penghutang boleh secara mutlak memberikan hadiah kepada pemberi hutang, tanpa syarat. Ini adalah pendapat ulama Syafi’iyyah.
Pendapat keempat
Penghutang tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi hutang sebelum pelunasan, kecuali hadiah tersebut dihitung sebagai cicilan atau pelunasan hutang. Atau jika telah ada kebiasaan saling memberi hadiah antara keduanya di masa-masa sebelumnya, maka boleh memberi hadiah ketika itu. Adapun jika hadiah diberikan setelah pelunasan, maka ini dibolehkan tanpa syarat. Ini adalah pendapat ulama Hanabilah.
Demikian pendapat para ulama dalam hal ini. Diriwayatkan dari sebagian sahabat Nabi, bahwa mereka menolak hadiah dari orang yang berhutang kepadanya, kecuali hadiah tersebut dianggap sebagai bagian dari pelunasan hutang. Atau diketahui hadiah yang diberikan tersebut merupakan kebiasaan dan bukan bermaksud risywah.
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قال : أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، فَقَالَ لِي : إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ ، إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا
“Dari Abu Burdah, ia berkata: suatu kala saya datang di kota Madinah, dan saya bertemu dengan Abdullah bin Salam radhiallahu’anhu. Kemudian beliau mengatakan kepadaku, “Sesungguhnya Anda di negeri yang telah marak riba, jika ada seseorang mempunyai hutang kepadamu lalu ia memberikan hadiah kepadamu dengan membawakan hasil bumi atau gandum atau membawa rumput makanan hewan ternak. Jangan Anda mengambilnya karena itu riba” (HR. Al-Bukhari no. 3814).
فَرَوَى الْأَثْرَم أَنَّ رَجُلًا كَانَ لَهُ عَلَى سَمَّاك عِشْرُونَ دِرْهَمًا فَجَعَلَ يُهْدِي إِلَيْهِ السَّمَك وَيُقَوِّمهُ حَتَّى بَلَغَ ثَلَاثَة عَشَر درهما فسأل بن عَبَّاس فَقَالَ أَعْطِهِ سَبْعَة دَرَاهِم
“Diriwayatkan oleh Al-Atsram bahwa seorang lelaki berhutang kepada penjual ikan sebesar dua puluh dirham. Kemudian dia memberikan hadiah kepadanya ikan yang nilainya mencapai tiga belas dirham. Kemudian dia bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai hal tersebut, maka beliau menjawab, ‘Berikan dia tujuh dirham (sisanya)’” (dinukil dari Hasyiyah Ibnul Qayyim Ala Sunan Abi Dawud, 9/296).
ورَوَى ابْنُ سِيرِينَ أَنَّ عُمَرَ رضي الله عنه أَسْلَفَ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ رضي الله عنه عَشَرَةَ آلافِ دِرْهَمٍ , فَأَهْدَى إلَيْهِ أُبَيّ بْنُ كَعْبٍ مِنْ ثَمَرَةِ أَرْضِهِ , فَرَدَّهَا عَلَيْهِ , وَلَمْ يَقْبَلْهَا , فَأَتَاهُ أُبَيٍّ , فَقَالَ : لَقَدْ عَلِمَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ أَنِّي مِنْ أَطْيَبِهِمْ ثَمَرَةً , وَأَنَّهُ لا حَاجَةَ لَنَا , فَبِمَ مَنَعْتَ هَدِيَّتَنَا ؟ ثُمَّ أَهْدَى إلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ فَقَبِلَ
“Diriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa Umar bin Khathab meminjamkan uang Ubay bin Ka’ab sebesar sepuluh ribu dirham. Kemudian Ubay bin Ka’ab memberi hadiah kepadanya dari hasil panen buah-buahannya. Namun Umar menolaknya dan tidak menerimanya. Kemudian Ubay mendatangi Umar dan mengatakan, ‘Sungguh penduduk Madinah sudah tahu bahwa buah-buahan saya termasuk yang terbaik dan kami tidak ada keperluan bagi saya (untuk melakukan risywah). Kenapa Anda menolak hadiah kami wahar Umar?’ Kemudian setelah itu Ubay memberi hadiah lagi kepada Umar dan Umar menerimanya” (dinukil dari Hasyiyah Ibnul Qayyim Ala Sunan Abi Dawud, 9/296).
Ibnul Qayyim setelah membawakan riwayat-riwayat di atas, beliau menjelaskan:
فَكَانَ رَدّ عُمَر لَمَّا تَوَهَّمَ أَنْ تَكُون هَدِيَّته بِسَبَبِ الْقَرْض فَلَمَّا تَيَقَّنَ أَنَّهَا لَيْسَتْ بِسَبَبِ الْقَرْض قَبِلَهَا وَهَذَا فَصْل النِّزَاع فِي مَسْأَلَة هَدِيَّة الْمُقْتَرِض
“Umar menolak hadiah dari Ubay karena beliau menyangka hadiah tersebut diberikan karena sebab hutang yang ia berikan kepada Ubay. Namun ketika ia yakin hadiah tersebut bukan karena sebab hutang, beliau menerima hadiah tersebut. Maka inilah patokan utama dari masalah hadiah dari penghutang kepada yang menghutangi” (Hasyiyah Ibnul Qayyim Ala Sunan Abi Dawud, 9/296).
Maka wallahu a’lam, pendapat yang lebih tepat karena didukung oleh pendapat dan perbuatan salafus shalih adalah pendapat yang keempat, yaitu penghutang tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi hutang sebelum pelunasan, kecuali hadiah tersebut dihitung sebagai cicilan atau pelunasan hutang. Atau jika telah ada kebiasaan saling memberi hadiah antara keduanya di masa-masa sebelumnya, atau diyakini hadiah tersebut bukan dimaksudkan sebagai tambahan pengembalian (riba) atau untuk menunda tempo pembayaran hutang (risywah), maka boleh memberi hadiah ketika itu.
Jika tidak diketahui maksud pemberi hadiah apakah ia memberikannya karena sebab hutang ataukah bukan, atau ragu-ragu antara keduanya, maka yang lebih wara’ dan lebih utama adalah menolaknya. Dan yang lebih aman dan selamat adalah memberikan hadiah ketika pelunasan atau setelah pelunasan. Asy-Syaukani mengatakan:
وَإِنْ لَمْ يَكُنْ ذَلِكَ لِغَرَضٍ أَصْلًا فَالظَّاهِرُ الْمَنْعُ لِإِطْلَاقِ النَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَّا الزِّيَادَةُ عَلَى مِقْدَارِ الدَّيْنِ عِنْدَ الْقَضَاءِ بِغَيْرِ شَرْطٍ وَلَا إضْمَارٍ فَالظَّاهِرُ الْجَوَازُ مِنْ غَيْرِ فَرْقٍ بَيْنَ الزِّيَادَةِ فِي الصِّفَةِ وَالْمِقْدَارِ وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي رَافِعٍ وَالْعِرْبَاضِ وَجَابِرٍ، بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ
“Jika hadiah tersebut diberikan tidak untuk suatu tujuan yang diketahui, maka pendapat yang tepat adalah hal ini terlarang karena larangan dalam masalah ini sifatnya mutlak. Adapun tambahan yang diberikan ketika pelunasan yang tidak disyaratkan sebelumnya dan tanpa ada kesepakatan sebelumnya maka yang tepat ini dibolehkan, baik berupa tambahan dalam sifatnya atau kadarnya, baik tambahannya sedikit atau banyak. Berdasarkan hadits Abu Hurairah, Abu Rafi’, Al Irbadh dan Jabir (tentang melebihkan pelunasan hutang). Bahkan ini mustahab (dianjurkan)” (Nailul Authar, 5/275).
Wallahu ta’ala a’lam.