Hati-hati dengan riba kadang dalam barter saja bisa terjerumus dalam riba seperti barter emas. Benarkah?

 

Perlu dipahami, ada istilah riba buyu’, yaitu riba dalam jual beli atau barter komoditi ribawi.

 

Riba buyu’ (jual beli) itu ada dua macam:

  • Riba fadhel.
  • Riba nasi’ah.

Fadhel secara etimologi berarti tambahan (ziyadah). Sedangkan secara terminologi, riba fadhel berarti riba karena adanya penambahan, terjadi pada komoditi riba yang sejenis dilakukan satu waktu. Misal, barter antara 1 kg kurma jelek dengan 1,2 kg kurma bagus.

Nasi’ah secara etimologi berarti tertunda. Sedangkan secara terminology, riba nasi’ah berarti riba karena penundaan serah terima (qobedh), terjadi pada komoditi riba yang punya kesamaan ‘illah (sebab). Misal, barter antara 1 kg kurma dengan 1 kg kurma namun ada penundaan waktu.

Riba fadhel dan riba nasi’ah terjadi pada komoditi riba.

 

Komoditi Ribawi

Ada enam komoditi ribawi yang disebutkan dalam hadits: (1) emas, (2) perak, (3) gandum halus, (4) gandum kasar, (5) kurma, dan (6) garam.

 

Riba Fadhel (riba karena adanya penambahan)

Keterangan mengenai riba fadhel terdapat dalam hadits berikut.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ

Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1584)

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim, no. 1587)

 

Aturan barter untuk komoditi ribawi

Para ulama telah menyepakati bahwa keenam komoditi (emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) yang disebutkan dalam hadits di atas termasuk komoditi ribawi. Sehingga enam komoditi tersebut boleh diperjualbelikan dengan cara barter asalkan memenuhi syarat. Bila barter dilakukan antara komoditi yang sama -misalnya kurma dengan kurma, emas dengan emas, gandum dengan gandum-, maka akad tersebut harus memenuhi dua persyaratan.

Syarat pertama, tasawi (mitslan bi mitslin), yaitu sama dalam miqdar (ukuran), dalam hal jumlah, takaran atau timbangan. Di sini bisa terjadi pelanggaran karena memandang ada perbedaan kualitas antara yang bagus dan jelek.

Misalnya, Joko ingin menukar emas 21 karat sebanyak 5 gram dengan emas 24 karat. Maka ketika terjadi akad barter, tidak boleh emas 21 karat dilebihkan, misalnya jadi 7 gram.

Syarat pertama: taqabudh (yadan bi yadin), yaitu transaksi harus dilakukan secara kontan (tunai), yaitu ada serah terima sebelum berpisah pada majelis akad.

Misalnya, kurma ajwa (kualitas bagus) sebanyak 2 kg ingin dibarter dengan kurma biasa sebanyak 2 kg pula, maka syarat ini harus terpenuhi. Kurma biasa harus ditukar dan tanpa boleh ada satu gram yang tertunda (misal satu jam atau satu hari) ketika akad barter.

Jika syarat pertama (tasawi) tidak terpenuhi, berarti ada yang berlebih, maka terjatuh dalam riba fadhel. Jika syarat kedua (taqobudh) tidak terpenuhi, berarti ada yang tertunda, maka terjatuh dalam riba nasi’ah. Jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, berarti terjatuh dalam riba fadhel dan riba nasi’ah. (Minhah Al-‘Allam, 6: 173 dan Al-Mukhtashar fii Al-Mu’amalaat, hlm. 67-68)

 

Qiyas Komoditi Riba

Apakah riba hanya berlaku pada enam komoditi ribawi (yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) atau bisa juga berlaku pada komoditi yang lain?

Menurut jumhur (mayoritas ulama), riba juga berlaku pada selain enam komoditi tadi. Komoditi lain berlaku hal yang sama jika memiliki kesamaan ‘illah (sebab). Namun para ulama berselisih mengenai apa ‘illah dari masing-masing komoditi. Yang jelas mereka sepakat bahwa emas dan perak memiliki kesamaan ‘illah. Sedangkan kurma, gandum, sya’ir dan garam juga memiliki kesamaan ‘illah tersendiri.

Alasan berlakunya riba pada emas dan perak yaitu karena keduanya adalah emas dan perak, baik sebagai alat tukar (seperti mata uang) ataukah tidak (seperti sebagai perhiasan). Sedangkan empat komoditi lain termasuk komoditi riba karena merupakan bahan makanan yang ditakar atau ditimbang. Jadi jika kalung emas ingin ditukar dengan kalung emas –misalnya-, berlaku juga aturan riba fadhel dan riba nasi’ah, walaupun kalung bukan alat tukar.

Sebagaimana terdapat dalam hadits Fadhalah bin ‘Ubaid Al-Anshari, bahwa beliau pernah didatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat peperangan Khaibar. Fadhalah ketika itu memiliki kalung yang terdapat permata dan emas. Kalung ini berasal dari ghanimah yang akan dijual. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memisahkan emas yang ada di kalung tersebut. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ

Jika emas ingin ditukar dengan emas, maka harus sama timbangannya.” (HR. Muslim, no. 1591) (Lihat bahasan Majmu’ah Al-Fatawa, 29: 470-471; Syarh Al-Mumthi’, 8: 397; Al-Mukhtashar fii Al-Mu’amalaat, hlm. 65-66)

 

Sehingga komoditi ribawi bisa dibagi:

  1. Kelompok pertama yang punya ‘illah sebagai emas, perak atau alat tukar adalah mata uang yang saat ini berlaku seperti rupiah, riyal, ringgit dan dollar.
  2. Kelompok kedua adalah makanan yang bisa ditakar atau ditimbang berarti seperti beras, jagung, singkong, gula dan daging.

 

Disebut barter sesama jenis jika emas ditukar dengan emas, walau berbeda kualitas atau jika kurma ditukar dengan kurma walau berbeda kualitas.

Disebut barter satu ‘illah, misal emas ditukar dengan perak atau emas dibeli dengan mata uang.

 

Riba Nasi’ah (riba karena adanya penundaan)

Riba nasi’ah adalah riba yang terjadi karena adanya pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang yang tergolong komoditi ribawi (emas, perak, kurma, gandum dan garam), baik satu jenis atau berlainan jenis dengan menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya.

Contoh riba nasi’ah adalah pada barter emas. Misalnya emas 24 karat ingin dibarter dengan emas 21 karat dengan timbangan yang sama. Akan tetapi emas 24 karat baru diserahkan satu minggu lagi setelah transaksi dilaksanakan. Ini yang dimaksud riba nasi’ah karena sebab adanya penundaan.

Ibnul Mundzir mengatakan dalam Al-Ijma’ (hlm. 117) bahwa enam komoditi riba jika berlebih walau tunai (yadan bi yadin) atau jika ada yang tertunda (nasi’ah), maka tidak dibolehkan dan hukumnya haram. (Dinukil dari Al-Mukhtashar fii Al-Mu’amalaat, hlm. 76)

 

Lebih Parah Riba Fadhel atau Riba Nasi’ah?

Perlu dipahami riba itu ada dua macam, ada riba jali (yang nampak jelas) dan ada riba khafi (yang tersembunyi). Riba jali itulah riba nasi’ah. Sedangkan riba khafi itulah riba fadhel.

Riba jali diharamkan karena dalamnya ada bentuk mencelakai dan menzalimi orang lain. Sedangkan riba khafi diharamkan karena dzari’ah (perantara) menuju riba jali.

 

Barter emas bisa terjerumus dalam riba, benarkah? Sudah terjawab jika Anda memahami tulisan di atas dengan baik.

 

Berlanjut insya Allah. Tulisan ini adalah bagian dari buku “Derita Terlilit Utang dan Solusinya“. Insya Allah segera akan diterbitkan oleh Penerbit Rumaysho. Mau pesan, bisa pre-order lewat Toko Ruwaifi.Com 085200171222.

Panggang, Gunungkidul, Selasa pagi, 22 Jumadats Tsaniyyah 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *