Orang-orang yang berusaha meracuni ummat Islam dengan mut’ah, mereka membawa beberapa syubhat (kerancuan) untuk menjadi tameng dalam mempertahankan tindakan keji mereka, tetapi tameng itu terlalu rapuh.
Seandinya bukan karena hal ini sudah mengotori pikiran sebagian kaum muda umat Islam maka kita tidak susah payah membantahnya. Syubhat tersebut adalah:

1. Nikah mut’ah dibolehkan dalam Al-Qur’an
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nisa:24,

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَة

Mereka menafsirkan ayat diatas dengan,
Maka apabila kalian menikah mut’ah diantara (para wanita) maka berikanlah mahar mereka.

Juga karena Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam jelas pernah membolehkan nikah mut’ah, padahal beliau tidak mungkin bicara dengan hawa nasu tapi dengan wahyu, dan oleh karena ayat ini adalah satu-satunya ayat yang berhubungan dengan mut’ah maka hal ini menunjukkan akan halalnya mut’ah. (Lihat Al-Mut’ah fil Islam oleh Al-Husein Al-Amili, hal.9)

Jawaban:

Memang sebagian ulama menafsirkan ‘istamta’um’ dengan nikah mut’ah. Akan tetapi tafsir yang benar tentang ayat ini adalah apabila kalian telah menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya sebagai sebuah kewajiban atas kalian.

Ath-Thabari setelah memaparkan dua tafsir ayat tersebut berkata, “Tafsir yang paling benar dari ayat tersebut adalah kalau kalian menikahi wanita lalu kalian berjima’ dengan mereka maka berikanlah maharnya, karena terdapat dalil dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam akan haramnya nikah mut’ah.” (Tafsir Ath-Thabari, 8:175)

Imam Al-Qurthubi berkata, ‘Ayat ini tidak boleh digunakan untuk menghalalkan nikah mut’ah karena Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah mengharamkannya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 5:132)

Seandainya kita terima bahwa makna ayat tersebut adalah nikah mut’ah maka hal itu berlaku di awal Islam sebelum diharamkan. (Lihat Al-Qurthubi, 5:133, Ibnu Kastir, 1:474, Al-Mufashol fi Ahkamil Mar’ah, 6:166 dan Raudhah Nadiyah, 2:165)

2. Mereka berdalil dengan hadis Abdullah bin Mas’ud, Jabir bin Abdillah dan Salamah bin Akwa’ yang menunjukkan bahwa nikah mut’ah itu halal.

Jawab:
Semua hadis yang menunjukkan halalnya mut’ah telah di mansukh (dihapus). (Lihat Ar-raudhah An-Nadiyah oleh Syaikh Shidiq Hasan Khon, 2:165). Hal ini dinyatakan secara jelas oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dalam sabda beliau,
Wahai seklalian manusia, sesungguhnya saya dahulu telah mengizinkan kalian mut’ah dengan wanita. Sekarang Allah telah mengharamkannya hingga hari kiamat.

Al-Bukhari berkata setelah meriwayatkan hadis Jabir dan Salamah, “Ali radhiyallahu’anhu telah menjelaskan dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bahwa hadis tersebut telah di mansukh.”

3. Sebagian sahabat masih melakukan mut’ah sepeninggal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sampai Umar melarangnya.
Sebagaimana yang disebutkan dalam banyak riwayat diantaranya dari Jabir bin Abdullah berkata,

كُنَّا نَسْتَمْتِعُ بِالْقَبْضَةِ مِنَ التَّمْرِ ، وَالدَّقِيقِ الْأَيَّامَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَبِي بَكْرٍ حَتَّى نَهَى عَنْهُ عُمَرُ

Dahulu kita nikah mut’ah dengan mahar segenggam kurma atau tepung pada masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga Abu Baar sampai Umar melarangnya.” (HR. Muslim no. 1023)

Jawaban:
Riwayat Jabir ini menunjukkan bahwa beliau belum mengetahui terhapusnya kebolehan mut’ah. Imam nawawi berkata, “Riwayat ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan mut’ah di massa Abu Bakar dan Umar belum mengetahui terhapusnya hukum tersebut.” (Syarh Shahih Muslim, 3:555, lihat pula Fathul Bari, Zadul Ma’ad, 3:462, Jami Ahkami Nisa’, 3:191)

4. Telah terjadi ijma’ bahwa nikah mut’ah dihalalkam di awal masa Islam, sedang apa yang telah terjadi ijma’ tidak mungkin dihapus dengan ijma’ baru.

Jawaban:
Syakh Abdul Karim Zaidan,

“Yang menghalalkan mut’ah di awal Islam adalah sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan kemudian diharamkan juga dengan sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Jadi tidak ada hubungannya antara ijma’ dengan penghalala di awal masa Islam dan pengharamannya kemudian.”

(Al-Mufashol, 6:169)

5. Ali bin Abi Thalib berkata, “Seandainya Umar bin Khaththab tidak mendahuluiku (melarangnya), pasti akan kuperintahkan untuk mut’ah dan tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang celaka.” (HR. Abdurrozzaq 14029)

Jawaban:
Riwayat dari Ali ini lemah dari sisi sanad maupun matan. Adapun sanad karena antara Ibnu Juraij dengan Ali ada rowi yang mubham (tidak disebut namanya). Adapun dari sisi matan karena riwayat ini bertentangan dengan dari riwayat Ali sendiri dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa nikah mut’ah telah diharamkan.
Kemudian ucapan Ali tersebut sangat tidak masuk akal karena bagaimana mungkin beliau mendiamkan Umar bin Khaththab mengharamkan sesuatu yang halal?
Demi Allah, ini adalah pelecehan terhadap kehormatan Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya anggaplah Ali takut kepada Umar sehingga tidak berani menegurnya dalam pengharaman mut’ah, lalu apa yang menghalangi beliau untuk mengumumkan kembali kehalalan mut’ah pada saat beliau memegang tampuk kekholifahan? Jawablah wahai orang-orang yang berakal??!!
(Lihat Ensiklopedia Sunnah Syiah oleh Dr. Ahmad Ali As-Salus 2:433)

6. Abdullah bin Abbas membolehkan nikah mut’ah secara mutlak , sebagaimana riwayat Abdurrozzaq dalam Mushannaf no.14022 dengan sanad shahih.

Jawaban:

Pertama,
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas secara pribadi dan Insyaaallah beliau mendapatkan satu pahala dengan ijtihadnya akan tetapi beliau salah dalam masalah ini karena terdapat dalil yang teramat jelas tentang keharaman mut’ah dan kewajiban kita adalah taat kepada Allah dan RasulNya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).“(QS. An-Nisa:59)

Tidak ada seorangpun yang ma’shum sebagaimana ucapan Imam Malik, “Semua orang bisa diterima dan di tolak pendapatnya kecuali Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.

Kedua,
Terdapat riwayat shahih bahwasanya Ibnu Abbas meralat fatwanya dan melarang mut’ah sebagaimana dijelaskan secara bagus oleh Imam Syaukani dalam Nailul Authar, 6:169-170.

7. Salah seorang tokoh Syiah kontemporer berkata, “Tidak semua orang mampu untuk menikah selamanya terutama para pemuda karena berbagai sebab. Padahal mereka mengalami masa puber dalam hal seksualnya. Maka dengan banyaknya goadaan saat ini sangat mungkin menjerumuskan mereka dalam perbuatan zina. Oleh karena itu, mut’ah adalah solusi agar terhindar dari perbuatan keji tersebut. (Al-Mut’ah fil Islam oleh Husein Yusuf Al-Amili hal 12-14)

Jawaban:
Ucapan ini salah dari pangkal sampai ujungnya. Cukup bagi saya (Ustadz Ahmad Sabiq) untuk mengatakan tiga hal:

Pertama: bahwa mut’ah telah jelas keharamannya dan sesuatu yang haram tidak pernah dijadikan oleh Allah sebagai obat dan solusi.

Kedua: ucapan ini hanya melihat solusi dari sisi lai-laki yang sedang bergejolak nafsunya tanpa sedikitpun memalingkan pandangan kepada keadaan wanita yang dijadikan sebagai tempat pelampiasan syahwat. Lalu apa bedanya antara ini dengan pelacuran komersial?

Ketiga: Islam telah memberikan solusi tanpa efek samping pada siapapun yaitu dengan pernikahan yang bersifat abadi. Kalau belum mampu (menikah) maka dengan puasa yang bisa menahan nafsunya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِيعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وَجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu menikah maka hendaklah dia menikah. Karena itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka hendakalah dia berpuasa karena itu bisa menjadi tameng baginya.” (HR Bukhari 5066, Muslim no.1400). Allahua’lam

****
Sumber: Artikel “Mut’ah Zina Berkedok Nikah” Oleh Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Dimuat di majalah Al-Furqon Edisi 4 tahun III.
Wanitasalihah.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *