Mus’tamal artinya sesuatu yang dipakai. Air mus’tamal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Bagaimana statusnya? Apakah ia suci dan bisa mensucikan?
Definisi air musta’mal
Mus’tamal artinya sesuatu yang dipakai. Air mus’tamal adalah air yang telah digunakan untuk bersuci. Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah mengatakan:
وهو المنفصل من أعضاء المتوضئ والمغتسل
“air musta’mal adalah air yang jatuh dari anggota badan orang yang berwudhu atau mandi” (Fiqhus Sunnah, 1/18).
Namun dalam pembahasan di kitab-kitab fiqih, para ulama juga memasukkan air yang telah digunakan untuk menghilangkan najis dan hadats sebagai air musta’mal, sebagaimana akan kami paparkan pada pembahasan.
Hukum air musta’mal
Untuk memahami pembahasan air musta’mal, perlu dipahami dahulu bahwa para ulama membedakan antara status kesucian air (thahiriyyah) tersebut dengan status keabsahan air tersebut untuk mensucikan (thahuriyyah). Adapun masalah kesucian air musta’mal, selama salah satu sifatnya (warna, bau, rasa) tidak berubah oleh najis maka ia tetap dalam keadaan suci. Yang menjadi permasalahan dalam pembahasan air musta’mal adalah status thahuriyyah-nya.
Air musta’mal secara umum dibagi menjadi dua:
Pertama: air musta’mal yang dipakai untuk menghilangkan hadats, yaitu dengan wudhu atau mandi. Maka hukumnya suci namun para ulama khilaf mengenai thahuriyyah-nya. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah (4/20) : “jika air mutlak digunakan untuk thaharah membersihkan hadats kecil atau hadats besar, maka tidak lagi disebut air mutlak. Sehingga ia memiliki hukum yang berbeda dari segi thahuriyyah-nya. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan bahwa ia suci namun tidak bisa mensucikan. Ulama Malikiyyah menyelisihi jumhur dengan mengatakan bahwa air tersebut tetap bisa mensucikan namun makruh hukumnya jika sebenarnya ada air lain yang bukan musta’mal”.
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad menjelaskan: “air musta’mal yang masuk ke dalam bak ini, statusnya suci. Sebagian ulama mengatakan, ia tidak boleh untuk bersuci. Karena ia telah digunakan untuk menghilangkan hadats, maka tidak bisa untuk menghilangkan hadats kedua kalinya. Adapun dari segi thahiriyyah-nya, maka ia statusnya suci dan bukan najis. Karena badan manusia itu suci, dan air yang mengenainya itu suci” (Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/31517/).
Maka tidak benar sikap sebagian orang yang takut terkena cipratan air musta’mal, karena air musta’mal itu suci.
Kedua: air musta’mal yang dipakai untuk menghilangkan najis. Maka hukum kesuciannya (thahiriyyah) kembali melihat pada perubahan sifat airnya. Jika salah satu sifatnya (warna, bau, rasa) berubah oleh najis maka ia dihukumi sebagai najis, jika tidak demikian, maka statusnya suci. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan: “adapun air musta’mal yang sudah digunakan untuk menghilangkan najis, jika ia berubah sifatnya (oleh najis) maka ia berstatus najis” (Irsyad Ulil Bashair li Nailil Fiqhi, 18).
Sedangkan status keabsahannya untuk mensucikan (thahuriyyah), jika ia suci, para ulama khilaf mengenai hal ini sebagaimana telah disebutkan.
Dalil-dalil sucinya air musta’mal
Telah kami sebutkan di atas bahwa air musta’mal yang telah digunakan untuk menghilangkan hadats statusnya suci dan bukan najis, kecuali merupakan air musta’mal yang telah digunakan untuk menghilangkan najis dan berubah salah satu sifatnya. Berikut ini diantara dalil-dalilnya yang kami ambil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah Syaikh Husain Al ‘Awaisyah:
Pertama:
Hadits dari Al Miswar radhiallahu’anhu:
وإِذا توضَّأ النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –، كادوا يقتتلون على وَضوئه
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau” (HR. Al Bukhari 189).
Para sahabat ber-tabarruk dengan air bekas wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika air musta’mal najis, maka tentu tidak akan diperebutkan oleh para sahabat dan akan dilarang oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Kedua:
عن أبي سعيد الخدري –رضي الله عنه– قال: سمعتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وهو يُقال له: إِنَّه يُستقى لك مِن بئر بُضاعة –وهي بئر يُلقى فيها لحوم الكلاب والمحايض وعُذَر النَّاس– فقال رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “إِنَّ الماء طهور، لا ينجِّسه شيء“
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah ditanya mengenai air yang diambil dari sumur bidha’ah, yaitu sumur yang biasa dibuang bangkai anjing, kain pembalut dan kotoran. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “air itu suci, tidak bisa dinajiskan dengan apapun” (HR. Tirmidzi no. 66, ia berkata: “hasan”, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).
Jika bangkai anjing, kain pembalut wanita dan kotoran tidak menajiskan keseluruhan air selama tidak ada perubahan warna, rasa dan baunya, maka terlebih lagi air yang terkena kulit seseorang melalui cucian dan basuhan, tentu tidak membuatnya menjadi najis.
Ketiga:
وعن أبي هريرة –رضي الله عنه– قال: لقيني رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وأنا جُنُب، فأخذ بيدي، فمشيتُ معه حتى قعد، فانْسَلَلْتُ فأتيتُ الرحل فاغتسلتُ، ثمَّ جئت وهو قاعد، فقال: “أين كنتَ يا أبا هرّ؟ “. فقلتُ له ، فقال: “سبحان الله يا أبا هرّ! إِنَّ المؤمن لا ينجُس“.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menemuiku saat aku sedang dalam keadaan junub. Lalu beliau memegang tanganku dan berjalan bersamaku hingga sampai di suatu tempat, kami duduk. Lalu aku menyelinap pergi, aku pulang dan mandi. Kemudian aku datangi beliau, saat itu beliau masih sedang duduk. Beliau bertanya, “kemana engkau wahai Aba Hirr?”. Lalu aku pun menyampaikan alasanku tersebut. Seketika beliau bersabda: “Subhaanallah! Wahai Aba Hirr, sesungguhnya sesama Mukmin itu tidak saling menajisi” (HR. Bukhari no. 285, Muslim no. 371).
Apakah air musta’mal dapat mensucikan?
Telah disebutkan di atas bahwa para ulama khilaf mengenai apakah air musta’mal dapat mensucikan? Jumhur ulama dari Syafi’iyyah, Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa air musta’mal itu suci namun tidak mensucikan. Mereka berdalil dengan hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا يغتسِلُ أحدُكم في الماءِ الدَّائم ِوهو جنُبٌ . فقالَ : كيفَ يفعَلُ يا أبا هُرَيرةَ ؟ قال : يتناولُها تناوُلًا
“janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang tidak mengalir, sedangkan ia sedang junub”. Perawi bertanya kepada Abu Hurairah: “lalu seharusnya bagaimana wahai Abu Hurairah?”. Abu Hurairah menjawab: “seharusnya ia menciduknya” (HR. Bukhari no. 239, Muslim no. 283).
Al Hafidz Al Iraqi mengatakan: “Syafi’iyyah dan jumhur ulama berpendapat bahwa air musta’mal telah hilang sifat thahuriyah-nya. Maka tidak bisa digunakan untuk bersuci lagi. Karena andai mandi di air yang tidak mengalir tidak menghilangkan keabsahannya untuk mandi di situ sekali lagi, tentu tidak akan Nabi larang” (Tharhu At Tatsrib min Syarhi At Taqrib, 2/34, dinukil dari Fatawa Islam As Sual wal Jawab no. 224255).
Namun pendalilan ini bukanlah pendalilan yang sharih pelarangan menggunakan air musta’mal untuk bersuci lagi. Oleh karena itu Imam An Nawawi mengatakan: “pendalilan ini perlu dikritisi, karena pendapat yang terpilih dan pendapat yang lebih tepat adalah bahwa maksud hadits ini yaitu larangan mandi pada air yang tidak mengalir walaupun jumlah airnya banyak karena khawatir ia akan menjadi kotor, dan jika dilakukan berulang-ulang akan mengubah sifat air tersebut” (Al Majmu 1/154, dinukil dari Fatawa Islam As Sual wal Jawab no. 224255).
Maka pendapat yang lebih tepat, air musta’mal itu suci dan mensucikan. Berdasarkan dalil-dalil berikut ini yang kami ambil dari Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah Syaikh Husain Al ‘Awaisyah:
Pertama:
عن ابن عباس –رضي الله عنهما– قال: اغتسل بعض أزواج النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – في جفنة ,فجاء النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ليتوضَّأ منها –أو يغتسل– فقالت له: يا رسول الله! إِنِّي كنتُ جُنُباً. فقال رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إِنَّ الماء لا يُجْنِب
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, ia berkata: sebagian istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mandi dalam sebuah bak. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam datang untuk berwudhu -atau mandi- dari air bak tersebut. Maka diantara istri Nabi ada yang berkata: “Wahai Rasulullah, saya tadi mandi junub di situ”. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “sesungguhnya air itu tidak membuat junub” (HR. Tirmidzi no. 65, ia berkata: “hasan shahih”).
Hadits ini adalah dalil tegas bahwa air musta’mal bisa digunakan untuk bersuci.
Kedua:
عن الرّبَيِّع بنت مُعَوِّذ –رضي الله عنها– في وصف وضوء رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “أنَّ النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مسحَ برأسه مِن فضْل ماءٍ كان في يده“
Dari Ar Rabi’ binti Mu’awwidz radhiallahu’anha, mengenai sifat wudhu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: “bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membasuh kepalanya dengan kelebihan air yang ada di tangannya” (HR. Abu Daud no. 130, dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).
Ketiga:
عن أبي سعيد الخدري –رضي الله عنه– قال: سمعتُ رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وهو يُقال له: إِنَّه يُستقى لك مِن بئر بُضاعة –وهي بئر يُلقى فيها لحوم الكلاب والمحايض وعُذَر النَّاس– فقال رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “إِنَّ الماء طهور، لا ينجِّسه شيء“
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, ia berkata: aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah ditanya mengenai air yang diambilkan dari sumur bidha’ah, yaitu sumur yang biasa dibuang bangkai anjing, kain pembalut dan kotoran. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “air itu mensucikan, tidak menajiskan apapun” (HR. Tirmidzi no. 66, ia berkata: “hasan”, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi).
Dalam hadits ini Nabi menggunakan kata طهور (mensucikan) yang terkait dengan sifat thahuriyyah (keabsahan untuk bersuci). Maka jika bangkai anjing, kain pembalut wanita dan kotoran tidak membuat air kehilangan sifat thahuriyyah-nya, terlebih lagi air yang digunakan untuk basuhan kulit manusia ketika bersuci dari hadats.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “semua yang disebut dengan sebutan ‘air’ maka ia suci dan mensucikan. Baik ia musta’mal (telah digunakan) untuk bersuci yang wajib atau bersuci yang sunnah, atau bersuci yang tidak sunnah (mubah)” (Majmu’ Al Fatawa 19/236, dinukil dari Fatawa As Sual wal Jawab no. 224255).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Jika air dalam jumlah banyak digunakan orang untuk berwudhu, lalu air tersebut tersisa di sana, maka boleh digunakan untuk berwudhu oleh orang yang kedua. Pendapat yang tepat hal tersebut tidak mengapa, tidak membuat air tersebut menjadi najis, dan tidak menghilangkan thahuriyyah-nya (keabsahan untuk mensucikan). Sebagian ulama mengatakan bahwa ia suci namun tidak mensucikan dan tidak bisa mewujudkan kesucian. Pendapat ini tidak berlandaskan dalil. Yang benar, ia dapat mensucikan. Jika seseorang bersuci dengannya dari sebuah bejana, atau bejana besar, lalu airnya terciprat ke bejana yang lain lalu digunakan oleh orang lain untuk berwudhu, maka ini tidak mengapa selama tidak ada najis di sana. Karena orang yang pertama tersebut mencuci wajahnya, lengannya, dan membasuh kepalanya dan telinganya, tentu ini tidak membuat airnya menjadi najis dan menghilangkan thahuriyyah-nya, berdasarkan pendapat yang rajih. Namun meninggalkannya itu lebih baik, dalam rangka meninggalkan yang meragukan dan beralih kepada yang tidak meragukan” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, juz 5 halaman 272, versi web: http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?View=Page&PageID=805&PageNo=1&BookID=5).
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di merinci hukum air musta’mal menjadi enam rincian:
Pertama: air musta’mal yang sudah dipakai untuk menghilangkan najis. Jika berubah salah satu sifatnya, maka ia najis. Jika terkena najis namun tidak berubah sifat-sifatnya, maka ia suci dan mensucikan, baik jumlah airnya banyak maupun sedikit.
Kedua: air musta’mal yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadats (yang diwajibkan atau disyaratkan, pent). Maka ia tetap suci dan mensucikan karena tidak adanya dalil yang memalingkan statusnya dari “suci dan mensucikan” yang merupakan status asalnya, kepada status yang lain.
Ketiga: air musta’mal yang sudah digunakan untuk thaharah yang disyariatkan (namun tidak diwajibkan atau disyaratkan, pent.), seperti memperbaharui wudhu. Maka ia juga statusnya tetap suci dan mensucikan karena tidak adanya dalil yang memalingkan statusnya dari “suci dan mensucikan” yang merupakan status asalnya, kepada status yang lain.
Keempat: air musta’mal yang sudah digunakan untuk thaharah yang tidak disyariatkan, yaitu yang hukum asalnya mubah, seperti mandi rutin, cuci tangan sebelum makan, mencuci muka, dll. Maka ia suci dan mensucikan.
Kelima: air musta’mal yang sudah digunakan untuk mandi junubnya wanita. Maka ia suci dan mensucikan berdasarkan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إِنَّ الماء لا يُجْنِب
“sesungguhnya air itu tidak membuat junub”.
Adapun pendapat yang melarangnya adalah pendapat yang lemah dan tidak dilandasi dalil.
Keenam: air musta’mal yang sudah digunakan untuk mencuci tangan orang yang bangun tidur (Diringkas dari Irsyad Ulil Bashair li Nailil Fiqhi, 1/18).
Kesimpulan
Air musta’mal suci dan mensucikan selama tidak berubah warna, bau atau rasanya.
Demikian, semoga bermanfaat, semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada kita untuk beragama dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Wallahu waliyyu dzalika wa qaadiru ‘alaihi.
***
Referensi:
- Irsyad Ulil Bashair li Nailil Fiqhi, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
- Mausu’ah Fiqhiyyah Muyassarah fi Dhau’il Kitab was Sunnah, karya Syaikh Husain Al Awaisyah
- Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, karya sejumlah ulama, terbitan Departemen Agama Kuwait
- Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq
- Fatawa Islam As Sual wal Jawab, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid, web https://islamqa.info/ar/224255
- Fatawa Nurun ‘alad Darbi, Syakh Abdul Aziz bin Baz
- Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad, web http://ar.islamway.net/fatwa/31517/
Penulis: Yulian Purnama