Oleh Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA
Perusahaan pemberi pelayanan jasa telekomunikasi seluler mengeluarkan kartu pulsa isi ulang dengan berbagi tujuan, diantaranya memangkas biaya administrasi untuk menarik tagihan dari pelanggan dan meningkatkan lkuiditas dengan cara penjualan kartu tersebut. (At Taswiq At Tijari wa Ahkamuhu fil Fiqh Al Islami, hal. 473)
Kartu isi ulang dijual dengan berbagi variasi harga yang tertera pada kartu. Misalnya Rp. 10.000,00 Rp50.000,00 Rp100.000,00 dan sebagainya.
Sering terjadi orang menjual kartu pulsa tidak sama dengan nominal yang tertera pada kartu. Bolehkah menjual kartu pulsa dibawah atau diatas harga pulsa yang tertera? Apakah transaksi ini termasuk riba ba’i, karena menukar uang rupiah dengan pulsa yang bernilai rupiah dan tidak sama nominalnya?
Para ulama pakar Fikih kontemporer berbeda pendapat tentang hukum menukar kartu pulsa isi ulang dengan uang tunai dibawah atau diatas nominal yang tertera pada kartu. Misalnya tertulis pada kartu Rp100.000,00 dan dijual dengan harga Rp97.000,00. Atau tertulis Rp100.000,00 dan dijual dengan harga Rp103.000,00.
Pendapat pertama
Haram hukumnya menukar kartu pulsa isi ulang dengan uang tunai dibawah atau diatas nominal yang tertera pada kartu.
Pedapat ini berpegang dengan dua dalil:
1. Kartu pulsa dianggap sama dengan uang tunai.
Karena nilai yang tertera pada kartu merupakan simbol uang tunai. Maka uang, bila ditukar dengan uang yang sama jenisnya disyaratkan harus tunai dan nominalnya sama agar tidak terjadi riba ba’i. Sehingga nominal uang tunai dengan yang tertera pada kartu pada saat membelinya wajib sama. Tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Serta serah terima kartu dan uang wajib tunai dimajelis akad.
Tanggapan:
Tidak benar bahwa kartu pulsa sama dengan uang. Karena uang adalah alat tukar, penentu harga barang yang diterima oleh semua pihak. Berbeda dengan kartu pulsa hanya diterima sebagai uang pada perusahaan penerbitnya dan tidak digunakan untuk membeli barang di pasar sebagaimana layaknya uang kartal.
2. Kartu pulsa merupakan dokumen utang
Berarti pembeli menyimpan uangnya dalam bentuk utang kepada perusahaan penerbit kartu sebesar nominal yang tertera. Maka tidak boleh menukarnya dengan uang dibawah nominal yang tertera agar tidak terjadi riba jahiliyyah. Karena pihak perusahaan dalam hal ini pihak yang berhutang memberikan bunga atas utang yang dia dapatkan dari nilai kartu.
Tanggapan:
Tidak benar bahwa kartu pulsa sama dengan dokumen utang. Karena utang dalam terminologi fikih harus dikembalikan barang yang sejenis. Bila pinjam uang, yang dikembalikan haruslah uang. Berbeda dengan kartu pulsa, yang diberikan kepada perusahaan penerbit kartu adalah uang, sedangkan perusahaan tidak mengembalikan uang kepada pembeli. Yang dikembalikan perusahaan hanyalah jasa pelayanan telekomunikasi. (Al Khadamat Al Istitsmariyyah fil Masyarif, 2:555)
Pendapat kedua
Boleh menukar kartu pulsa isi ulang dengan uang tunai di bawah nominal yang tertera pada kartu, juga boleh diatas nominal yang tertera berdasarkan asas saling ridha. Dan juga boleh dtukar dengan cara tidak tunai.
Pendapat ini berpegang kepada dalil bahwa kartu pulsa dapat disamakan dengan akad salam fil manafi’. Yaitu sebuah transaksi di mana uang diserahkan di muka sedangkan jasa yang dibeli akan diterima kemudian, sesuai pesanan jasa telekomunikasi.
Di dalam kartu tersebut terdapat nomor seri, bila diaktifkan dapat digunakan untuk melakukan komunikasi maka pemegang kartu pulsa isi ulang sama dengan memegang jasa yang dipesan (jasa pelayanan telekomunikasi).
Dengan demikian, boleh menjual jasa yang dipesan (al manfaah al muslam fiiha) yang telah dipegang oleh pemesan (almuslim) kepada pihak ketiga dengan harga yang disepakati oleh kedua belah pihak. Karena kenyatannya bukan lagi menukar uang tunai dengan uang nominal yang tertera pada kartu melainkan menukar jasa dengan uang tunai yang tidak di syaratkan harus tunai dan juga tidak disyaratkan dengan nominal yang sama. (Al Khadamat Al Istitsmariyyah fil Masyarif, 2:559)
Tanggapan:
Bila disamakan dengan akad salam fil manafi’ untuk keabasahan akad salam disyaratkan barang/jasa ayng dipesan harus jelas. Sedangkan pada kartu pulsa ulang tidak jelas jasanya. Bisa jadi kartu pulsa Rp.100.000,00 hanya untuk 5 menit komunikasi bila digunakan untuk sambungan langsung internasional. Dan bila juga digunakan selama 50 menit komunikasi bila untuk sambungan lokal. Dengan demikian tidak terpenuhi salah satu persyaratan akad salam.
Jawaban atas tanggapan diatas:
Para ulama mensyaratkan kejelasan barang/jasa pada akad salam agar tidak terjadi gharar (spekulasi). Dan gharar tidak terjadi pada kartu pulsa, karena perusahaan telekomunikasi telah memiliki harga tetap untuk setiap daerah tujuan sambungan dan juga telah dipublikasikan. Jadi unsur spekulasi dalam hal ini sama sekali tidak ada.
Dengan demikian, pendapat kedua lebih kuat yaitu boleh menjual kartu pulsa isi ulang dengan harga kurang dari atau lebih dari yang tercantum pada kartu dan tidak termasuk riba ba’i. Dan pendapat ini didukung oleh banyak para pakar muamalat kontemporer.
Allahua’lam.
****
Sumber : Harta Haram Muamalat Kontempore (hal. 531-534), DR.Erwandi Tarmizi,MA. BMI Publishing Bogor.