QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ke Enam Puluh Tiga
الْعَدْلُ فِي الْعِبَادَاتِ مِنْ أَكْبَرِ مَقَاصِدِ الشَّارِعِ
Pertengahan dalam ibadah termasuk sebesar-besar tujuan syariat
MAKNA KAIDAH
Keadilan dan pertengahan adalah ciri menonjol dari agama Islam dan umatnya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhususkan umat ini dengan syariat yang paling sempurna dan manhaj yang paling lurus. Maka umat Islam senantiasa berada di posisi pertengahan dalam setiap perkara dan setiap sisi kehidupannya.
Syariat agama Islam ini seluruhnya dibangun di atas keadilan dan pertengahan. Itu adalah sebaik-baik dan paling tingginya perkara. Sebagaimana surga Firdaus adalah surga tertinggi dan pertengahannya[1], maka barangsiapa yang amalannya seperti itu insya Allâh tempat kembalinya adalah surga Firdaus tersebut.
Ibadah termasuk perkara yang wajib dikerjakan secara adil dan pertengahan. Karena berlebih-lebihan dalam ibadah termasuk pelanggaran yang dilarang oleh syari’at. Bahkan itu bisa menimbulkan rasa jenuh, terputus dari amalan, dan tidak istiqamah dalam mengerjakannya. Demikian pula, hal itu bisa mengakibatkan gangguan terhadap badan dan kesehatan pelakunya.
Maka yang wajib dalam beribadah adalah mengerjakannya sesuai kemampuannya secara pertengahan dan tidak berlebih-lebihan. Karena itu termasuk sebesar-besar tujuan syari’at. Dan hendaklah seseorang tidak memberikan tekanan kepada dirinya sendiri dengan sesuatu yang melampaui batas sehingga mengakibatkan madharat terhadap agama dan dunianya.
DALIL YANG MENDASARINYA
Banyak dalil yang menunjukkan eksistensi kaidah ini. Di antaranya adalah hadits Anas bin Mâlik riwayat al-Bukhâri dan Muslim, di mana ia berkata :
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Maka tatkala mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggap bahwa ibadah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sedikit. Lalu mereka mengatakan, “Siapa kita dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Sesungguhnya Beliau telah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Salah seorang dari mereka berkata, “Adapun saya, maka saya akan shalat malam terus menerus (tidak akan tidur).” Dan yang lainnya mengatakan, “Saya akan berpuasa terus selamanya dan tidak akan berbuka.” Yang lainnya lagi mengatakan, “Saya tidak akan menikah selamanya.” Lalu datanglah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda, “Apakah kalian yang telah mengatakan seperti ini dan itu? Demi Allâh Azza wa Jalla sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut kapada Allâh Azza wa Jalla dan yang paling bertakwa di antara kalian. Akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya sholat dan saya tidur, dan saya menikahi wanita. Barangsiapa yang benci dengan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.”[2]
Demikian pula hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhikyallahu anhuma riwayat al-Bukhâri dan Muslim :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ العَاصِ رضي الله عنها ، قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : «يَا عَبْدَ اللَّهِ، أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ، وَتَقُومُ اللَّيْلَ؟» ، فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: «فَلاَ تَفْعَلْ صُمْ وَأَفْطِرْ، وَقُمْ وَنَمْ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ» ، فَشَدَّدْتُ، فَشُدِّدَ عَلَيَّ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَجِدُ قُوَّةً قَالَ: «فَصُمْ صِيَامَ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَلاَ تَزِدْ عَلَيْهِ» ، قُلْتُ: وَمَا كَانَ صِيَامُ نَبِيِّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ؟ قَالَ: «نِصْفَ الدَّهْرِ» ، فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ يَقُولُ بَعْدَ مَا كَبِرَ: يَا لَيْتَنِي قَبِلْتُ رُخْصَةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Wahai ‘Abdullah, apakah benar berita bahwa engkau berpuasa di waktu siang lalu shalat malam sepanjang malam?” Saya menjawab, “Benar, wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau lakukan itu, tetapi berpuasa dan berbukalah! Shalat malam dan tidurlah! karena badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan, matamu punya hak atasmu, isterimu punya hak atasmu, dan tamumu pun punya hak yang harus engkau tunaikan. Cukuplah bila engkau berpuasa selama tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu berarti engkau telah melaksanakan puasa sepanjang tahun”. Kemudian saya meminta tambahan, lalu Beliau menambahkannya. Saya mengatakan, “Wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , saya merasa diriku memiliki kemampuan”. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah dengan puasanya Nabi Allâh Dawud Alaihissallam dan jangan engkau tambah lebih dari itu”. Saya bertanya, “Bagaimanakah cara puasanya Nabi Dawud Alaihissallam?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beliau berpuasa setengah dari puasa dahr (puasa sepanjang tahun). Maka setelah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash sampai di usia tua ia berkata, “Seandainya dahulu aku menerima keringanan yang telah diberikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”[3]
Dan hadits Buraidah al-Aslami yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
عَنْ بُرَيْدَةَ اْلأَسْلَمِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: عَلَيْكُمْ هَدْيًا قَاصِدًا فَإِنَّهُ مَنْ يُشَادَّ هَذَا الدِّينَ يَغْلِبْهُ
Dari Buraidah al-Aslami Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Hendaklah kalian mengikuti petunjuk dan beramal sewajarnya (tidak berlebih-lebihan). Sesungguhnya barangsiapa yang memperberat diri dalam agama ini pasti dia akan kalah.”[4]
Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa yang disyari’atkan, diperintahkan dan dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya adalah sikap pertengahan dan adil dalam ibadah. Amalan ibadah yang keluar dari batasan ini maka itu adalah perkara yang tercela dan menyelisihi syari’at.[5]
CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Banyak contoh kasus yang masuk dalam aplikasi kaidah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :
- Seseorang yang berlebih-lebihan dalam mengerjakan ibadah, seperti berpuasa terus-menerus, atau shalat malam terus-menerus,sehingga menyebabkan badannya lemah dan tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya maka ia telah berbuat kesalahan, berdosa, dan berhak untuk mendapatkan hukuman.[6]
- Apabila mengerjakan ibadah sunnah sampai tidak bisa mencari rezeki yang wajib, atau mencari ilmu yang wajib, atau menyebabkannya meninggalkan jihad yang wajib, maka ketika itu tidak diperbolehkan baginya mengerjakan ibadah sunnah tersebut.[7]
- Apabila seseorang mengerjakan suatu amalan ibadah, namun menyebabkan ia terjatuh dalam kondisi yang haram, di mana maslahat yang ada dalam peribadahan itu tidak bisa menandingi keburukan yang timbul, maka haram baginya mengerjakan peribadahan itu. Misalnya seperti orang yang mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan, namun kemudian ia meminta-minta kepada manusia.[8]
- Apabila memperbanyak amalan ibadah mengakibatkan seseorang jatuh dalam perkara yang makruh, maka itu adalah perkara yang makruh juga. Hal ini seperti orang yang mengerjakan suatu amalan ibadah namun mengakibatkannya lemah dari mengerjakan amalan yang lebih maslahat.[9]
Demikian pembahasan singkat kaidah ini, semoga bermanfaat.[10]
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhâri dalam Kitab al-Jihâd wa as-Sair, no. 2790 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[2] HR. Al-Bukhâri dalam Kitab an-Nikah, no. 5063. Muslim dalam Kitab an-Nikah, no. 1401
[3] HR. al-Bukhâri dalam Kitab as-Shaum, no. 1975. Muslim dalam Kitab as-Shiyam, , no. 183.
[4] HR. Ahmad dalam al-Musnad 5/361.
[5] Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa memperbanyak amal peribadahan adalah sesuatu yang diperbolehkan dan tidak makruh. Kemudian mereka menyebutkan beberapa syarat dalam memperbanyak amal ibadah tersebut, sehingga sampai ke tingkatan pertengahan di dalamnya. Maka mereka mempersyaratkan kepada orang yang memperbanyak amalan ibadah : Hendaknya hal itu tidak menyebabkan kejenuhan, tidak memberatkan diri di luar kemampuannya, tidak menyebabkan meninggalkan perkara yang lebih penting, dan syarat-syarat lainnya. Keberadaan syarat-syarat tersebut memastikan pelaksanaan ibadah dilakukan secara pertengahan. Lihat kitab Iqâmatul Hujjah ‘ala Anna al-Iktsâr min at-Ta’abbud Laisa Bid’ah, karya ‘Abdul Hayyi al-Laknawi.
[6] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ, 22/136.
[7] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ, 25/272.
[8] Lihat Majmû’ al-Fatâwâ, 25/273.
[9] Idem.
[10] Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘Inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalâh, Nashir bin ‘Abdillah al-Maiman, Cet. II, Tahun 1426 H/2005 M, Jami’ah Ummul Qura, Makkah al-Mukarramah, Hlm. 188-192.