يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allâh, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur (benar)! [At-Taubah/9:119]

TAFSIR RINGKAS

Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazâ’iri rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla (yang artinya), Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allâh, dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur!Beliau t mengatakan, “Bertakwalah kalian dengan mengikuti perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan jadilah kalian orang-orang yang jujur dalam niat, perkataan dan perbuatan. Dengan demikian, kalian akan bersama orang-orang yang jujur di akhirat, bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Bakr Radhiyallahu anhu dan ‘Umar Radhiyallahu anhu dan bersama seluruh para nabi, orang-orang yang shiddiiq, orang-orang yang syahid dan orang-orang yang shalih.”[1]

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla  (yang artinya), Hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur.” Beliau t mengatakan, “Kejujuran dalam seluruh perkataan, perbuatan dan keadaan. Mereka adalah orang-orang yang perkataan, perbuatan dan keadaan mereka selalu jujur. Kejujuran yang terhindar dari sifat malas dan lesu, selamat dari maksud-maksud yang jelek, mengandung keikhlasan dan niat yang baik. Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebajikan atau ketakwaan, dan kebajikan akan mengantarkan kepada surga.”[2]\

PENJABARAN AYAT

Arti Kejujuran Di Dalam Ayat Tersebut

Ada beberapa penafsiran yang disebutkan oleh para Ulama, ketika mereka menafsirkan ayat di atas, yang artinya, Dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur (benar).. Di antara tafsir yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:

  1. ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Yaitu bersama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”
  2. Adh-Dhahhâk rahimahullah mengatakan, “Yaitu bersama Abu Bakar, ‘Umar dan para Sahabat mereka Radhiyallahu anhum.”[3]
  3. Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Bersama orang-orang yang keluar (berjihad) bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan bersama orang-orang munafik. Yaitu hendaklah kalian menjadi orang-orang yang jujur dan menempuh jalan mereka.

Dan di antara tafsir yang disebutkan, mereka adalah orang-orang yang penampilan lahiriah mereka sama dengan apa yang ada di batin mereka. Ibnul-‘Arabi mengatakan, ‘Penafsiran ini adalah hakikat dan tujuan akhir yang diinginkan. Sesungguhnya sifat ini menghilangkan kemunafikan pada keyakinannya dan menghilangkan perselisihan dengan perbuatannya. Orang yang memiliki sifat ini disebut sebagai ash-Shiddîq, seperti Abu Bakr Radhiyallahu anhu , ‘Umar Radhiyallahu anhu dan Utsmân Radhiyallahu anhu serta orang-orang yang di bawah kedudukan mereka sesuai dengan kedudukan-kedudukan dan zaman-zaman mereka”[4]

  1. Dan disebutkan tafsir yang lainnya sebagaimana telah disebutkan pada tafsir ringkas di atas.

Sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwa kejujuran yang dimaksud dalam ayat di atas bersifat umum, jujur dalam perkataan, perbuatan, keyakinan, keadaan dan lain-lain. Dengan berlaku jujur, seseorang bisa mendapatkan kedudukan yang mulia bersama para Nabi, para Shahabat yang mulia, para syahid dan orang-orang shalih.

WAJIBNYA BERLAKU JUJUR DAN HARAMNYA BERDUSTA

Islam adalah agama yang mulia. Islam mengajarkan kepada seluruh pengikutnya untuk selalu jujur dalam semua keadaan. Islam juga mengharamkan sifat dusta dan mencela perbuatan dusta. Oleh karena itu, di dalam banyak ayat dan juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh dan Rasul-Nya menjelaskan keharaman dusta.

Di antara dalil yang menunjukkan buruknya sifat dusta dan mulianya sifat jujur adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

Kalian wajib berlaku jujur. Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan (ketakwaan) dan sesungguhnya ketakwaan akan mengantarkan kepada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha untuk jujur maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang shiddiiq (yang sangat jujur). Kalian harus menjauhi kedustaan. Sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan kepada perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan kepada neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan selalu berusaha untuk berdusta, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang kadzdzaab (suka berdusta).[5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: jika dia berbicara dia dusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya dan jika dia dipercaya maka dia berkhianat.[6]

KEUTAMAAN ORANG YANG MEMILIKI SIFAT JUJUR

Orang yang memiliki sifat jujur akan mendapatkan banyak keutamaan, di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Dia Akan Mendapatkan Ketenangan Hati

Orang yang selalu jujur akan mendapatkan ketenangan dalam hatinya. Dia akan merasa nyaman dengan kejujuran yang telah dia lakukan. Berbeda halnya dengan orang yang suka berdusta. Hidup mereka tidak akan tenang dan penuh dengan kebimbangan.

Orang yang sudah terbiasa berbohong, maka untuk membenarkan kebohongannya dia akan selalu berbohong, sehingga hidupnya dipenuhi dengan kebohongan. Orang yang seperti ini tidak akan bahagia di dunia dan di akhirat. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ ، وَإِنَّ الكَذِبَ رِيبَةٌ

Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu dengan mengerjakan apa-apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan sesungguhnya kedustaan (akan mengantarkan kepada) keragu-raguan atau kebingungan.[7]

  1. Dia Akan Mendapatkan Keberkahan Dalam Jual Belinya

Seorang yang jujur dalam kehidupannya setia hari dengan orang lain, maka ia akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

Penjual dan pembeli memiliki hak khiyâr (pilih) selama mereka belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan saling menjelaskan, maka mereka akan diberkahi di dalam jual beli mereka. Apabila mereka berdusta dan saling menyembunyikan (cacat) maka akan dilenyapkan keberkahan jual beli mereka.[8]

Hadits ini menunjukkan bahwa keberkahan di dalam jual beli bisa didapatkan dengan kejujuran.

  1. Dia Akan Mendapatkan Kesyahidan Jika Dia Memintanya Dengan Jujur

Menjadi orang yang mati syahid adalah cita-cita setiap Mukmin yang sempurna keimanannya. Keutamaan orang yang mati dalam keadaan syahid sangat banyak dan sangat besar. Dalil-dalil yang membahas tentang keutamaan mati dalam keadaan syahid disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Pada saat sekarang ini, sangat susah untuk bisa menjadi orang yang mati dalam keadaan syahid di medan pertempuran, karena syarat untuk berhijad itu sangat banyak dan tidak sembarangan. Akan tetapi, Allâh Azza wa Jalla tetap memberikan keutamaan jihad untuk orang-orang yang menginginkan mati dalam keadaan syahid, jika orang tersebut memiliki niat yang ikhlas dan jujur dari hatinya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ اللَّهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللَّهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ

Barangsiapa meminta kepada Allâh dengan jujur agar diwafatkan dalam keadaan syahid, maka Allâh akan menjadikannya berkedudukan seperti orang-orang yang mati syahid walaupun dia mati di atas kasurnya.[9]

SURGA DAN ORANG-ORANG YANG JUJUR

Allâh Azza wa Jalla akan memberikan surga atas kejujuran seseorang selama hidup di dunia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ اللَّهُ هَٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ ۚ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Allâh berfirman, ‘Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang jujur kejujuran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allâh rida terhadap mereka dan mereka rida terhadap Allâh. Itulah keberuntungan yang paling besar.’ [Al-Mâidah/5: 119]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

Dan barangsiapa yang mentaati Allâh dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allâh berikan kenikmatan kepada mereka dari kalangan nabi-nabi, para shiddiiqiin (orang-orang yang sangat jujur), orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. [An-Nisâ’/4:69]

SIAPAKAH YANG DINAMAKAN ASH-SIDDIQ (ORANG YANG SANGAT JUJUR)?

Para Ulama berbeda lafaz dalam mengartikan ash-shiddîq. Di antara arti-arti ash-shiddîq yang mereka sebutkan adalah sebagai berikut:

  1. Mereka adalah para pengikut para Nabi yang membenarkan mereka dan mengikuti jalan mereka setelah para nabi meninggal sampai mereka menemui mereka (para Nabi).
  2. Mereka adalah orang yang suka bersedekah.[10]
  3. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada para rasul dan tidak mengingkari mereka sedikit pun (sekejap mata pun), seperti: orang yang beriman dari keluarga Fir’aun, sahabat keluarga Yâsîn, Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu dan Ashhâbul ukhdûd.[11]
  4. Mereka adalah orang-orang yang menyempurnakan martabat-martabat keimanan, amal-amal shalih, ilmu yang bermanfaat dan keyakinan yang jujur.[12]
  5. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allâh dan Rasul-Nya, serta mereka membenarkan semua yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa dan yang beliau kabarkan.[13]

 

WAJIBNYA MENJAGA AMANAH

Di antara bentuk kejujuran pada diri seseorang adalah bisa menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ ، وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ

Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak beramanah. Dan tidak ada agama bagi orang yang tidak mememenuhi perjanjian[14]

Orang yang diberikan amanah harus benar-benar menjalankan amanah yang diberikan kepadanya.

CARA MELATIH KEJUJURAN

Untuk mencapai derajat ash-shiddîq (orang yang sangat jujur) tidaklah mudah. Seseorang harus terus melatih dan mempraktikkan kejujuran dalam setiap perkataan, perbuatan dan niat. Jika kita perhatikan, sifat dusta kebanyakan muncul karena kecintaan seseorang terhadap dunia. Untuk mendapatkan dunia, banyak orang yang berdusta dan melupakan akhiratnya.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah pernah mengatakan:

إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَكُوْنَ مَعَ الصَّادِقِيْنَ، فَعَلَيْكَ بِالزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا، وَالكَفُّ عَنْ أَهْلِ المِلَّةِ

Apabila engkau ingin bersama orang-orang yang jujur, maka engkau wajib berzuhud terhadap dunia dan menahan diri dari (mengikuti) orang kafir.[15]

DUSTA YANG DIPERBOLEHKAN

Hukum asal dari dusta adalah haram. Seseorang tidak boleh melakukannya dalam keadaan apapun. Akan tetapi, ada beberapa tempat, dimana seorang Muslim boleh berdusta, karena berdusta pada saat itu, memiliki maslahat (kebaikan) yang sangat besar dalam kehidupan seorang Muslim. Dusta yang diperbolehkan hanya terdapat pada tiga tempat, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ أَعُدُّهُ كَاذِبًا الرَّجُلُ يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ يَقُولُ الْقَوْلَ وَلاَ يُرِيدُ بِهِ إِلاَّ الإِصْلاَحَ وَالرَّجُلُ يَقُولُ فِى الْحَرْبِ وَالرَّجُلُ يُحَدِّثُ امْرَأَتَهُ وَالْمَرْأَةُ تُحَدِّثُ زَوْجَهَا

Saya tidak menganggap berdusta seorang yang mendamaikan di antara manusia, dia mengatakan perkataan yang dia tidaklah menginginkan kecuali perdamaian, seorang yang berkata di dalam peperangan dan seorang lelaki yang berbicara kepada istrinya (tentang istrinya) dan seorang wanita yang berbicara kepada suaminya (tentang suaminya).[16]

Begitu pula sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

رَخَّصَ n مِنَ الْكَذِبِ فِي ثَلاَثٍ : فِي الْحَرْبِ، وَفِي الإِصْلاَحِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَوْلِ الرَّجُلِ لاِمْرَأَتِهِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan untuk berdusta di tiga tempat, yaitu ketika berperang, ketika mendamaikan di antara manusia dan perkataan seorang lelaki kepada istrinya[17]

Para Ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits di atas. Apakah dusta pada ketiga hal ini diperbolehkan secara mutlak, ataukah tetap tidak diperbolehkan, namun yang diperbolehkan hanyalah tauriyah. Yang dimaksud dengan tauriyah adalah seseorang mengatakan suatu perkataan, tetapi perkataan tersebut bisa dipahami berbeda oleh orang-orang yang mendengarkannya, sedangkan orang yang mengatakannya menginginkan makna yang lain dari perkataannya, sehingga dia tidak bisa dikatakan berdusta.

Contoh dari tauriyah adalah sebagai berikut:

Ada orang zhalim yang mencari dan mengejar seseorang untuk membunuhnya, kemudian orang yang dikejar berlari dan melewati seorang yang sedang duduk. Kemudian orang zhalim tersebut bertanya kepada orang yang duduk tadi, “Apakah kamu melihat orang yang berlari?” Orang yang duduk tadi pun mengatakan sambil berdiri, “Semenjak saya berdiri di sini, saya tidak melihat seorang pun lewat di depan saya.”

Orang yang duduk tadi melakukan tauriyah, yang dia maksudkan adalah semenjak berdiri dia tidak melihat seorang pun, tetapi ketika dia duduk dia melihatnya. Sedangkan yang dipahami oleh orang yang bertanya  adalah dari tadi orang tersebut tidak melihat orang yang dicarinya.

Syaikh al-Albâni rahimahullah menyebutkan pemahaman dari kedua hadits tersebut dalam kitab beliau ‘ash-Shahîhah’, “Tidak samar bagi orang yang memiliki pandangan bahwasanya pendapat kelompok pertama (yang membolehkan berdusta secara mutlak pada tiga hal tersebut) adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih layak karena sesuai dengan zahir hadits-hadits. Adapun penafsiran kelompok kedua yang membawa dusta pada hadits tersebut kepada makna tauriyah maka hal tersebut sangat jauh (dari kebenaran), terutama berdusta ketika berperang. Sesungguhnya berdusta ketika perang lebih membutuhkan dalil untuk dibolehkan. Oleh karena itu, al-Hâfidzh (Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah ) mengatakan di dalam kitabnya al-Fath (VI/119), “An-Nawawi rahimahullahmengatakan, ‘pendapat yang tampak benar adalah bolehnya berdusta pada ketiga hal tersebut. Akan tetapi, menggunakan bahasa kiasan (tauriyah) itu lebih utama.”[18]

KESIMPULAN

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Seorang Muslim wajib bersifat jujur dalam seluruh perkataan, perbuatan dan keadaan. Orang yang jujur adalah orang yang penampilan lahiriahnya sama dengan apa yang ada di batin mereka.
  2. Di antara keutamaan orang berlaku jujur adalah dia akan mendatangkan ketenangan di dalam hatinya, dia akan mendapatkan keberkahan dalam jual belinya dan mendapatkan kesyahidan jika dia memintanya dengan jujur.
  3. Allâh Azza wa Jalla menyediakan surga bagi yang berlaku jujur di dalam seluruh perbuatan dan perkataannya.
  4. Derajat ash-Shiddîq bisa diraih dengan menyempurnakan martabat-martabat keimanan, amal-amal shalih, ilmu yang bermanfaat dan memiliki keyakinan yang jujur tanpa keraguan sedikit pun tentang apa yang dibawa dan dikabarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam.
  5. Berdusta, hukumnya haram dan hanya diperbolehkan pada tiga hal berikut ini: ketika mendamaikan perselisihan, ketika berperang dan ketika seorang suami memuji istrinya atau istri memuji suaminya.

Demikian tulisan ini. Mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan Allâh Azza wa Jalla mencatat kita sebagai orang-orang yang jujur dan memberikan kesempatan kita untuk bisa menjadi orang yang ash-shiddiiq sebelum kita wafat. Aamiin.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâ’iri. Al-Madinah: Maktabah al-‘Ulûm wal-hikam
  2. Al-Jâmi’ Li Ahkâmil Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
  3. Ash-Shidqu al-Fadhîlah al-Jâmi’ah. Sulaiman bin Muhammad bin Falih Ash-Shaghiir. Dar Ibnil-Atsiir.
  4. Jâmi’ul Bayân fii Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  5. Mahâsinush Shidqi wa Masâwi-ul Kadzib. ‘Abdullah bin Jarillah Alu Jarillah. www.islamhouse.com.
  6. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
  7. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  8. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Aisarut Tafâsîr, II/110.

[2] Tafsîr As-Sa’di, hlm. 355.

[3] Tafsîr Ibni Katsiir IV/231.

[4] Tafsîr al-Qurthubi VIII/288-289.

[5] HR. Al-Bukhâri, no. 6094 dan Muslim no. 2607/6637.

[6] HR. Al-Bukhâri, no. 33 dan Muslim, no. 59/211.

[7] HR. At-Tirmidzi, no. 2518. Syaikh Al-Albani menghukuminya shahih dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi

[8] HR. Al-Bukhâri no. 2079 dan Muslim, no. 1532/3858.

[9] HR Muslim, no. 1909/4930.

[10] Lihat kedua poin ini di dalam Tafsîr Ath-Thabari VII/211.

[11] Lihat Tafsîr Al-Qurthubi XVII/253.

[12] Tafsîr As-Sa’di, hlm. 840.

[13] Aisarut Tafâsîr I/278.

[14] HR Ahmad no. 12383 dan Ibnu Hibbân no. 194. Syaikh al-Albani rahimahullah menghukuminya shahih dalam Shahîh al-Jâmi’ ash-Shaghîr no. 7179.

[15] Tafsîr Ibnu Katsir IV/234.

[16] HR. Abu Dawud, no. 4922.

[17] HR. Ahmad no. 27278.  Kedua hadits di atas dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash-Shahîhah, no. 545.

[18] Penjelasan beliau t di dalam pembahasan hadits no. 545 dalam ash-Shahîhah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *