Islam datang dengan cahaya yang menerangi gelapnya sikap jahiliyah yang dilakukan terhadap wanita. Agama ini melarang kezaliman yang dilakukan pada masa itu dengan mengharamkan mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Islam menetapkan hak waris bagi wanita, menganugerahkan adanya penghormatan terhadap wanita sebagai seorang ibu, mensyariatkan pemberian nafkah sebagai seorang istri, serta menitahkan pemberian kasih sayang dan hak pendidikan sebagai seorang putri.
Islam memberikan penjagaan untuk wanita sebagaimana seorang ratu dalam kemegahan istana. Cukup baginya berada di dalam singgasana istananya. Tidak dibebankan padanya kewajiban menafkahi keluarga, shalat berjamaah, dan jihad. Karena dengan demikian ia dapat berkonsentrasi penuh untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, serta mengurus keluarga sebagai permaisuri dan ibu sejati bagi pangeran dan tuan putri. Ia adalah penebar kelembutan, benih kebahagiaan, dan pengetahuan untuk sang buah hati. Peranannya begitu penting, maka tak selayaknya ia berada di luar rumah sehingga istananya kehilangan lentera.
Begitulah Islam mengatur kehidupan manusia, sebagai prinsip dan aturan hidup yang tidak ada cacat celanya. Namun, musuh-musuh Islam tidak rela melihat kesucian dan kehormatan wanita muslimah. Mereka menyadari bahwa baiknya wanita akan menjadikan baik pula keadaan masyarakatnya, dan dengan rusaknya wanita maka rusaklah pula keadaan masyarakat itu. Maka mereka berusaha meniupkan pemikiran rancu untuk menggoyahkan pemahaman wanita muslimah terhadap aturan syari’at yang telah jelas sempurna. Mereka bersuara mengatasnamakan kesetaraan, kemerdekaan, dan kebebasan bagi wanita.
Aduhai, kesetaraan mana yang diinginkan? Jika wanita dan laki-laki disetarakan, lantas apa jadinya jika wanita menjadi tentara, sopir angkot, dan montir, sedangkan laki-laki menjadi pengurus rumah, memasak, dan menimang-nimang anak? Sungguh ini adalah ketidakadilan, sesuatu ditempatkan bukan pada tempat yang semestinya. Padahal Allah memang menghendaki adanya wanita dan laki-laki. Wanita diciptakan sebagai wanita, dan laki-laki diciptakan sebagai laki-laki. Wanita diciptakan berbeda dengan laki-laki dan begitu pula sebaliknya. Allah Ta’ala telah menegaskan dalam firmannya:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأنْثَى
“Dan laki-laki itu tidaklah sama dengan perempuan.” (QS. Ali Imran: 36)
Allah ciptakan laki-laki dengan ketegapan badannya, fisik yang kekar, dan logika berpikir yang kuat. Sedangkan wanita, Allah ciptakan dirinya dengan kehalusan batin, kelembutan perasaan, dan ketelatenan. Maka tugas yang diemban keduanya pun berbeda. Dengan kekuatan fisik dan akalnya, laki-laki ditugasi untuk keluar rumah, bekerja mecari nafkah. Sedangkan wanita dengan kelembutannya diamanahkan padanya untuk mengatur rumah dan mendidik anak-anak. Maka inilah keseimbangan yang benar, dengannya akan ada keselarasan karena menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya.
Aduhai, jika mereka mengatasnamakan kemerdekaan, maka kemerdekaan jenis mana yang diinginkan? Yang ada adalah kemerdekaan yang justru membuahkan penjajahan bagi generasi selanjutnya. Bagaimana tidak? Mengeluarkan wanita dari rumah dan menjadikannya sibuk bekerja sehingga lalai dengan tugas utamanya, berarti menghilangkan sosok seorang ibu di rumah. Maka pantas saja jika Allah Ta’ala telah mewanti-wanti dalam firman-Nya,
…وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu…” (QS. Al-Ahzab: 33)
Alangkah menyedihkan jika anak-anak kehilangan perhatian ibunya hanya karena dalih kemerdekaan. Anak-anak tak lagi mendapati kelembutan kasih sayang, keindahan kepribadian, keelokan akhlak, dan kesejukan nasihat. Sebagian mereka ada yang ditinggal, dititipkan orang, dan ada juga yang dijaga baby siter, tanpa adanya kontrol dari penanggungjawabnya (ibu). Padahal di luar sana banyak sekali hal-hal yang mengkhawatirkan. Aduhai, alangkah sedih jika perkara ini dideklarasikan atas nama kemerdekaan, padahal pada sisi lain, anak menjadi target penjajahan.
Maka, sungguh tidak layak bagi seorang wanita muslimah menggadaikan norma-norma Islam demi mengimpor pemahaman sesat.
Ingatlah, mengkuti perkembangan globalisasi tidak lantas mengubahnya menjadi laki-laki! Wanita tetaplah wanita, dengan karakteristiknya dan tugas-tugasnya. Tuntutan perkembangan zaman tidak lantas menjadikannya boleh mengacuhkan tanggung jawabnya demi ambisi kebebasan dan kemerdekaan. Di hadapannya akan ada pilihan yang patut dipertimbangkan, merasakan kemerdekaan tapi menjadi sengsara, ataukah bersabar di dalam rumah tapi membuahkan kebahagiaan?
Wahai wanita, sadarilah bahwa wanita tetaplah wanita!
Jika demikian halnya, apa yang engkau inginkan sekarang? Kemerdekaan atau kesengsaraan??