Kami sendiri berpenampilan tidak isbal. Simpel saja alasan kami ingin ikuti sunnah Rasul seperti disebut dalam hadits berikut ini.
Dari Al-Asy’ats bin Sulaim, ia berkata,
سَمِعْتُ عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ : « اِرْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ : « أَمَّا لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata, “Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashar Syama’il Muhammadiyyah, hlm. 69, Al-Maktabah Al-Islamiyyah Aman-Yordan. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih)
Namun dalam masalah menyikapi orang lain yang tidak berpenampilan seperti kami, celananya menjulur di bawah mata kaki, apakah kami langsung memvonisnya sesat, menggolongkannya sebagai ahli bid’ah dan dhalalah?
Jawab, tidak sama sekali …
Kami akui bahwa ada beda pendapat di antara para ulama dalam menyikapi masalah isbal. Ada yang tegas menyatakan haram. Ada yang menyatakan memakai celana di bawah mata kaki itu makruh. Ada yang menyatakan hukumnya adalah boleh-boleh saja. Tak percaya? Silakan bedah buku-buku fikih dari para ulama di masa silam. Kebanyakan ulama berdalil dengan hadits Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu yang berpenampilan isbal di hadapan Rasul, lantas Rasul menyatakan pada Abu Bakr,
إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلاَءَ
“Engkau bukan melakukannya karena sombong.” (HR. Bukhari, no. 3665). Dari perkataan inilah sebagian ulama berpandangan bahwa kalau berisbal bukan berniat sombong, tidak masalah.
Kalau tidak terima dengan penjelasan di atas, silakan. Namun jika menyikapi orang yang berbeda dengan kita dalam masalah “bukan prinsipal”[1], kita sikapi sampai menganggap dia sudah bukan golongan kita atau kasarnya menganggapnya sebagai ahli bid’ah, etc, ini yang kami tidak setuju.
Kenapa isbal sampai kami sebut bukan prinsipal? Lihat saja para ulama dalam buku akidah mereka tidak menyinggung masalah ini. Karena masalah hukum isbal masih terdapat silang pendapat di antara para ulama. Silakan buka di buku Lum’atul I’tiqad, Aqidah Thahawiyah, Aqidah Wasithiyah dan lainnya untuk menilik apa yang kami maksud.
Yang kami sedihkan adalah kejadian seorang bapak berikut.
Ia pernah menghadiri kajian kami di Kemang Jakarta. Ia menceritakan yang ia alami di beberapa waktu yang lalu. Ketika ia ingin bertemu dengan ustadz kondang untuk bertanya masalah agama, panitianya ketika melihat ada yang bertemu berpenampilan isbal seperti dia, sudah memandang “sinis”. Akhirnya, bapak tersebut mengurungkan niat untuk ketemu. Ia sangat kecewa dengan sikap panitia yang seperti itu.
Kenapa sampai bisa menyikapi orang seperti itu yah? Kenapa kita tidak bisa bersikap, “Ooh barangkali bapak ini yang menganggap berisbal itu makruh?” Kalau tahu seperti ini, pasti menyambut tamu seperti itu akan lebih akrab.
Pelajaran penting, sikapilah masalah yang masih ada ruang beda pendapat dengan bijak.
Pelajaran lainnya, jadikan bahan dakwah mulai dari yang penting. Berdakwah bukanlah langsung dengan memprioritaskan bahasan penampilan non-isbal karena ada bahan dakwah yang lebih penting dari itu. Kalau iman sudah dibina dengan baik-baik, tentu hukum isbal akan diterima dengan baik pula.
Just my opinion.