Bagaimana hukum berhaji dengan meminjam uang dari bank? Juga bagaimana hukum talangan haji dari bank?
Ada pertanyaan demikian yang sampai pada RumayshoCom, “Di tempat kami Kabupaten Kerinci, Jambi. Banyak PNS yang pinjam uang BANK (riba) untuk mendaftar ongkos naik haji. Mohon penjelasan hukumnya secara ilmiyyah yg shahih. Jazakumullohu khoiron.”
Riba itu Dilaknat
Yang jelas orang yang meminjam uang dengan cara riba terkena laknat atau kutukan.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).
Berarti berhajinya jadinya diawali dengan melakukan yang haram dan menggunakan harta haram.
Berhaji dengan Harta Haram
Syaikh Shalih Munajjid mengatakan, “Hajinya sah. Ia sudah menunaikan haji yang wajib. Namun hajinya tidak disebut mabrur. Pahala hajinya juga berkurang dengan sangat-sangat kurang.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 48986)
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al-Majmu’ (7: 62) berkata bahwa jika seseorang berhaji dengan harta haram, hajinya tetap sah. Demikian pendapat kebanyakan para ulama.
Dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (17: 131) disebutkan bahwa berhaji dengan harta syubhat atau dengan harta hasil curian, tetap sah hajinya menurut pendapat para ulama yang ada. Namun yang berhaji dengan cara seperti itu disebut bermaksiat dan hajinya tidaklah mabrur. Inilah pendapat dalam madzhab Imam Syafi’i dan Imam Malik. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ulama salaf dan khalaf (dulu dan belakangan) berpandangan berbeda, sebagaimana pula Imam Ahmad. Imam Ahmad berkata bahwa berhaji dengan harta haram tidaklah sah. Namun Imam Ahmad dalam pendapat lainnya menyatakan bahwa hajinya sah, namun tetap diharamkan. Dalam hadits shahih disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ada seseorang yang melakukan safar yang jauh, dalam keadaan badan berdebu, lantas ia menengadahkan tangannya ke langit dengan menyebut, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanan dia dari yang haram, minumnya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram, dan ia diberi dari yang haram, bagaimana mungkin do’anya bisa terkabul.
Dana Talangan Haji
Renungkan sendiri pula mengenai dana talangan haji. Apakah termasuk riba atau bukan?
Ibnul Mundzir sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan tentang kaedah riba, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan utang menyaratkan kepada orang yang berutang agar memberikan tambahan, hadiah, lalu dia pun memenuhi persyaratan tadi, maka pengambilan tambahan tersebut adalah riba.”
Padahal …
1- Haji mabrur adalah jihad yang paling afhdal
Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari, no. 1520)
2- Haji mabrur balasannya adalah surga
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari, no. 1773; Muslim, no. 1349). Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.” (Syarh Shahih Muslim, 9: 119)
Ingin sekedar berhaji, demi cari sahnya? Ataukah ingin haji mabrur yang balasannya surga?
Kalau Tidak Mampu
Kalau tidak mampu dengan harta halal, tentu belum dikenakan wajib haji. Karena dalam ayat disebutkan,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97).
Kata Ibnu ‘Abbas sebagaimana dinukil dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah, yang dimaksud mampu di sini adalah punya kemampuan dari sisi zad (bekal) dan al-ba’ir (hewan tunggangan atau kendaraan).
Dalam perkataan lainnya, Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa siapa saja yang memiliki 300 dirham, berarti ia telah mampu menempuh perjalanan untuk berhaji.
Dan tak mungkin 300 dirham yang dimaksud Ibnu ‘Abbas ini adalah dari haram riba, dari pinjaman bank atau dari harta haram secara umum.
Jadi kalau belum punya harta yang halal untuk berhaji, tunggulah sampai memilikinya. Lihat nasihat Syaikh Shalih Al-Munajjid dalam fatawanya no. 34517.
Wallahu waliyyut taufiq. Semoga menjadi renungan.