اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’ân) dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.Dan sesungguhnya mengingat Allâh adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allâh mengetahui apa yang kalian kerjakan. [Al-‘Ankabût/29: 45]

TAFSIR RINGKAS

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (al-Qur’an),” Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk membaca wahyu-Nya, yaitu al-Qur’ân. Arti dari membaca adalah mengikuti semua yang terkandung di dalamnya, melaksanakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, berjalan di atas petunjuk-Nya, membenarkan seluruh yang dikabarkan, merenungi makna-makna yang terkandung di dalamnya dan membaca lafaz-lafaznya.

Maksud dari penyebutan “bacalah” dalam ayat ini hanyalah penyebutan sebagian makna untuk mewakili makna yang lain. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa arti dari kata perintah bacalah adalah menjalankan agama seluruhnya. Sehingga perintah berikutnya, yaitu “dan dirikanlah shalat!” hanyalah penyebutan sebagian hal dari keumuman perintah untuk menjalankan seluruh agama.

Dalam ayat ini terdapat perintah khusus untuk mengerjakan shalat, karena shalat memiliki banyak keutamaan, kemuliaan dan membuahkan berbagai kebaikan, di antaranya  “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.”

Al-fahsyâ’ (perbuatan-perbuatan keji) artinya seluruh dosa besar dan sangat buruk namun jiwa terpancing untuk melakukannya. Al-Munkar adalah setiap maksiat yang diingkari oleh akal dan fitrah manusia.

Mengapa shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Karena seorang hamba jika mengerjakannya dengan menyempurnakan rukun-rukun dan syarat-syarat shalat serta khusyû’, maka itu dapat menerangi dan membersihkan hatinya, menambah keimanannya, dan menambah keinginan untuk berbuat baik. Semakin kuat keinginannya untuk berbuat baik dan semakin sedikit atau bahkan tidak ada keinginan untuk melakukan keburukan.

Oleh karena itu, dengan selalu mengerjakan dan menjaga shalat dengan baik, maka shalat akan mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Ini termasuk tujuan dan buah dari shalat.

Dzikir di dalam shalat mencakup dzikir dalam hati, lisan dan badan. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla menciptakan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan ibadah yang paling afdhal yang dilakukan manusia adalah shalat. Di dalam shalat terdapat ibadah dengan menggunakan seluruh tubuh, yang tidak terdapat pada ibadah selainnya. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mengatakan, yang artinya, “Dan Sesungguhnya mengingat Allâh Azza wa Jalla adalah lebih besar.”

“Dan Allâh mengetahui apa yang kalian kerjakan,” yang baik maupun yang buruk. Allâh Azza wa Jalla akan membalas dengan balasan yang sesuai.[1]

PENJABARAN AYAT

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ 

Dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya untuk mengerjakan shalat. Shalat memiliki banyak manfaat. Diantaranya adalah seseorang akan terhalangi dari perbuatan keji dan mungkar.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ: إِنَّ فُلاَنًا يُصَلِّي بِاللَّيْلِ، فَإِذَا أَصْبَحَ سَرَقَ. قَالَ: إِنَّهُ سَيَنْهَاهُ مَا تَقُولُ

Seorang laki-laki mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Sesungguhnya si Fulan shalat di malam hari, tetapi di waktu pagi dia mencuri.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya shalatnya tersebut akan menahannya[2]

Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhum mengatakan bahwa di dalam shalat terdapat sesuatu yang dapat menahan dan mencegah seseorang dari perbuatan maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa shalatnya tidak menyuruhnya untuk melakukan perbuatan ma’rûf (yang baik) dan tidak melarangnya dari perbuatan mungkar, maka dia hanya membuat dirinya semakin jauh dari Allâh Azza wa Jalla dengan shalat tersebut.

Al-Qatâdah rahimahullah dan al-Hasan rahimahullah berkata bahwa barangsiapa yang shalatnya tidak dapat menahannya dari perbuatan fahsyâ’ dan mungkar, maka shalatnya tersebut menjadi perusak dirinya.[3]

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Dan sesungguhnya mengingat Allâh adalah lebih besar. Dan Allâh mengetahui apa yang kalian kerjakan

Firman Allâh Azza wa Jalla di atas ditafsirkan dengan berbagai tafsir berikut:[4]

  1. Mengingat Allâh Azza wa Jalla lebih besar pengaruhnya dibandingkan shalat dalam hal menahan seseorang dari perbuatan keji dan mungkar, karena shalat memang dapat mencegah seseorang dari kemungkaran saat shalat, tetapi ketika di luar shalat pengaruhnya lebih kecil. Sedangkan ber-dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla bisa menjadi pelindung dari perbuatan mungkar setiap saat.

Ber-dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla termasuk amalan yang paling afdhal. Dalam riwayat Abu Dardâ’ Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya:

أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَرْضَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ  وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَمِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ؟  قَالُوا: وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: ذِكْرُ اللَّهِ

Maukah saya kabarkan kepada kalian amalan terbaik, amalan yang paling di-ridha-i oleh Rabb kalian, lebih bisa meningggikan derajat kalian, lebih baik daripada memberikan emas dan perak, serta lebih baik daripada kalian bertemu dengan musuh kalian, kalian penggal kepala-kepala mereka kemudian mereka memenggal kepala kalian? Mereka pun berkata, “Apakah itu, ya Rasûlullâh!” Beliau berkata, “Dzikir kepada Allâh.”

وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

Diterjemahkan dengan “Dan sesungguhnya Dzikir Allâh (penyebutan Allah Azza wa Jalla terhadap para hamba-Nya di hadapan para malaikat) lebih besar (daripada dzikir hamba kepada Allâh Azza wa Jalla ).

Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadîts Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Allâh Azza wa Jalla berfirman:

مَنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي ، وَمَنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأٍ مِنَ النَّاسِ ، ذَكَرْتُهُ فِي مَلَأٍ أَكْثَرَ مِنْهُمْ وَأَطْيَبَ

Barangsiapa mengingatku di dalam dirinya maka aku akan mengingatnya di dalam diriku. Barangsiapa mengingatku ditengah sekelompok orang, maka Aku akan mengingatnya di sekelompok (makhluk) yang lebih banyak dan lebih baik dari itu[5]

‘Abdullah bin Rabî’ah rahimahullah berkata, “Ibnu ‘Abbâs pernah berkata kepadaku, ‘Apakah engkau mengetahui tafsir dari perkataan Allâh Subhanahu wa Ta’ala (وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ )?’ Saya pun mengatakan, ‘Ya.’ Beliau berkata, ‘Apa tafsirnya?’ Saya menjawab, ‘Dia adalah bertasbih, bertahmid dan bertakbir dalam shalat, begitu pula membaca al-Qur’ân dan yang sejenisnya.’ Beliau berkata, ‘Engkau telah mengatakan sesuatu perkataan yang aneh. Artinya tidak sepertinya itu, tetapi yang benar adalah Allâh Azza wa Jalla mengingat kalian ketika Allâh Azza wa Jalla memerintahkan dan melarang di saat kalian mengingatnya, lebih besar daripada ingat kalian kepada-Nya.

وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ

Diterjemahkan dengan “Dan sesungguhnya mengingat Allâh (dengan shalat) adalah lebih besar (daripada mengingatnya di selain shalat). Hal ini sebagaimana terdapat pada ayat:

فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ

Bersegeralah menuju dzikir (mengingat) Allâh. [Al-Jumu’ah/62:9]

Arti dzikir dalam ayat ini adalah shalat Jumat. Begitu pula dengan ayat dalam surat al-‘Ankabût ini, arti dzikir dalam ayat ini adalah shalat.

SHALAT MENCEGAH DARI PERBUATAN KEJI DAN MUNGKAR

Shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar sebagaimana disebutkan dalam ayat ini. Begitu pula seperti apa yang dialami oleh Nabi Syu’aib Alaihissallam. Kaum Nabi Su’aib Alaihissallam mencela Nabi Syu’aib dengan mengatakan:

قَالُوا يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ

Mereka berkata, ‘Ya Syu’aib apakah shalatmu yang memerintahkan kepadamu agar kami meninggalkan apa-apa yang bapak-bapak kami ibadahi atau kami melakukan pada harta-harta kami apapun yang kami inginkan.” [Hûd/11:87]

Nabi Syu’aib Alaihissallam terkenal dengan kerajinannya dalam mengerjakan shalat, sehingga kaumnya terheran-heran ketika mereka disuruh untuk meninggalkan kesyirikan dan meninggalkan perbuatan haram mereka dalam mencari harta.

Ini menunjukkan bahwa shalat berpengaruh terhadap ketaatan seseorang kepada Allâh dan dapat menahannya dari mencari harta dengan jalan yang diharamkan.

SHALAT YANG SEPETI APA YANG DAPAT MENCEGAH DARI PERBUATAN KEJI DAN MUNGKAR?

Abul-‘Âliyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya di dalam shalat itu terdapat tiga hal. Setiap shalat yang kehilangan satu saja dari tiga hal ini maka itu bukan shalat, yaitu: keikhlasan, rasa takut dan mengingat Allâh. Keikhlasan akan menyuruhnya untuk berbuat ma’rûf, ketakutannya kepada Allâh akan melarangnya dari perbuatan mungkar dan dzikirullâh dengan membaca al-Qur’ân akan menyuruhnya dan juga melarangnya.

Ibnu ‘Aun Al-Anshâri rahimahullah berkata, “Apabila engkau sedang shalat, maka engkau berada dalam hal yang ma’rûf (baik). Engkau telah menahan dirimu dari mengerjakan perbuatan keji dan mungkar.”[6]

Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazâiri hafidzhahullâh berkata, “Dalam shalat, hal pertama yang dilakukan adalah mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , kemudian kedua adalah menjaga kebersihan hati agar tidak memalingkan ibadah kepada selain Rabb Azza wa Jalla ketika mengerjakannya. Kemudian mengerjakan shalat pada waktunya di masjid-masjid, rumah Allâh, dan bersama jamaah kaum Muslimin, hamba-hamba Allâh dan wali-walinya. Kemudian memperhatikan rukun-rukunnya, di antaranya: membaca al-Fâtihah, rukû’ serta ber-thuma’nînah di dalamnya, bangkit dari rukû’ serta ber-thuma’nînah di dalamnya, kemudian sujud di atas dahi dan hidung serta ber-thuma’nînah di dalamnya dan rukun terakhirnya adalah khusyû’, yaitu ketenangan, kelembutan hati dan meneteskan air mata. Shalat yang seperti inilah yang memunculkan cahaya energi yang dapat menghalangi seseorang agar tidak tercebur ke dalam syahwat dan dosa, serta tidak mendatangi perbuatan keji dan tidak mengerjakan perbuatan mungkar.”[7]

PENGARUH DOSA PADA REZEKI SEORANG HAMBA

Dosa yang dilakukan oleh seseorang dapat berpengaruh terhadap rezeki yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepadanya. Allâh Azza wa Jalla menahan rezeki orang yang berbuat maksiat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. [Al-A’râf/7:96]

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَكَفَّرْنَا عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَأَدْخَلْنَاهُمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ ﴿٦٥﴾ وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ مِنْ رَبِّهِمْ لَأَكَلُوا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ أَرْجُلِهِمْ

Dan sekiranya ahli kitab beriman dan bertakwa, tentulah kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (al-Qur’ân) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. [Al-Mâidah/5: 65-66]

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” [Ath-Thalâq/65:2-3]

Ayat-ayat di atas menunjukkan kaitan yang erat antara rezeki seseorang dengan ketakwaannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Orang yang berbuat maksiat kepada Allâh Azza wa Jalla bukanlah orang yang bertakwa kepada-Nya.

MENJAGA SHALAT DAPAT MELANCARKAN REZEKI SESEORANG

Orang yang meninggalkan shalat telah melakukan dosa yang sangat besar. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ

Sesungguhnya pembeda antara seseorang dengan kesyirikan atau kekafiran adalah meninggalkan shalat.[8]

Orang yang meninggalkan shalat bukanlah orang yang bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla menyebutkan kaitan yang erat antara shalat dan rezeki seseorang di dalam ayat berikut, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ ﴿١٣١﴾ وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ

Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Rabb kamu lebih baik dan lebih kekal. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.[Thâhâ/20:131-132]

Ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa orang yang mengerjakan shalat kemudian memiliki kesabaran yang kuat ketika mengerjakannya, maka dia akan diberikan rezeki oleh Allâh Azza wa Jalla tanpa bersusah payah mencarinya. Inilah ganjaran bagi orang yang bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla.

Dalam kisah Nabi Syu’aib Alaihissallam, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan perkataan Nabi Syu’aib Alaihissallam setelah kaumnya memahami bahwa shalatlah yang menahan beliau dari perbuatan mungkar:

قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا

Syu’aib berkata, “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti nyata dari Rabbku dan dianugerahi-Nya aku dari rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? [Hûd/11:88]

Nabi Syu’aib Alaihissallam menjelaskan kepada mereka bahwa dengan shalat dan penjelasan yang nyata dari Rabb-nya, maka Allâh Azza wa Jalla memberikannya rezeki yang baik dan halal. Berbeda dengan mereka yang sibuk mencari harta-harta haram.

Meski demikian, sebagian orang tidak percaya akan adanya kaitan erat antara shalat dengan rezeki. Ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Syu’aib Alaihissallam:

قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ

Wahai Syu’aib! Kami tidak paham banyak hal dari apa yang kamu katakan. [Hûd/11:91]

Mereka mengatakan ini karena hati-hati mereka lebih terikat dan lebih tertarik pada dunia dibandingkan dengan shalat.

BERTAUBAT! JANGANLAH TINGGALKAN SHALAT!

Orang-orang yang belum bisa mengerjakan shalat lima waktu wajib bertaubat kepada Allâh dengan segera. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha Mengampuni para hamba-Nya yang mau bertaubat.

Di antara yang dapat meleburkan dosa adalah mengerjakan shalat lima waktu. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ ؟ قَالُوا : لاَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهَا الْخَطَايَا

Bagaimana menurut kalian jika di depan pintu seorang di antara kalian terdapat sungai yang setiap hari dia mandi di dalamnya. Apakah akan tersisa kotoran di tubuhnya?” Para sahabat menjawab, “Tidak tersisa kotoran sedikit pun di tubuhnya.” Beliau berkata, “Seperti itulah shalat lima waktu, dengannya Allâh menghapuskan dosa-dosa”

Allâh Azza wa Jalla menjanjikan rezeki yang berlimpah untuk orang yang mau bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا

Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu! Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [Nûh/71:10-12]

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Shalat dan Dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla dapat menahan seseorang dari pekerjaan keji dan mungkar.
  2. Shalat yang dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar adalah shalat yang terpenuhi rukun-rukun shalat, keikhlasan, kekusyu’an, ketakutan kepada Allâh dan dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla .
  3. Perbuatan dosa seseorang dapat menahan rezeki Allâh kepadanya dan ketakwaan dapat melancarkannya.
  4. Shalat sangat berpengaruh kepada ketakwaan seseorang dan dapat menjadi sebab dibukakannya pintu rezeki yang halal dan baik.
  5. Shalat lima waktu dapat menghapuskan dosa-dosa seseorang yang telah lalu.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
  2. Al-‘Ibâdâtu Asbâbun Tahmî minal-Mashâ-ib wa Tarfa’uhâ Bi-idznillah. Dr. Munîrah Al-Muthlaq. MajAllâh Al-Buhûts Al-Islâmiyah vol. 94. http://www.alifta.net.
  3. Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Dâr Al-Kutub Al-Mishriyah.
  4. Asbâbul-Barakah fir-Rizqi. Khuthbatul-Jum’ah li Asy-Syaikh Abdul-‘Azîz Âli Asy-Syaikh. sahab.net.
  5. At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr. 1997. Tunisia: Dar Sahnûn.
  6. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
  7. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
  8. Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
  9. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVIII/1436H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Tafsîr As-Sa’di hlm. 632.

[2] HR Ahmad no. 9778.  Syaikh Syu’aib mengatakan, “Isnad-nya shahîh rijâl-nya tsiqât, rijâl Asy-Syaikhain.”

[3] Lihat kedua atsar ini dalam Tafsîr Ibni Katsîr VI/244.

[4] Lihat Tafsîr al-Qurthubi XIII/349, Tafsir Ibni Katsîr VI/283, at-Tahrîr wa At-Tanwîr XX/179-180, Tafsîr As-Sa’di dan Aisarut-Tafâsîr III/209.

[5] HR Ahmad no. 8650. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Shahîh.”

[6] Lihat kedua atsar tersebut dalam Tafsîr Ibni Katsîr VI/282.

[7] Aisarut-Tafâsîr III/209.

[8] HR Muslim no. 82/246.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *