Betapa banyak kaum muslimin bercita-cita pergi ke Baitullah. Bagi yang belum pernah pergi kesana, terbayang-bayang selalu dibenaknya bagaimanakah rasanya melihat kabah, thawaf, sai dan ibadah lainnya. Bagi yang sudah pernah pergi, muncul kerinduan mengunjunginya dan ingin kembali lagi, lagi dan lagi. Ini sunnatullah karena Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاس
“Dan ingatlah, ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) sebagai tempat (mastabah) bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 125)
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu menafsirkan ayat diatas,
لا يقضون منه وطرا يأتونه ثم يرجعون إلى أهليهم ثم يعودون إليه
“Mereka merasa tidak pernah selesai keinginanya. Mereka mendatangi Baitullah kemudian mereka kembali kepada keluarganya kemudian kembali lagi ke Baitullah.” (Tafsir Ibni Katsir)
Demi pelampiasan rindu ini berbagai cara dilakaukan oleh kaum muslimin. Ada yang menyisihkan sebagian hartanya sedikit demi sedikit agar terkumpul biaya ongkos naik haji.
Dan dewasa ini ada sebuah usaha yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syar’iah (LKS) untuk mengambil alih penghimpunan dana dengan cara memberikan dana talangan haji. Produk ini dilegalkan oleh fatwa DSN NO: 29/DSN_MUI/VI/2002.
Namun dalam prakteknya masih terdapat keraguan akan kehalalan produk ini. Kepastian akan kehalalan atau tidaknya produk ini sangat berhubungan kemabruran haji orang yang mendapatkan dana produk ini.
Untuk menjernihkan permasalahan ini, mari kita lihat produk ini dari tinjauan Fikih.
Bentuk akad dana talangan haji yaitu:
Seseorang yang ingin mendaftarkan haji datang ke salah satu lembaga keuangan syari’ah lalu mendaftarkan diri untuk haji dengan membuka rekening tabungan haji serta membayar saldo minimal 500 ribu rupiah.
Kemudian agar ia mendapatkan kepastian seat untuk tahun berapa, maka ia harus melunasi sebanyak 20 juta rupiah. Bank dapat memberikan dana talangan dengan pilihan 10 juta rupiah, 15 juta rupiah, 18 juta rupiah. (Berdasarkan skripsi Sdri. Nur Uyun, mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan judul, “Analisis Manajemen Pembiayaan Dana Talangan Haji pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Malang, th. 2010)
Andai pendaftar memilih talangan 18 juta rupiah, berarti ia mengeluarkan dana tunai sebesar 2 juta rupiah. Dan 18 juta akan ditalagani oleh Lembaga Keuangan Syari’ah. Utang pendaftar haji ini ke LKS sebanyak 18 juta rupiah, akan dibayar secara angsuran selama 1 tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak 1,5 juta rupiah. Sehingga yang harus dibayarkan ke LKS menjadi 19,5 juta rupiah. Jika dalam setahun tidak terlunasi hutangnya kepada bank maka ia dikenakan biaya administrasi baru.
Andai pendaftar memilih talangan 15 juta rupiah berarti ia mengeluarkan uang tunai sebesar 5 juta rupah. Dan 15 juta rupiah akan ditalangani oleh Lembaga Keuangan Syari’ah. Utang pendaftar haji ini ke LKS sebanyak 15 juta akan dibayar secara angsuran selama satu tahun ditambah biaya administrasi sebanyak 1,5 juta rupiah. Sehingga yang harus dibayarkan ke LKS menjadi 16,5 juta rupiah. Jika dalam setahun tidak terlunasi kepada bank maka ia dikenakan biaya administrasi baru.
Andai pendaftar memilih alangan 10 juta rupiah. Berarti ia mengeluarkan uang tunai sebesar 10 juta rupiah. Dan 10 juta rupiah akan ditalangani oleh Lembaga Keuangan Syariah. Utang pendaftara haji ke LKS sebesar 10 juta rupiah akan dibayar secara angsuran selama satu tahun ditambah dengan biaya administrasi sebanyak 1 juta. Sehingga yang harus dibayarkan ke LKS menjadi 11juta rupiah. Jika dalam setahun tidak terlunasi utangnya kepada bank maka ia dikenakan biaya adminsitrasi baru.
Tinjauan Fikih
Dalam produk dana talangan haji ini ada dua akad yang digabung dalam sebuah produk yaitu:
1. Akad qardh (pinjam meminjam) dalam bentuk pemberian talangan dana dari pihak bank kepada pendaftar haji.
2. Akad ijarah (jual beli jasa) dalam bentuk ujrah (fee administrasi yang diberikan oleh pendaftar haji sebagai pihak terhutang kepada bank sebagai pemberi pinjaman).
Menggabungkan qard dengan ijarah telah dilarang oleh Rasulullah shallalllahu’alaihi wasallam,
ٌلاَيَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْع
“Tidak halal menggabungkan akan pinjaman dengan akad jual beli.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Dan akad ijarah termasuk akad jual beli yaitu jual beli jasa. Dengan demikian produk ini bertentangan dengan hadis Nabi shallallahu’alaihi wasallam karena akad ijarah bisa dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman untuk mengambil laba dari pinjaman yang diberikan sehingga termasuk dalam larangan pinjaman yang mendatangkan manfaat (keuntungan).
Selain hadis diatas, para ulama juga telah sepakat haramnya penggabungan akan pinjaman dan jual beli. Ijma’ ini dinukil oleh beberapa ulama, diantaranya:
Al Qarafi berakata,
وبإجماع الأمة على جواز البيع والسلف مفترقين وتحريمها مجتمعين لذريعة الربا
“Umat Islam telah sepakat bahwa boleh hukumnya jual beli dan utang piutang yang terpisah kedua akad tersebut. Akan tetapi haram menggabungkan kedua akad tersebut dalam satu akad, karena ini merupakan celah untuk terjadinya riba.” (Al Furuq, 3: 266)
Pernyataan yang sama juga dinukil Az Zarkasyi dalam bab pembahasan saddu zariah (larangan terhadap sarana). (Al Bahr Al Muhith, 8:91)
Namun bila pintu pengambilan keuntungan ini dapat ditutup rapat maka akad ini dibolehkan sebagaimana difatwakan oleh berbagai lembaga fikih internasional.
Dan sebagaimana yang dinyatakan dalam fatwa DSN yang membolehkan mengambil biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan dalam jumlah tetap dan bukan berdasarkan besarnya pinjaman.
Namun, fatwa tersebut tidak dijalankan pada praktek yang dijelaskan sebelumnya. Dimana besarnya biaya administrasi bervariasi beradasarkan besarnya pinjaman yang diberikan oleh bank.
Ini jelas-jelas bahwa pihak bank tidak sekedar menarik biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan akan tetapi disana telah dimasukkan laba dari pinjaman. Maka jelas ini hukumnya termasuk riba.
Jika dilihat dari persentase besarnya biaya adiministrasi ini, yaitu sekitar 10% dari besarnya pinjaman. Ini hampir sama dengan bunga pinjaman yang ditarik oleh bank konvensional.
Dan juga pada saat pendaftar haji yang berstatus sebagai peminjam tidak mampu melunasi utangnya dalam waktu 1 tahun yang diperjanjikan maka ia akan dikenakan uang administrasi. Ini sama dengan riba jahiliyyah, ketika peminjam tidak mampu mengembalikan utang dikenakan denda. Hanya saja, ini ditukar namanya dengan biaya administrasi.
Himbauan-himbauan
1. Untuk Lembaga Keuangan Syariah
Hendaknya menerapkan fatwa DSN dan tidak keuar dari fatwa yaitu menarik biaya administrasi yang nyata-nyata diperlukan denganbesarnya biaya tetap, tidak berdasarkan besarnya pinjaman. Jika ini dilanggar akan menyebabkan jatuh ke dalam riba.
2. Untuk DSN
Selain mengeluarkan fatwa diharapkan dapat memberikan sanksi bagi lembaga-lembaga yang menerapkan produk tidak sesuai dengan yang difatwakan melalui Dewan Pengawas Syari’ah yang terdapat di setiap bank syari’ah.
3. Untuk masyarakat yang mendaftar haji
Hendaknya jangan sampai terjebak dalam produk ini karena mengandung syubhat riba yang berakibat terhadap (status) hajinya menjadi tidak mabrur karena berangkat dengan menggunakan harta yang diperoleh dengan cara riba. Hendaknya ia membayar tunai 20 juta rupiah agar bisa mendapatkan kepastian seat untuk tahun keberangkatan dan jangan menggunakan dana talangan bank.
4. Untuk masyarakat yang terlanjur menggunakan dana talangan haji. Ingatlah firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al Baqarah: 275)