Orang tua, kalau sudah marah atau kesal dengan anaknya, memang mudahnya langsung saja melontarkan kekesalannya.
Apalagi jika si anak dirasa benar-benar keterlaluan melakukan kesalahan. Omelan-omelan yang dilontarkan mungkin dari si ibu yang sambil memasak atau sambil melakukan aktifitas rumah tangga lainnya. Lain lagi dari si ayah, nasehat bercampur amarah dilontarkan sambil menggebrak, melotot atau bahkan memukul. Na’udzu billah min dzalik.
Sabar pada hentakan pertama itu memang perlu dilakukan dimanapun dan ketika berhadapan dengan siapapun. Apalagi kepada anak kita, yang perasaannya juga halus sama dengan manusia dewasa, namun dengan tingkat akal yang masih berbeda.
Maka, ketika orang tua kesal, sikap yang harus dilakukan pertama kali adalah sabar.
Langkah selanjutnya, coba kita ambil pelajaran dari sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika menghadapi pertanyaan seorang pemuda yang minta izin untuk berzina. Bayangkan! Minta izin berzina!
Kalau kita bayangkan ada anak kita atau anak lain minta izin,
“Ma, boleh gak aku berzina?” “Boleh gak saya berhubungan sama si Fulan?”
Tentu rasa kaget luar biasa diiringi perasaaan bahwa si anak bersikap kelewat batas, kurang adab, atau bisa dibilang kurang ajar. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun merasakan hal yang sama. Mereka langsung menyuruh si pemuda untuk diam dan menghardiknya.
Tapi bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi pemuda ini.
Rasûlullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.
Pemuda itu pun mendekat lalu duduk.
Setelah itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberi pertanyaan yang mudah dicerna dan dijawab dengan cara berpikir si pemudia.
Pertanyaan itu tentang apakah jika si pemudia rela jika ibunya dizinai. Atau ketika anak perempuannya esok hari dizinai. Atau ketika saudari perempuannya dizinai. Atau ketika bibinya dizinai. Dan tentu saja jawaban tersebut, “Tidak.” Ia tidak rela.
Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan sang pemuda sambil meletakkan tangan beliau di dada sang pemudia. (Hadits riwayat Ahmad, no. 22211; sanadnya dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani)
Pelajaran apa yang bisa kita ambil ketika menasehati anak:
- Sabar. Tidak mudah terpancing emosi, bahkan ketika yang dilakukan anak secara akal orang dewasa adalah sesuatu yang luar biasa tidak beradab atau keterlaluan.
- Menasehati dengan posisi dekat dan kondisi tenang. Bukan menasehati sambil mengomel apslagi dilakukan sambil mondar-mandir ke sana kemari. Belum lagi disambi pekerjaan lainnya. Posisi dekat juga memungkinkan kita memandang wajah anak dan menatap matanya. Kondisi tenang agar anak lebih mudah mencerna yang kita katakan.
- Mengajaknya berpikir dan merenung sesusai tingkat akalnya. Tidak menggunakan bahasa yang tinggi atau sulit dipahami anak.
- Menyentuh badan anak. Hal ini berguna untuk menarik perhatian dan konsentrasinya. Pun juga si anak merasa kita tetap menyayanginya. Karena secara alami, saat orang merasa kesal atau tidak suka dengan sesuatu, maka tidak ingin bersentuhan dengannya. Dengan ini kita pun harus berusaha melawan ego dan rasa risih itu. Menyentuhnya bisa juga dengan cara memberinya pelukan memeluknya.
- Mendoakan kebaikan untuk si anak. Dengan ini, anak insya Allah bertambah rasa cintanya kepada orang tua dan semakin menyadari bahwa orang tuanya memang mencintainya dan tetap menyayanginya walaupun ia telah melakukan kesalahan.
Semua ini terkesan mudah, tapi butuh perjuangan saat melakukannya. Semoga kita dimudahkan untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari saat menghadapi anak ataupun orang lain yang melakukan kesalahan.