Alhamdulillah.. wash-sholaatu was-salaamu ‘alaa Rosuulillah…
Kita lanjutkan.. fawaaid dari kitab qowaid dan dhowaabit fiqih ad da’wah.. sekarang kita masuk kepada..
⚉ KAIDAH KE-DUA : Mudhorot tidak boleh dihilangkan dengan perbuatan yang mudhorot.. dan kebathilan tidak boleh ditolak dengan perbuatan yang bathil juga.
Dalil kaidah ini banyak.. diantaranya hadits Nabi shollallahu ‘alayhi wa sallam,
➡ dari Ubada bin Shamit, bahwa Rosulullah shollallahu ‘alayhi wa sallam bersabda (yang artinya), “tidak boleh melakukan perbuatan mudhorot dan tidak boleh membalas mudhorot dengan mudhorot..” (HR Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani rohimahullah)
➡ Demikian pula dalam hadits, bahwa Nabi shollallahu ‘alayhi wa sallam melihat orang Arab Badui yang kencing di masjid. Lalu para sahabat berdiri untuk memberhentikannya.. maka Nabi shollallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Biarkan ia.. jangan diputus..” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Kenapa Nabi melarang para sahabat..? Karena mudhorotnya lebih besar. Ketika mudhorotnya lebih besar yaitu mengakibatkan najis kemana-mana, Nabi memilih untuk membiarkan Arab Badui tersebut kencing.. walaupun mudhorotnya bisa menajisi masjid, namun mudhorotnya itu lebih ringan.
Maka dari itu.. harus kita perhatikan bahwa pada asalnya mudhorot itu hendaknya dihilangkan dengan perbuatan yang maslahat. Tidak boleh dihilangkan dengan mudhorot lagi. Misal..
⚉ Maksiat tidak boleh dihilangkan dengan cara maksiat..
⚉ Bid’ah juga tidak boleh dihilangkan dengan cara bid’ah lagi.. akan tetapi bid’ah dihilangkan dengan sunnah..
⚉ Syirik dihilangkan dengan tauhid..
⚉ Maksiat dihilangkan dengan ta’at..
Namun kalau ternyata mengakibatkan kita tidak bisa menghilangkan dengan kebaikan, akan tetapi kita menghilangkannya dengan mudhorot yang lain.. maka..
⚉ kalau ternyata mudhorot tersebut lebih besar daripada kemungkarannya, maka ini haram..
⚉ kalau ternyata seimbang, ini juga tidak boleh..
⚉ tetapi kalau ternyata kita melakukan perbuatan mudhorot tersebut lebih ringan dibandingkan kemungkarannya, maka yang seperti ini boleh..
Seperti yang Rosulullah shollallahu ‘alayhi wa sallam lakukan terhadap orang Arab Badui. Karena Nabi shollallahu ‘alayhi wa sallam dihadapkan pada dua mudhorat : membiarkan orang badui kencing atau membiarkan para sahabat menghentikannya.
Tentu membiarkan para sahabat menghentikannya lebih besar mudhorotnya karena akan mengakibatkan najisnya kemana mana dan sulit untuk dicuci.
Maka Nabi shollallahu ‘alayhi wa sallam mengambil mudhorot yang lebih ringan untuk menghindari mudhorot yang lebih besar.
Demikian pula Nabi shollallahu ‘alayhi wa sallam, dalam hadits yang shohih, menyuruh untuk bersabar menghadapi pemimpin yang zholim. Padahal kezholiman pemimpin itu mudhorot.. namun memberontak kepada mereka jauh lebih besar mudhorotnya.
Oleh karena itulah seorang da’i ketika membantah, tidak boleh dengan cara yang sifatnya mudhorot..
⚉ maka bid’ah tidak boleh dibantah dengan bid’ah..
⚉ maksiat tidak boleh dibantah dengan maksiat..
⚉ syirik tidak boleh ditolak dengan syirik..
Demikian pula seorang da’i, orang yang berdakwah dijalan Allah subhaanahu wa Ta’ala, misalnya ketika dikafirkan atau dituduh sesat oleh lawan-lawannya.. tidak boleh ia membalas lagi dengan mengkafirkan atau menyesatkannya, hanya sebatas karena dirinya dituduh.. maka dia wajib menimbang segala sesuatu dengan syariat, bukan dengan hawa nafsu, bukan dengan kemarahan, bukan karena membela diri, dan yang lainnya.
Demikian pula ketika seseorang berdebat dengan ahli bid’ah, jangan sampai ketika dia berdebat menggunakan kedustaan walaupun tujuannya baik dalam rangka menghancurkan kebathilan.. tapi seperti itu tidak boleh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahullah berkata, “Sunnah harus dijaga dengan cara benar dengan kejujuran dan keadilan. Tidak boleh dijaga dengan cara dusta atau juga dengan perbuatan zholim. Maka seseorang yang membantah atau menolak kebathilan dengan cara yang bathil.. demikian pula menolak kebid’ahan dengan cara bid’ah lagi, maka ini perbuatan yang dicela oleh salafush sholih dan para ulama..” (Kitab Daaru Ta’arubil aqli wa naqli, jilid 7 halaman 282)
Wallahu a’lam 🌻
.
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى.
.
Dari Kitab FIQIH Ad Da’wah Menurut Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyyah, yang ditulis oleh Syaikh ‘Abid bin ‘Abdillah Ats Tsubati.
.
.
AL FAWAID AL ILMIYYAH GROUP