Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah
Sa’i adalah salah satu syi’ar haji. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan thawaf (baca: sa’i) antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Baqarah: 158)[1].
Maka sa’i adalah salah satu syi’ar Allah yang Allah syari’atkan dalam haji dan umrah. Dan sa’i adalah ibadah. Maka selayaknya seorang Muslim jika beribadah hendaknya dalam keadaan tenang dan khusyuk kepada Allah, menghadirkan dalam hatinya keagungan ibadah yang ia lakukan. Juga menghadirkan dalam hatinya bahwa ia sedang meneladani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Terdapat hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إنما جعل الطواف بًالبيت وبين الصفا والمروة ورمي الجمار لإقامة ذكر الله
“Sesungguhnya disyariatkan thawaf di Baitullah dan antara shafa dan marwah dan melempar jumrah untuk berdzikir kepada Allah” (HR. Abu Daud no. 1888, di-dhaif-kan Al Albani dalam Dhaif Sunan Abi Daud)[2].
Maka jika seseorang berbuat sia-sia, tertawa-tawa, bersenda gurau, dan berisik ketika sa’i maka itu tidak membatalkan sa’i namun akan banyak mengurangi pahalanya.
Dan terkadang bisa sampai membatalkan sa’inya jika ia melakukannya dalam rangka meremehkan tempat sa’i dan ibadah sa’i itu sendiri, maka terkadang ini bisa membatalkannya.
Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الطوافُ بالبيتِ صلاةٌ ، إلا أنَّ اللهَ أباحَ فيهِ الكلامَ ، فمن تكلّمَ فيهِ فلا يتكلمْ إلا بخيرٍ
“Thawaf di Baitullah adalah (seperti) shalat, namun Allah bolehkan berbicara di dalamnya. Maka barangsiapa yang mau berbicara, hendaknya tidak berbicara kecuali yang baik-baik” (HR. Ad Darimi no. 1889)[3].
Kesimpulannya, berbicara tidak membatalkan sa’i, namun hendaknya seorang Muslim tidak berbicara ketika thawaf dan sa’i kecuali yang baik-baik.
***
Sumber: http://binothaimeen.net/content/7232
Catatan kaki:
[1] Dari ayat ini sa’i juga disebut sebagai “thawaf”. Karena Allah Ta’ala berfirman:
لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا
“maka tidak ada dosa baginya mengerjakan thawaf antara keduanya”.
Maka semua dalil yang bicara tentang thawaf, juga mencakup sa’i.
[2] Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi mengatakan:
فيه عبيد الله بن أبي زياد وقد وثقه جماعة، وضعفه آخرون، وحديثه هذا معناه صحيح بلا شك. ويشهد لصحة معناه القرآن
“Di dalamnya terdapat Ubaidullah bin Abi Ziyad. Ia ditsiqahkan sebagian ulama, dan di-dhaif-kan sebagian ulama yang lain. Namun hadits ini maknanya shahih tidak diragukan lagi. Dikuatkan oleh makna dari Al Qur’an” (Adhwaul Bayan, 5/341).
[3] Syaikh Ibnu Al Utsaimin mengatakan:
صح موقوفاً على ابن عباس أما عن النبي صلى الله عليه وسلم فلا يصح
“shahih secara mauquf dari Ibnu Abbas, adapun dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam maka tidak shahih” (Syarah Shahih Muslim, 4/300)