Alhamdulillah, ada pengalaman menarik hari ini yang bagus untuk di-share. Sekitar dua pekan lalu, sore hari saya memacu motor dari Masjid Amar Ma’ruf Bekasi, hendak pulang. Maksud hati ingin mencoba jalur pulang yang lebih singkat, namun karena memang belum mengenal semua jalan di Bekasi, jadilah saya terkena tilang pak Polisi. Pasalnya, ada sebuah perempatan yang ternyata dilarang belok ke arah kanan dan saya belok kanan di sana. Konon ada rambu larangannya, mungkin tidak terlirik oleh saya. Singkat kata, saya bukan sengaja melanggar rambu, namun karena tidak sengaja.
Kemudian Polisi yang menilang saya menjelaskan kesalahan saya dan memberikan buku kecil berisi daftar pelanggaran dan hukumannya. Polisi tersebut membuka halaman dalam buku tadi dan menunjukkan jenis pelanggaran saya dan di sana tertera dendanya sebesar Rp 500.000,- Lumayan besar juga. Pendek kata, walaupun Polisi tersebut menawarkan ‘denda yang lebih murah’, namun saya memilih disidang saja.
Walhasil, STNK motor ditahan dan hari ini saya disidang. Di luar dugaan, ternyata pagi itu di pengadilan antrian sudah memanjang. Mungkin sekitar 300 orang lebih sudah ada di sana dan masih terus bertambah. Saya sendiri mendapat nomor antrian 265. Mungkin anda membayangkan, 300 orang dan masih terus bertambah harus sidang hari itu juga! Tunggu dulu, ternyata sidang ini tidak sebagaimana anda yang bayangkan, atau seperti anda lihat (mungkin) di televisi. Proses sidang ini berlangsung cepat, bahkan dalam satu menit sekitar 4 orang sekaligus diproses. Saya sendiri hanya mengantri sekitar 1 jam. Anda hanya dipanggil, diputuskan nominal dendanya, bayar, ambil STNK dan selesai. Semua di satu meja. Dan ternyata saya hanya dikenai denda sebesar Rp 80.000,- . Pelanggar-pelanggar lain yang saya amati juga dikenai denda berkisar antara Rp 80.000,- sampai Rp 100.000,- saja.
Yang ingin saya sampaikan dari cerita ini adalah, jika dengan proses pengurusan yang tidak terlalu rumit seperti itu dan jumlah uang denda yang masih cukup terjangkau, mengapa kita lebih memilih jalan pintas dengan memberikan uang suap kepada pak Polisi?
Sekilas Mengenai Suap-Menyuap
Perlu diketahui bagwa Islam melarang sogok-menyogok atau suap-menyuap yang dalam Islam disebut risywah. Ketika menceritakan kaum Yahudi, Allah Ta’alaberfirman:
أُولَئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ * سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah sudah tidak berkehendak untuk mensucikan hati mereka. Bagi mereka kehinaan di dunia dan adzab yang pedih di akhirat. Mereka itu gemar mendengar berita bohong, gemar memakan yang suht” (QS. Al Maidah:42)
Sebagian ulama menafsirkan suht dengan risywah, atau risywah merupakan jenis dari suht. Sebagaimana dikatakan oleh seorang sahabat Nabi, yaitu Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu:
الرِّشْوَةُ فِي الْحُكْمِ كُفْرٌ، وَهِيَ بَيْنَ النَّاسِ سُحْتٌ
“Uang suap itu bagi pejabat pemerintahan adalah kekufuran, bagi masyarakat adalah suht”
(HR. At Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir, no. 9002, di shahihkan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid, 4/202, As Sakhawi dalam Maqashid Al Hasanah, 394, Al ‘Ajluni dalam Kasyful Khafa, 2/186)
Dengan demikian jelaslah bahwa suap-menyuap itu haram dan merupakan kebiasaan kaum Yahudi. Lebih lagi, suap-menyuap termasuk dalam kategori dosa besar, karena dilaknat oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى
Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melaknat pemberi suap dan penerima suap” (HR. At Tirmidzi no.1387, At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
Jadi pilih mana? Repot sedikit untuk urus-urus atau dosa besar?
—
Bekasi, 12 Rajab 1431 H