Kita, entah sadar atau tidak, mungkin pernah “terlalu kuantitatif” dalam menghitung rezeki.
Kita menghitung jumlah yang kita dapatkan dari satu pintu rezeki.
Akan tetapi, kita lupa mensyukuri keberkahan di balik jumlah yang sedikit itu.
Pun, kita terluput menghitung rezeki yang diberikan oleh Allah tak henti-henti dari pintu-pintu yang lain.

Kita, menghitung penghasilan bulanan suami. Ternyata jumlahnya sangat sedikit dibandingkan yang kita angan-angankan.
Akan tetapi, kita lupa, Allah beri kita kesehatan sehingga tak perlu kita merogoh saku dalam-dalam untuk bolak-balik ke dokter.
Pun, kita lupa, Allah beri kita tempat berteduh yang menyenangkan. Meskipun hanya mengontrak rumah orang, si pemilik rumah adalah orang yang murah hati, jujur, dan menjaga amanah. Beliau bukan orang yang suka tiba-tiba menaikkan harga kontrakan. Beliau pun selalu lapang dada bila kita meminta kelonggaran tempo pembayaran.

Kita, menghitung uang kita. Ternyata tak cukup untuk membeli pelengkapan rumah tangga impian kita.
Akan tetapi, kita lupa, Allah tak memberi kita mesin cuci tetapi Allah beri kita sepasang tangan yang sempurna dan kuat mengucek baju setiap hari. Padahal di belahan bumi yang lain, seseorang yang rumahnya megah dan hartanya melimpah, sedang terbaring merenungi kedua tangannya yang tak lagi mampu digerakkan; entah karena kecelakaan, entah karena sakit yang tak kunjung sembuh.

Kita, menengok celengan kita. Isinya tak seberapa dibandingkan sederet barang-barang impian kita. Manalah mampu terbeli dengan isi celengan yang hanya recehan 500 rupiah.
Akan tetapi, kita lupa, Allah jaga orang tua dan sanak saudara kita di kampung halaman. Hidup mereka berkecukupan, sehat jiwa-raga, dan berada di atas hidayah Islam.
Akankah kita rela, bila Allah menghujani kita dengan jutaan lembaran 100.000 rupiah dari atas langit-Nya, lalu Dia berikan sakit bertubi-tubi ke keluarga yang kita cintai di sana. Belum lagi berhenti penyakit di badan mereka, kita diuji dengan murtadnya mereka.
Sanggupkah kita menukar jumlah yang sedikit dengan hal-hal yang tak ternilai harganya?

Bersyukurlah.
Syukur adalah salah satu inti kebahagiaan.
Tak kurang kiranya keutamaan syukur, hingga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendoakan di awal kitab beliau, Al-Qawaidul Arba’,

أسأل الله الكريم رب العرش العظيم أن يتولاك في الدنيا والآخرة، وأن يجعلك مباركا أينما كنت، وأن يجعلك ممن إذا أعطي شكر، وإذا ابتلي صبر، وإذا أذنب استغفر، فإن هذه الثلاث عنوان السعادة

“Saya memohon kepada Allah yang Mahamulia, Rabb yang Maha Agung, pemilik ‘arsy.
Semoga Dia menjagamu di dunia dan di akhirat.
Semoga Dia menjadikanmu penuh berkah di mana pun engkau berada.
Semoga Dia menjadikanmu orang yang selalu bersyukur ketika diberi rezeki, selalu bersabar ketika diuji, dan selalu ber-istigfar bila berbuat dosa.
Karena tiga hal itu adalah inti kebahagiaan.”

Bersyukurlah.
Berhentilah “terlalu kuantitatif” dalam menghitung rezeki yang dilimpahkan Allah untuk kita.
Ingatlah, sebanyak apa pun jari yang kita gunakan untuk menghitung rezeki dari Allah, kita tak akan sanggup.
Kita tak akan sanggup menghitungnya. Kita tak akan sanggup.

وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung niikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim: 34)

Bersyukurlah.
Berusahalah untuk selalu bersyukur, dan mohonlah hidayah dari Allah agar Dia berkenan membantu kita agar selalu bersyukur.

اَلَّلهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“Ya Allah, bantulah aku agar selalu berzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i; hadits shahih)

*

Penyusun: Athirah Mustadjab.
Artikel WanitaSalihah.Com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *