Suap dalam Urusan Legalitas Usaha

Aug 08, 2016 ArtikelFikih Kontemporer 0

Suap dalam Urusan Legalitas Usaha

Urusan legalitas usaha rawan praktek suap. Waspadalah, karena “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat penyuap dan penerima suap. 

Pengurusan legalitas usaha hampir tidak lepas dari praktek suap-menyuap. Tapi tahukah anda, ternyata di sana ada suap yang halal.

Oleh: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA *

Pola hidup masyarakat zaman sekarang mengharuskan seseorang menyesuaikan aktivitas perniagaannya. Terlebih pada zaman dengan nilai-nilai amanah hampir sirna, sementara keserakahan menguasai hati banyak orang. Termasuk pada para pelaku usaha. Agar terhindar dari keserakahan orang lain, semestinya Anda pun melegalkan usaha Anda dan melengkapinya dengan berbagai alat bukti yang sah. Kisah berikut menjadi bukti betapa pentingnya sebuah legalitas dan alat bukti dalam perniagaan.

Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli seekor kuda dari seorang Arab Badui. Setelah transaksil disepakati, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta orang itu mengikutinya untuk menerima pembayaran. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan sedikit cepat, sedangkan Arab Badui itu berjalan lambat. Sebagian sahabat Nabi mencegat Arab Badui itu dan menawar kuda miliknya. Mereka tidak menyadari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membeli kudanya. Tiba-tiba Arab Baduwi itu berteriak memanggil Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Apakah engkau jadi membeli kudaku ini? Bila tidak, aku akan menjualnya kepada orang lain.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti berjalan dan bersabda, “Bukankah aku telah membeli kuda itu darimu?” Orang Arab Badui itu menjawab, “Tidak, sungguh demi Allah aku belum menjualnya kepadamu.” Nabi kembali meyakinkan dan berkata, “Benar, aku sungguh telah membelinya darimu.” Arab Badui itu tetap saja tidak mengaku, dan malah berkata, “Datangkanlah saksi.” Spontan sahabat Khuzaimah bin Tsabit bangkit dan berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau telah menjual kudamu kepadanya (Nabi).”  (HR. Abu Dawud No. 3607)

Saudaraku, hadis tersebut menceritakan keserakahan manusia. Sampai manusia yang paling sempurna akhlaknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun hampir menjadi korban keserakahan. Setelah memahami hal ini, mungkinkah Anda merasa aman dari keserakahan orang? Kisah tadi menjadi bukti nyata betapa pentingnya sebuah  legalitas dalam setiap urusan.

Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 282, yang merupakan ayat terpanjang dalam Al-Quran, menjadi dalil kuat betapa pentingnya arti legalitas dalam berbagai kegiatan perniagaan Anda. Karena itu, sepantasnya Anda tidak menyepelekannya. Terlebih manfaat legalitas sepenuhnya kembali kepada Anda.

Walau demikian penting legalitas dalam dunia usaha, namun dalam tinjauan Ilmu Fikih, hukumnya hanya dianjurkan. Artinya, Anda tidak berdosa bila menjalankan kegiatan usaha tanpa dilengkapi legalitas yang semestinya. Namun tentu segala risikoharus Anda tanggung.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan, ayat dan dalil-dalil yang memerintahkan penulisan transaksi dan utang-piutang tidak bermakna wajib. Namun dalil-dalil tersebut hanyalah sebatas saran dan anjuran guna menghindarkan terjadinya sengketa dan perselisihan. Allah berfirman, yang artinya, “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah: 283)

Anda pasti menyadari bahwa tingkat amanah dan takwa sebagian orang saat ini begitu rendah. Sebaliknya, ambisi dan keserakahan kian hari kian merajalela. Fakta ini semakin menguatkan pentingnya keberadaan legalitas usaha.

Praktek Nakal dalam Pengurusan Legalitas

Mengingat pentingnya legalitas dalam kehidupan masyarakat, setiap pemerintah mengatur penerbitan legalitas dan berbagai hal lain yang terkait dengannya. Aturan-aturan tersebut dibuat demi memastikan berbagai bentuk legalitas diberikan kepada yang berhak menerima dan digunakan sebagaimana mestinya. Walau demikian, terjadi berbagai penyimpangan. Oleh masyarakat dan oleh pejabat yang bertanggung jawab mengurus penerbitan legalitas alat-alat bukti. Akibatnya, alat bukti diberikan ke yang tidak berhak menerimanya dan digunakan tidak sewajarnya.

Banyak faktor yang menyebabkan penyelewengan tersebut. Berikut ini di antaranya.

  1. Faktor Kekerabatan

Alat bukti atau legalitas diberikan kepada kerabat atau sahabat walau sejatinya tidak berhak menerimanya. Sebaliknya, orang lain dihalang-halangi mendapatkannya, walaupun berhak. Tindakan ini hukumnya haram karena menyelisihi firman Allah Azza wa Jalla, yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.  Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.”(QS. An Nisa’: 135)

Penyelewengan karena faktor kekerabatan telah terbukti menjadi biang kehancuran negara, bahkan umat . ‘Aisyah Radhiallahu ‘anha mengisahkan, suatu hari sahabat Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘anhu membela seorang wanita Quraisy yang mencuri agar tidak dipotong tangannya. Mendengar pembelaan Usamah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam murka. Beliau berkhutbah dan bersabda, “Sesungguhnya biang kehancuran umat-umat sebelum kalian adalah karena mereka bersikap pilih kasih. Bila ada orang bangsawan yang mencuri, maka mereka membiarkannya. Namun bila rakyat jelata yang mencuri, maka mereka menegakkan hukuman atasnya. Sungguh demi Allah, andai Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

  1. Uang Suap

Fakta membuktikan suap dapat menjerumuskan para pemangku wewenang untuk menyelewengkan tugasnya. Karena suap, legalitas diberikan ke yang tidak berhak menerimanya. Praktek suap nyata-nyata diharamkan, dan termasuk dosa besar. Sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash mengisahkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmizy dan lainnya)

Islam benar-benar menutup seluruh celah terjadinya praktek suap, demi menegakkan keadilan. Karena itu, Islam juga mengharamkan pemberian hadiah kepada setiap orang yang mampu mempengaruhi keputusan pejabat, walaupun ia bukan pejabat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa memberi rekomendasi (memo/pembelaan) kepada saudaranya, lalu saudaranya itu memberinya suatu hadiah dan ia menerima hadiahnya, maka ia telah memasuki salah satu pintu besar praktek riba.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Dikisahkan, suatu hari seorang tabi’in bernama Masruq memberi rekomendasi ke seorang lelaki. Atas rekomendasinya itu, lelaki itu memberinya hadiah berupa seorang budak wanita. Sungguh mengejutkan. Bukannya senang, Masruq malah murka, dan berkata, “Andai aku mengetahui bahwa engkau memiliki keinginan memberiku hadiah semacam ini, niscaya seumur hidup aku tidak sudi memberimu rekomendasi dan tidak akan turut berbicara dalam urusanmu. (HR. Ibnu Sa’ad dalam kitab At Thabaqat Al Kubra, 6/81)

  1. Kezaliman

Menyadari keharaman suap, tentu Anda jadi waspada. Namun kadang Anda tidak berdaya, karena sebagian pemangku wewenang dengan sengaja menghalang-halangi hak Anda. Kecuali bila Anda memberinya apa yang ia inginkan. Pada kondisi ini, Anda dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama pahit: menuruti keinginan pejabat nakal itu, ataukah merelakan hak Anda untuk selama-lamanya. Pilihan pertama sering terasa lebih ringan akibatnya, karena sebagian hak Anda dirampas, namun nilainya lebih kecil dibandingkan yang  berhasil Anda selamatkan.

Imam Al-Mawardi menyatakan, “Terkait hukum memberi suap, bila motivasi melakukan hal tersebut demi menyelamatkan haknya atau menghindari perilaku semena-mena, maka tidak haram. Kasus ini serupa dengan perbuatan menebus tawanan perang dengan sebagian harta.” (Al-Hawi Al-Kabir16/284)

Walau demikian, perlu diingat, pejabat penerima suap berdosa dan haram baginya menikmati uang suap yang diterimanya. Karena penegasan Imam Al-Mawardi hanya berlaku bagi korban suap, bukan pejabat penerima suap.

Semoga Anda lebih waspada dalam menjalankan berbagai aktivitas perniagaan Anda agar tidak mudah terpedaya orang-orang tidak bertanggung jawab. Wallah Ta’ala a’alam bisshawab(PM)

Pull -Quote:

  1. Menurut tinjauan Ilmu Fikih, legalitas usaha hukumnya hanya dianjurkan. Artinya, tidak berdosa bila menjalankan kegiatan usaha tanpa dilengkapi legalitas.
  2.  Imam Al-Mawardi menyatakan, “Terkait hukum memberi suap, bila motivasi melakukan hal tersebut demi menyelamatkan haknya atau menghindari perilaku semena-mena, maka tidak haram.
  3. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menegaskan ayat dan dalil-dalil yang memerintahkan penulisan transaksi dan utang-piutang tidak bermakna wajib. “Barang siapa memberi rekomendasi (memo/pembelaan) kepada saudaranya, lalu saudaranya itu memberinya suatu hadiah dan ia menerima hadiahnya, maka ia telah memasuki salah satu pintu besar praktek riba.” (HR. Abu Dawud)

PengusahaMuslim.com didukung oleh Zahir Accounting Software Akuntansi Terbaik di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *