Ketika kita melakukan shalat berjamaah yang dua rakaat pertama bacaan Al Fatihah dibaca secara jahr maka sebagai makmum akan mengucapkan aamiin di akhir surat, lalu kapan waktu yang paling tepat untuk mengucapkannya?

Bismillah..

Ada hadis dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim yang berbunyi,

إذا أمن الإمام فأمنوا فإنه من وافق تأمينه تأمين الملائكة غفر له ما تقدم من ذنبه

“Apabila imam mengucapkan amiin, maka ucapkanlah amin. Karena barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan aminnya malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Melihat teks hadis ini secara eksplisit, tampak bahwa para makmum mengucapkan aamiin setelah ucapan aamiinnya imam. Karena potongan redaksi hadis di atas menggunakan fi’il madhi (kata kerja lampau) “ammana” (telah mengucapkan aamiin). Sehingga hadis ini menunjukkan waktu yang tepat bagi makmum untuk mengucapkan aamiin adalah setelah imam mengucapkan aamiin.

Namun di sana ada hadis lain yang menerangkan bahwa makmum membaca aamiin setelah imam selesai membaca ayat waladdhalliin. Artinya makmum tidak perlu menunggu ucapan aamiin Imam. Namun berbarengan dengan ucapan aamiin imam.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إذا قال الإمام غير المغضوب عليهم ولا الضالين، فقولوا : آمين، فإنه من وتفق قوله قول الملائكه غفر له ما تقدم من ذنبه.

“Apabila imam membaca ghairil maghdhūbi ‘alaihim wa lādh-dhāllīn, maka ucapkanlah ‘āmīn’. Karena barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan aminnya malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari).

Dua hadis yang tampak bertentangan, namun hakikatnya tidak. Karena tidak ada ayat ataupun hadis yang kontrakdisi secara hakikat. Yang ada kontrakdisi tersebut karena kedangkalan pemahaman kita sebagai manusia. Bila ada dua dalil yang tampak bertentangan seperti ini, ada empat langkah yang ditempuh oleh para ulama untuk menyimpulkan suatu hukum, yaitu.

1. Al-Jam’u, yakni mengkompromikan dua dalil yang tampak bertentangan.

2. At-Tarjih, yakni memilih salah satu dalil yang lebih kuat, baik dari sisi sanad maupun ketegasan redaksional.

3. An-Naskhu, yakni menghapus hukum salah satu dari dua dalil yang tampak bertentangan. Langkah ini ditempuh apabila diketahui waktu munculnya dalil dan tidak mungkin mengkompromikan atau mentarjih salah satu dalil. Lalu nanti dalil yang datang belakangan menghapus dalil yang datang dahulu.

4. At-Tawaqquf, yakni tidak mengamalkan kedua dalil. Langkah terakhir ini dipilih bila dalil yang tampak bertentangan tidak mungkin untuk dikompromikan, ditarjih, atau dinaskh.

Untuk mencari jalan keluar, mari kita tempuh langkah pertama terlebih dahulu sebelum memilih tiga langkah berikutnya, yakni al jam’u. Langkah kompromistis lebih didahulukan karena dalam kaidah ushul fikih dinyatakan:

إعمال الدليلين أولى من إهمال أحدهما

“Menerapkan dua dalil sekaligus lebih diutamakan daripada memilih salah satu dalil dan mengabaikan yang lainnya.”

Lalu apakah mungkin dua hadis di atas dikompromikan?

Ternyata mungkin untuk dikompromikan. Sebagaimana penjelasan An-Nawawi rahimahullah berikut,

وكلاهما في الصحيحين كما سبق فيجب الجمع بينهما . فيحمل الأول على أن المراد إذا أراد الإمام التأمين فأمنوا ليجمع بينهما . قال الخطابي وغيره : وهذا كقولهم إذا رحل الأمير فارحلوا ، أي إذا تهيأ للرحيل فتهيئوا ليكن رحيلكم معه

“Kedua hadis ini tertulis di shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Oleh karenanya kedua hadis ini harus dikompromikan. Hadis pertama kita pahami, apabila imam hendak mengucapkan aamiin maka ikutilah oleh kalian mengucapkan aamiin, supaya mengkompromikan dua hadis ini.
Al-Khattabi rahimahullah dan yang lainnya mengatakan, ‘Hal ini seperti ucapan apabila seorang amir (pimpinan) pergi maka pergilah kalian.’ Maksudnya apabila amir bersiap-siap pergi, maka berkemas-kemaslah kalian. Supaya kepergian kalian berbarengan dengan amir” (Majmu’ Syarhu Al Muhadzdzab 3/333).

Sehingga hadis pertama kita maknai, “jika imam telah bersiap mengucapkan aamiin maka bersiap-siaplah kalian mengucapkan aamiin. Supaya ucapan aamiin kalian berbarengan dengan ucapan aamiinnya imam.” Karena redaksi dalil itu saling menjelaskan satu sama lain.

Pendapat inilah yang dipegang oleh jumhur ulama, di antaranya Ibnu ‘Umar, Ibnu Zubair, Sufyan Ast-Stauri, ‘Atha’, Syafi’i, Yahya bin Yahya, Ishak, Abu Khaitsamah, Ibnu Abi Syaibah, Sulaiman bin Dawud dan ulama mazhab Hanafi.

Kesimpulannya, makmum mengucapkan aamiin berbarengan dengan ucapan aamiinnya imam

Baca juga:
* Hukum Mengucapkan Aamiin Setelah Membaca Al Fatihah di Luar Shalat

Wallahua’lam bis showab.

***

Salatiga, 23 Ramadhan 1348 H

Artikel : Muslim.or.id
Penulis : Ahmad Anshori

Sumber: https://muslim.or.id/30781-kapan-makmum-mengucapkan-aamiin.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *