LURUSKANLAH SHAF ATAU HATI KALIAN AKAN BERCERAI BERAI! [1]

Dari Abu Mas’ûd Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اسْتَوُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ

Luruskanlah dan janganlah kalian melenceng, karena hati kalian pun akan melenceng (bercerai-berai).[2]

Kata pertama dari hadits tersebut istawû (luruskanlah) berbentuk kata perintah. Dan kata perintah itu pada dasarnya memberikan makna wajib, kecuali kalau ada qarînah (indikator lain) yang menunjukkan bahwa kata perintah itu bukan untuk yang wajib. Namun dalam masalah ini, qarînah-qarînah yang menekankan makna wajibnya cukup banyak. Di antaranya adalah hadits:

أَحْسِنُوا إِقَامَةَ الصُّفُوفِ فِى الصَّلاةِ

Hendaklah kalian memperbagus dalam menegakkan (meluruskan) shaf dalam shalat

Di antara qarînah[3]nya juga adalah apa yang bisa kita lihat pada hadits itu sendiri, yaitu larangan untuk melenceng dalam shaf. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : walâ takhtalifû (Janganlah kalian melenceng). Di sini ada qarînah yang menguatkan bahwa kata perintah yang ada sebelumnya bermakna wajib, karena larangan memberikan makna pengharaman, kecuali ada qarînah yang membelokkannya.

Perintah dan larangan telah terhimpun sekaligus dalam hadits ini; sehingga masing-masing dari perintah  dan larangan ini menjadi qarînah yang memberikan makna penegasan satu sama lain.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk meluruskan shaf dan memperingatkan agar perintahnya itu jangan diabaikan. Karena hal itu akan menggiring pada perselisihan, sebagaimana dalam hadits:

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَوَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ

Luruskanlah shaf-shaf kalian! Karena, Demi Allâh! Kalian benar-benar meluruskan shaf-shaf kalian, atau (kalau tidak-red) Allâh akan membuat perselisihan di antara hati kalian.[4]

Dalam suatu riwayat:

 أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

Atau Allâh akan membuat perselisihan di antara wajah kalian.[5]

Huruf fa’ dalam kalimat fatakhtalifa (dalam pertama-red) adalah fa’ sababiyyah (artinya, kejadian atau persitiwa yang disebutkan sebelum huruf tersebut menjadi penyebab dari kejadian yang disebutkan setelahnya). Dengan demikian, maka makna hadits tersebut adalah ketidakberesan atau tidak lurusnya shaf adalah sebab bercerai-berainya hati.

Lalu mengapa ada yang mengatakan bahwa meluruskan shaf dan mempermasalahkannya membuat umat ini terpecah-belah?!

Apakah mereka menyangsikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini? Padahal sungguh, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersumpah dengan nama Allah k buat mereka – dan Beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan oleh Allâh.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan dengan menggunakan banyak perangkat penegasan dalam nash  ini dan juga pada nash lainnya. Di antaranya adalah dengan menggunakan huruf lam juga nun taukid yang bertasydîd (huruf nun yang memberi arti penegasan) dalam dua kata yaitu tuqîm dan yukhâlif. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memadukan perangkat penegasan tersebut dengan perangkat penegasan lainnya. Namun meski demikian, mereka melewatkannya begitu saja tanpa digubris.

Jika mereka berijtihad, bagaimana bisa mereka berijtihad dalam masalah-masalah yang sudah ada nashnya?

Andai saja hal ini berhenti sampai di sini saja, namun ternyata tidak, bahkan ijtihad mereka bertolak belakang dengan pemahaman yang shahih lagi tegas. Sungguh, orang yang paling minim pengetahuannya tentang fiqh dan bahasa Arab; sekiranya ia membaca hadits-hadits mengenai perintah meluruskan shaf itu, pasti ia akan paham bahwa tidak merapatkan dan meluruskan shaf itu akan menyebabkan hati menjadi berselisih dan bercerai-berai.

Dari manakah sumber ijtihad yang datang kepada mereka yang menggiring mereka untuk tidak membicarakan masalah meluruskan shaf agar hati mereka menjadi bersatu padu?

Masalah perselisihan umat ini tidak luput dari benak dan perhatian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahkan sungguh Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dahulu mengetahui dan mengenalinya dibandingkan kita. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [ An-Najm/53:4]

Rasul menyebutkan masalah perselisihan dalam banyak nash dengan lafaz yang beragam. Di antaranya:

فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ

maka hati kalian akan berselisih

 أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ

atau sungguh Allâh akan membuat perselisihan di antara hati kalian

أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

atau sungguh Allâh benar-benar akan membuat perselisihan di antara wajah kalian[6]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tahu perihal perselisihan, sebab-sebabnya dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perselisihan. Meski demikian, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintah kaum Muslimin agar meluruskan shaf. Ini menunjukkan bahwa meluruskan shaf tidak termasuk sebab perselisihan. Perintah meluruskan shaf ini supaya mereka terbebas dari perdebatan dan pertikaian. Kemudian juga agar mereka terjaga dari perselisihan hati yang timbul akibat dari shaf yang tidak lurus.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang lebih tahu dari kita tentang kemaslahatan umat ini. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih paham daripada kita mengenai mana yang urgen dan mana yang lebih urgen.

Disamping Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah meluruskan shaf, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan dari perselisihan yang timbul akibat tidak meluruskan shaf.

Ini semakin menegaskan bahwa tak mungkin kita bisa menghindar dari perkara meluruskan dan menegakkan shaf, juga tidak mungkin bisa menghindari pembicaraan tentang masalah ini.

Adapun orang yang memandang bahwa solusi yang benar tidak lain adalah dengan menutup mata dari masalah meluruskan shaf dan bahasan-bahasan lain yang semisal dengannya, kemudian mengalihkan perbincangan ke masalah bagaimana memerangi musuh dan menghadapi berbagai bentuk serangan brutal mereka, yang kita pun tidak menganggapnya sepele, maka orang seperti ini tak ubahnya seperti orang yang berpendapat bahwa shalat itu lebih penting daripada puasa dan lain sebagainya. Lalu, berpijak dari anggapan ini, ia mengingkari orang yang berbicara tentang urgensi puasa dan orang yang berbicara tentang haramnya riba, dengan argumen bahwa orang-orang pada zaman ini telah menyia-nyiakan shalat dan meremehkannya!?

Orang seperti ini jelas salah. Karena kewajiban yang ada itu banyak dan beragam. Dan seorang Muslim dituntut untuk menunaikan kewajiban tersebut sesuai kemampuannya. Kita tidak boleh membenturkan sebagian ajaran agama ini dengan sebagian lainnya. Meluruskan akidah itu wajib, jihad di jalan Allâh juga wajib, dakwah menuju agama Allâh juga wajib, waspada terhadap segala konspirasi musuh juga wajib, memerangi ghibah dan namîmah (adu domba) wajib, berbakti kepada dua orang tua juga wajib, dan termasuk meluruskan shaf juga wajib.

Bagaimana mungkin kita bisa berjihad, membela agama ini, sedangkan kita sendiri berpecah belah dan bertikai?!

Dan realitanya kita telah melihat pertikaian dan perpecahan telah menjangkiti umat ini, termasuk saudara-saudara kita para mujâhidin, padahal mereka itu jumlahnya sedikit dan langka. Ya, benar, merekapun berpecah-belah dan berselisih. Sungguh, betapa pilu hati ini menyaksikannya.

Dan jangan lupa pula! Bahwa syaitan-syaitan yang menggerakkan para penyuara pemikiran yang destruktif (yang merusak) adalah syaitan-syaitan atau dari golongan syaitan yang hidup di celah-celah shaf, syaitan yang berdiri di celah-celah kosong di antara shaf-shaf kaum Muslimin, sehingga ia leluasa membuat perselisihan antara hati kaum Muslimin dan menjauhkannya. Syaitan ini membuat hati mereka akan senantiasa berada dalam kondisi tidak akur dan jauh dari kata harmonis. Dan juga agar umat ini tidak mampu untuk menghancurkan para penyuara pemikiran-pemikiran busuk dan akidah palsu. Karena syaitan tahu betul bahwa lurusnya shaf akan menimbulkan keharmonisan hati kaum Muslimin. Bila keharmonisan hati telah tercapai dan kaum Muslimin saling mencintai diantara mereka, maka ini akan bisa memukul mundur dan menaklukkan syaitan dari bangsa manusia maupun dari bangsa jin. Inilah yang membuat mereka harus berpikir panjang dan membuat perhitungan; dan itulah yang mereka khawatirkan.

Semoga Allâh Azza wa Jalla menggerakkan hati kita dan hati kaum Muslimin untuk senantiasa meluruskan shaf dalam shalat yang dengan sebab itu Allâh Azza wa Jalla menyatukan hati-hati ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Diangkat dari makalah Syaikh Husain al-Uwaisyah dalam kitab Fiqhud Dakwah wa Tazkiyatun Nufûs

[2] HR. Muslim, no. 432

[3] Indikator yang menekankan dan menguatkan bahwa kata perintah pada hadits pertama itu adalah bermakna wajib-red

[4] HR. Abu Daud, Shahîh Abî Daud, no.  616. Lihat juga, Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, no. 512

Dalam Faidhul Qadîr disebutkan: ath-Thîbi berkata, “Yang paling pas adalah bahwa yang dimaksudkan dengan berselisihnya wajah adalah perpecahan kalimat (Muslimin) dan bergejolaknya fitnah. Bisa saja yang dimaksudkan adalah fitnah yang terjadi di antara para Sahabat.”

[5] HR. Al-Bukhari, no. 717 dan Muslim, no. 436

[6] Dalam an-Nihâyah disebutkan: … yang beliau maksudkan adalah bahwa masing-masing dari mereka akan dipalingkan wajahnya dari yang lainnya, dan akan ditimpakan rasa saling membenci di antara mereka. Sesungguhnya seseorang kala menghadapkan wajahnya kepada wajah yang lain merupakan di antara efek kecintaan dan keharmonisan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *