Orang Arab menamakan penutup wajah dengan beberapa istilah, seperti ghudfah[1], washawis[2], nashif[3], niqhab[4], burqa’[5], qina’[6], maisanani[7], dan masihbanyak lagi termasuk juga yang telah disebutkan sebelumnya, yakni khimar dan jilbab.
Sufur dalam syair sebelumnya bagi orang Arab maknanya adalah wanita yang memperlihatkan wajah, dan bukan bermakna wanita yang memperlihatkan rambut dan lehernya. Karena dahulu wanita yang memperlihatkan rambut tidaklah populer dikalangan orang Arab maupun Ajam (orang non Arab-ed). Taubah bin Humair bersenandung,
و كنت إذا ما جئت ليلى تبرقعت
فقد رابني منها الغداة سفورها
“Dahulu apabila aku mengunjungi Laila, dia memakai burqa’
Aku merasakan bimbang untuk pergi karena ia membuka wajahnya”[8]
Sebagian ahli tafsir –termasuk Muqatil bin Hayan– menyatakan bahwa bentuk tabarruj orang jahiliah dahulu sebelum datangnya bangsa Arab adalah memakai khimar di kepala namun tidak dijulurkan.[9] Allah melarang perbuatan ini dalam firman-Nya, “Janganlah kamu bertabarruj seperti orang-orang jahiliah dulu” (QS Al-Ahzab: 33)
Oleh karena itu Allah melarangnya, mempertegas haramnya hal ini, serta menggolongkan hal ini sebagai perbuatan yang buruk.
Sebagian salaf seperti Ibnu Abbas dan lainnya berkata bahwa tabarruj orang jahiliah ini terjadi pada zaman Nabi Nuh dan Nabi Idris[10] . Seandainya ada bentuk tabarruj lain yang lebih buruk dari ini sepanjangsejarah, niscaya Allah pasti menyebutkannya.
Umat manusia sejatinya bingung, hendak memilih kembali pada fitrah atau menjadi pengikut iblis. Dan semakin bertambah jauh suatu kaum dari fitrah, Allah akan mengajak mereka kembali dengan wahyu. Menutup aurat bagi wanita merupakan syariat dan fitrah para nabi dan orang-orang shalih dalam setiap zaman. Diriwayatkan dari ‘Umar bin Khattab –radhiyallahu’anhu– bahwa ia menafsirkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
فجاءته إحدىهما تمشي على استحياء
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan sambil tersipu malu…” (QS. Al-Qashas: 25)
Yakni wanita tersebut menutupi wajah dengan bajunya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah[11].
***
[1]Lihat Al-Muhith fil Lughah(V/42).
[2]Lihat Gharibul Hadits, Abu Ubaid (V/515).
[3]Lihat Gharibul Hadits (I/379) dan Jumhuratul Lughah (II/892).
[4]Lihat Gharibul Hadits (V/514).
[5]Tahdzibul Lughah (III/294).
[6]Jumhuratul Lughah (II/942-943)
[7]Al-Muhkamwal Muhithul A’zham (VIII/534).
[8]Ibnu Qutaibah menyatakan bahwa syair ini dari Akhtal dalam Asy-Syi’ru wasy Syu’ara’(I/445) dan Azhari dalam Tahdzibul Lughah(III/294). Juga dalam Al-‘Ain milik Khalil bin Ahmad (II/298) tanpa menyebutkan bahwa ia menukil dari Akhtal. Dan lafazh ji’tu diganti dengan zurtu.
[9]Tafsir Ibnu Katsir (XI/152).
[10] HR, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya (XIX/98-99), Imam Hakim dalam Mustadrak (II/548), dan Imam Baihaqi dari Ibnu Abbas dalam bukunya Syu’abul Iman (5068). Lihat Fathul Baari (VIII/520)
[11]Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (32503) dan Imam Hakim dalam kitab Mustadrak(II/407)
Diketik ulang dari buku “Hijab: Busana Muslimah Sesuai Syariat dan Fitrah” karya Abdulaziz bin Marzuq Ath-Tharifi.
Artikel Muslimah.Or.Id