Al Imām Ibnul Qayyim rahimahullāh dalam kitabnya, “Idatu al Shābirin wa Dzakhīratu al Syākirīn” menjelaskan kebaikan dan manfaat harta:
Para ulama mengatakan, “Allah menamai harta dengan “Khairan” dalam beberapa tempat dalam kitab-Nya. Seperti dalam firman-Nya,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat…” (QS. Al Baqarah: 180)
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan Sesungguhnya Dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.” (Al Adhiyat: 8)
Rasulullah juga mengabarkan, “Bahwa “khair” (harta) hanyalah mendatangkan kebaikan.” Sebagaimana dalam hadis yang telah lalu. Yang mendatangkan keburukan adalah perbuatan maksiat kepada Allah yang dilakukan pada harta itu, bukan hartanya itu sendiri. Allah juga menerangkan bahwa Dia menjadikan harta itu sebagai qīyāmā (penopang) bagi kehidupan jiwa, dan memerintahkan untuk menjaga keduanya (harta dan jiwa). Dia juga melarang untuk menyerahkan harta kepada orang-orang yang bodoh dari kalangan wanita, anak-anak dan yang lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji harta dengan sabdanya, “Sebaik-baik harta yang baik adalah yang bersama orang yang shaleh.”
Saīd bin al Musayyib berkata, “Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak memiliki keinginan untuk mengumpulkan harta dari yang halal, dengannya ia menjaga kehormatannya dari manusia, menyambungkan silaturahmi dan menunaikan haknya.”
Abu Ishāq As Sabī’iy berkata, “Mereka memandang bahwa kelapangan (harta) merupakan sesuatu yang dapat membantu agama.”
Muhammad bin Munkadir berkata, “Sebaik-baik penolong atas ketakwaan adalah kecukupan (harta).”
Sufyān Ats Tsaury berakata, “Harta di zaman kita sekarang ini adalah senjata orang beriman.”
Yusuf bin Asbāth berkata, “Dari sejak dunia ini dicipatakan, tidak ada masa dimana harta lebih bermanfaat dari zaman ini. Harta sebeperi kuda, dapat menjadi pahala, atau pelindung atau dosa.”
Para ulama mengatakan: Allah telah menjadikan harta sebagai penjaga badan. Menjaga badan artinya menjaga jiwa. Dan jiwa adalah tempat mengenal Allah, iman kepada Allah dan membenarkan para rasul-Nya, cinta kepada-Nya dan inābah. Harta adalah alat untuk memakmurkan dunia dan akhirat. Yang tercela dari harta itu hanyalah apa yang didapatkan dengan cara yang tidak benar, yang digunakan tanpa hak, yang memperbudak pemiliknya dan mengusai hatinya serta melalaikan dari Allah dan negeri akhirat. Harta menjadi tercela karena dijadikan wasilah oleh pemiliknya kepada maksud-maksud yang rusak, atau melalaikannya dari tujuan-tujuan yang baik. Maka, yang tercela adalah pemiliknya, bukan hartanya itu sendiri.
Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakah hamba dinar, celalah hamba dirham.” Nabi mencela hamba keduanya, bukan keduanya (dinar dan dinar) itu sendiri.
Para ulama mengatakan: Diantara faedah harta adalah, ia menjadi penopang ibadah dan ketaatan. Diatasnya tegak kebaikan haji dan jihad. Dengannya ditunaikan infak yang wajib dan yang sunnah, dilakukan pemerdekaan budak, wakaf, pembangunan masjid, jembatan dan yang lainnya. Dengannya pula pernikahan, yang lebih baik dari menyendiri untuk beribadah, dilangsungkan. Diatasnya tegak pilar kewibawaan, dengannya timbul sifat kedermawanan dan kemurahan. Dengannya terjaga kehormatan, didapatkan saudara dan teman. Dengannya orang-orang yang baik sampai pada derajat yang tinggi dan menyertai orang-orang yang Allah beri nikmat. Harta adalah tangga menuju istana surga yang paling tinggi.
Ia diantara sebab untuk mencapai keridhaan Allah, sebagaimana juga dapat menjadi sebab kemurkaan-Nya. Dari tiga orang yang pernah mendapat ujian dari Allah: yaitu orang yang berpenyakit kulit, gundul dan buta, orang yang buta mendapat keridhaan Rabbnya dan dua orang lainnya mendapat kemurkaan-Nya disebabkan karena harta.
Jihad adalah puncak amalan. Ia dilakukan oleh jiwa dan juga dilakukan oleh harta. Dan bisa jadi jihad dengan harta lebih efektif dan bermanfaat. Karena alasan apakah Utsman diutamakan diatas Ali, padahal Ali lebih banyak berjihad dengan tubuhnya (jiwa) dan lebih dahulu masuk Islam? Dan Zubair bin Awwam serta Abdurrahman bin Auf lebih utama dari mayoritas para sahabat bersama dengan kekayaannya yang melimpah, karena pengaruh keduanya terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan pengaruh Ahli Shuffah. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallammelarang mensia-siakan harta dan mengabarkan bahwa seorang laki-laki yang meninggalkan ahli warisnya dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada ia meninggalkan mereka dalam keadaan fakir. Beliau juga mengabarkan bahwa pemilik harta, tidaklah ia membelanjakan hartanya dengan maksud untuk mencari wajah Allah, melainkan dengannya akan bertambah kedudukan dan derajatnya.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah berlindung dari kefakiran dan menggandengkannya dengan kekufuran. Beliau berdoa, “Ya Allah, aku berlidung kepada-Mu dan kekufuran dan kefakiran.” Sesungguhnya kebaikan itu adalah dua: kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. Kufur adalah lawan dari kebaikan akhirat dan kefakiran adalah lawan dari kebaikan dunia. Maka, kefakiran adalah sebab siksaan dunia dan kekufuran adalah sebab siksaan akhirat. Allah menetapkan bahwa menunaikan zakat adalah kewajiban orang-orang kaya dan mengambilnya adalah hak orang-orang miskin. Dan berbeda antara dua tangan tersebut secara syariat dan kedudukannya. Tangan yang member lebih tinggi dari tangan yang menerima. Allah juga menjadikan zakat itu sebagai kotoran harta, karena ia Allah haramnya untuk makhluk-Nya yang terbaik dan untuk seluruh keluarga beliau dalam rangka menjaga, memuliakan dan meninggikan kedudukan mereka.”
[Idatu al Shābirin wa Dzakhīratu al Syākirīn, hal. 398 – 401]