Dakwah adalah hikmah dan tidak sembarangan asal berdakwah, karenanya ada istilah yang dibawakan oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin,
منكر المنكر هو مثل الطبيب
“Mengingkari kemungkaran seperti dokter.”[1]
Mengapa demikian? Karena dokter jika ingin mengobati luka borok (bisul) dengan cara langsung menghilangkannya bisa jadi lukanya tambah parah, tetapi mengobatinya dengan perlahan-lahan dulu. Demikian juga mengingkari kemungkaran, maka perlu diperhatikan:
-Apakah bisa langsung diingkari? Dan dihilangkan langsung serta dibasmi?
Jika langsung diingkari bisa jadi timbul kerusakan yang lebih
-Apakah yang mengingkari sudah pantas mengingkari?
Perlu dipertimbangkan jika seorang anak, tiba-tiba mengatakan kepada kakeknya bahwa perbuatan kakeknya adalah syirik, padahal kakeknya adalah tokoh masyarakat dan melakukan perbuatan itu turun temurun
Contoh lagi:
Teriak-teriak agar negara timur tengah serang Israel dan perang saja habis-habisan, padahal yang teriak-teriak bangun shalat subuh saja terlambat, bagaimana mau jihad berperang menyerang di waktu subuh?
Hal ini perlu bijak menimbang-nimbang, karenanya syaikh AL-‘Utsaimin melanjutkan,
لو أن الطبيب أتى على جرح وشقه مباشرة ليستخرج ما فيه فربما يتولد ضرر أكبر، ولكن لو أنه شقه يسيراً يسيراً وصبر على ما يشم منه من رائحة منتنة لحصل المقصود
“Seandainya dokter memotong langsung luka (bisul) untuk mengeluarkan isinya, bisa jadi menyebabkan bahaya yang lebih besar. Akan tetapi jika dia memotongnya secara sedikit-sedikit dan bersabar dengan bau busuk luka, maka akan sembuh.”[2]
Renungkan perkataan ‘Aisyah yaitu seandainya ayat pertama yang turun adalah larangan minum khamer, maka masyarakat saat itu akan mengatakan “kami akan minum khamer terus”.
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
وَلَوْ نَزَلَ أَوَّلَ شَيْءٍ لَا تَشْرَبُوا الْخَمْرَ لَقَالُوا لَا نَدَعُ الْخَمْرَ أَبَدًا وَلَوْ نَزَلَ لَا تَزْنُوا لَقَالُوا لَا نَدَعُ الزِّنَا
“Seandainya yang pertama kali turun (kepada mereka) adalah “jangan minum khamr (minuman keras),” tentu mereka akan menjawab “kami tidak akan meninggalkan khamr selama-lamanya”. Seandainya yang pertama turun adalah “jangan berzina,” tentu mereka akan menjawab “kami tidak akan meninggalkan zina selama-lamanya”.[3]
Demikian juga contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat ingin merenovasi ka’bah dan membuatnya kembali sebagaimana pondasi nabi Ibrahim, tetapi karena kaumnya di Mekkah baru saja masuk Islam, maka beliau menunda hal tersebut.
Beliau bersabda,
يَا عَائِشَةَ لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيْثُوْ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيتِ فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيْهِ مَا أَخْرَجَ مِنْهُ وَ أَلْزَقْتُهُ بِالأَرْضِ وَ جَعَلْتُ لَهُ بَابًا شَرْقِيًّا وَ بَابًا غَرْبِيًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيْمَ
“Wahai, ‘Aisyah. Kalau bukan karena kaummu baru lepas dari kejahiliyahan, sungguh aku ingin memerintahkan mereka menghancurkan Ka’bah lalu membangunnya, dan aku masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya, dan aku buat pintunya menempel dengan tanah, serta aku buatkan pintu timur dan barat, dan aku sesuaikan dengan pondasi Ibrahim”.[4]
Demikianlah perlu bijak dalam mengingkari kemungkaran dan perlu prioritas, misalnya:
Ada keluarga kita yang masih melakukan kesyirikan misalnya percaya dukun atau percaya ramalan dan ada yang masih suka nonton film tidak bermanfaat, maka yang pertama kali diubah adalah dakwah agar menjauhi kesyirikan, jika memang tidak bisa berdakwah semuanya sekaligus.
Demikian semoga bermanfaat
@laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar
Penyusun: Raehanul Bahraen