Bismillah was shalaatu was salaam ‘alaa Rasuulillah.
Di sini saya ingin memberikan komentar tentang apa yang telah dikatakan oleh Nushran Wahid dalam sebuah program acara salah satu stasiun televisi.
Pertama: Dia mengatakan: “Yang namanya Al-Quran, yang paling sah menafsirkan adalah yang paling tahu tentang Al-Quran itu sendiri yaitu Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul. Bukan Majlis ulama Indonesia. Itu adalah ilmu tafsir”
1- Sebagaimana yang dikatakan oleh Nusron Wahid: “Hanya Allah dan RasulNya yang mengetahui tentang ayat Al-Quran”.
Maka pertanyaan saya, “Apakah majlis ulama menafsirkan ayat Al-Quran dengan serampangan tanpa didasari oleh Al-Quran dan Hadits? Apakah majlis ulama menafsirkan ayat dengan hawa nafsu mereka?”
Justru majlis ulama menafsirkan ayat Al-Quran sesuai dalil dan atsar. Kita beri contoh tentang “Surat Al-Maidah ayat 51”. Para majlis ulama menafsirkan ayat sesuai dalil yaitu dari Umar bin Khattab radhiyallahu anhu yang melarang ummat islam untuk memilih orang kafir untuk menjadi pemimpin.
Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dalam As-Sunan Al-Kubra:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَمَرَهُ أَنْ يَرْفَعَ إِلَيْهِ مَا أَخَذَ وَمَا أَعْطَى فِي أَدِيمٍ وَاحِدٍ , وَكَانَ لِأَبِي مُوسَى كَاتِبٌ نَصْرَانِيٌّ يَرْفَعُ إِلَيْهِ ذَلِكَ , فَعَجِبَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وقَالَ: إِنَّ هَذَا لَحَافِظٌ , وَقَالَ: إِنَّ لَنَا كِتَابًا فِي الْمَسْجِدِ , وَكَانَ جَاءَ مِنَ الشَّامِ , فَادْعُهُ فَلْيَقْرَأْ. قَالَ أَبُو مُوسَى: إِنَّهُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ. فَقَالَ عُمَرُ أَجُنُبٌ هُوَ؟ قَالَ: لَا , بَلْ نَصْرَانِيٌّ. قَالَ: فَانْتَهَرَنِي وَضَرَبَ فَخِذِي وَقَالَ: أَخْرِجْهُ، وَقَرَأَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dari Abu Musa radhiyallahu anhu, bahwasanya Umar memerintahkannya untuk melaporkan catatan-catatan yang sudah diterima dan yang sudah diberi dalam satu catatan. Dan Abu Musa memeliki sekretaris yang beragama Nashrani. Dan dia memberikan laporannya. Maka Umar takjub dan berkata: ‘Sesungguhnya dia adalah orang yang bagus dalam mencatat’. Dan Umar berkata pula: ‘Sesungguhnya kami memiliki sebuah surat di dalam masjid yang datang dari Syam. Maka panggil lah dia untuk membacakannya. Maka Abu Musa mengatakan: Sesungguhnya dia tidak bisa masuk masjid. Maka Umar bertanya: ‘Apa dia lagi junub?’ Maka Abu Musa mengatakan: ‘Tidak,akan tetapi dia adalah seorang nashrani’. Maka Umar membentak dan memukul pahaku seraya berkata: ‘Pecat dia!’. Kemudian Umar membaca ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan nashrani sebagai pemimpin. Sebagian mereka adalah pemimpin untuk sebagian lainnya. Dan barang siapa dari kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin maka sesungguhnya dia termasuk bagian dari mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang yang dzalim” QS. Al-Maidah: 51” (HR. Baihaqi)
Jelas di sini MUI melarang kaum muslimin untuk memilih orang-orang kafir menjadi pemimpin dengan ayat yang ditafsirkan oleh Umar bin Khattab radhiyallahu anhu. Dan tentunya mustahil bagi Umar untuk menafsirkan ayat Al-Quran dengan hawa nafsunya. Ingat, tidak ada orang yang mengatakan ‘Umar menafsirkan ayat Al-Quran dengan hawa nafsunya’ kecuali orang-orang zindiq dan munafik. Terlebih Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mentazkiyah Umar untuk menjadi panutan yang harus diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Hudzaifah radhiyallanhu berkata:كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي لَا أَدْرِي مَا بَقَائِي فِيكُمْ، فَاقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي وَأَشَارَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Kami sedang duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya aku tidak tahu berapa lama lagi akan bersama kalian. Maka ikutilah 2 orang setelah ku’. Rasulullah memberikan isyarat, dua orang itu adalah Abu Bakr dan Umar” (HR. Tirmidzi)
Jadi kalau kita mau selamat, maka ikutilah Umar bin Khattab yang melarang kita untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin. Itu sudah harga mati. Itulah wasiat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
2- Al-Quran itu diturunkan untuk dipahami maksudnya, untuk diketahui maknanya, untuk ditabburi ayat-ayatNya oleh seluruh ummat islam. Dan hal itu semua masuk ke dalam ilmu tafsir. Dan kita semua dituntut oleh Alllah untuk mempelajarinya.
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Kitab (Al-Quran) Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah agar mereka semua mentadabburi ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang memiliki akal mendapatkan pelajaran” (QS. Shaad: 29)
Lihat, kalau hanya Allah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saja yang tahu, maka apa gunanya Allah menurunkan Al-Quran? Sedangkan Allah sendiri mengatakan Al-Quran diturunkan agar makna-maknanya diketahui oleh ummat islam.
Dan bahkan Allah mencela orang yang tidak ingin mengetahui makna Al-Quran. Dan Allah menghina orang yang tidak ingin memahami tafsir Al-Qur’an. Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Tidakkah mereka mentadabburi Al-Quran? Ataukah hati-hati mereka sudah terkunci” (QS. Muhammad:24)
Jadi, bukan berarti majlis ulama tidak berhak untuk mengetahui dan meberi tahu tafsiran yang benar dari ayat Al-Quran Al-Kariim. Karena Allah sendiri yang memerintahkan ummat islam untuk mengetahui tafsir dari firman-firmanNya.
3- Jadi itulah artinya ilmu tafsir. Kita mecari tahu apa arti dari sebuah ayat Al-Quran Al-Karim. Sehingga kita bisa memahami maknanya dan bisa mengambil hukum-hukum dan hikmah darinya. Bukan sebagaimana yang dikatakan oleh NusronWahid: “Ilmu tafsir adalah ilmu yang hanya Allah dan Rasulnya yang tahu”.
Mari kita simak apa kata Imam Az-Zarkasyi rahimahullah. Beliau berkata:التَّفْسِيرُ عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ فَهْمُ كِتَابِ اللَّهِ الْمُنَزَّلِ عَلَى نَبِيِّهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيَانُ مَعَانِيهِ وَاسْتِخْرَاجُ أَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ
“Tafsir adalah ilmu yang dengannya dapat diketahui apa yang dimaksud oleh kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan ilmu yang menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmahnya” (Al-Burhan Fii Uluum Al-Quran 1/13)
Jadi inilah artinya ilmu tafsir bukan sebagaimana yang dikatakan oleh Nusron Wahid.
Kedua: Dia mengatakan: “Untuk membuktikan apa yang saya sampaikan, saya ingin mengutip sebuah hadits nabi. Nabi pernah mengatakan:
خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم, يلونهم يلونهم يلونهم
“Sebaik-baiknya masa adalah masaku (pada masa nabi Muhammad), kemudian masa sahabat, kemudian masa sahabat bani umayyah, setelah itu masa sahabat bani abbasiyyah, setelah itu masa ulama, ulama, ulama, ulama, ulama, ulama”
Ini adalah makna derajat kebaikan. Saya ingin bertanya, sejarah membuktikan pada zaman bani Abbasiyyah (khalifah Abbasiyah ke 16), sultan Khalifah Al-Mu’tadhid billah pernah mengangkat seorang gubernur. Namanya Umar bin Yusuf, seorang kristen ta’at. Menjadi gubernur di Al-Anbar Iraq. Apakah di waktu itu tidak ada surat Al-Maidah 51? Apakah ulama-ulama pada masa itu kalah shalih dan kalah alim dengan ulama-ulama hari ini?
1- Nusron Wahid menyebutkan sebuah hadits untuk membenarkan apa yang dia inginkan. Akan tetapi di sini saya ingin mengkritik apa yang dia bawa. Pertama teks haditsnya tidak seperti itu. Teks yang benar adalah:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ، وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
“Sebaik-baik zaman manusia adalah zamanku. Kemudian setelahnya dan kemudian setelahnya. Kemudian akan datang setelahnya kaum-kaum yang persaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya” (HR. Bukhari Muslim)
Jadi yang disebutkan dalam hadits, hanyalah 3 zaman. Setelah lewatnya ketiga zaman tersebut, maka akan ada zaman yang buruk dan penuh dengan kedustaan. Dan 3 zaman yang dimaksud oleh Rasulullah adalah zaman Rasulullah sendiri bersama para sahabatnya, kemudian zaman tabiin dan kemudian zaman tabiut tabiin. Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ta’ala:
وَالصَّحِيحُ أَنَّ قَرْنَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّحَابَةُ وَالثَّانِي التَّابِعُونَ وَالثَّالِثُ تَابِعُوهُمْ
“Dan yang benar bahwa zaman nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah zaman para sahabat. Dan yang kedua adalah zaman Tabi’in dan yang ketiga adalah Zaman Tabiut tabiin” (Syarh Shahih Muslim 16/85)
Jadi hadits ini adalah hadits yang mentazkiah dan merekomendasikan zaman yang terbaik kondisi agamanya. Jadi jangan merenovasi dengan menambahkan kata “tsummalladziina yaluunahum (kemudian setelahnya)” dengan sangat banyak untuk memasukkan zaman yang banyak kerusakan ke dalam 3 zaman yang direkomendasikan atau ditazkiah oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
2- Hadits ini adalah tazkiyah zaman secara umum bukan tazkiyah untuk afrad (personal) terlebih sampai menganggap maksum seseorang dengan hadits ini. Bukan itu. Betapa banyak dari kalangan sahabat yang melakukan kesalahan karena mereka tidak maksum, maka bagaimana zaman setelah mereka? Maka mereka lebih tidak maksum dan sangat mungkin berbuat salah. Ya masuk di antaranya adalah Al-Mu’tadhid Billah. Jadi ini hanyalah tazkiyah zaman secara umum bukan membenarkan perbuatan setiap person yang masuk ke dalamnya. Terlebih zaman Al-Mu’tadhid billah yang tidak masuk ke dalam zaman yang ditazkiyah oleh Rasulullah.
3- Anggaplah memang benar bahwa Al-Mu’tadhid billah mengangkat seorang nashrani menjadi gubernur, maka perbuatan ini sama sekali tidak ada pengaruhnya karena perbuatan ini menyelisihi ijma’ ulama yang menyatakan haramnya memilih seorang kafir menjadi pemimpin.
Imam An-Nawawi menukil perkataan Al-Qadhi Iyadh:
أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْإِمَامَةَ لَا تَنْعَقِدُ لِكَافِرٍ وَعَلَى أَنَّهُ لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ الْكُفْرُ انْعَزَلَ
“Para ulama telah berijma bahwasanya kepemimpinan tidak akan sah terjadi untuk orang yang kafir. Dan seandainya timbul dari dirinya kekufuran, maka dia harus dilengserkan” (Syarh Shahih Muslim 12/229)
Ini imam An-Nawawi yang menukilnya dari Al-Qadhi Iyaadh rahimahumallah.
Bukan hanya itu, Ibnu Hazm rahimahullah juga mengatakan:
وَاتَّفَقُوا أَن الامامة لَا تجوز لامْرَأَة وَلَا لكَافِر وَلَا لصبي لم يبلغ وانه لَا يجوز ان يعْقد لمَجْنُون
“Dan para ulama telah bersepakat bahwasanya kepemimpinan tidak boleh untuk wanita, orang kafir, dan anak kecil yang belum baligh dan bahwasanya kepemimpinan tidak boleh pula untuk orang yang gila” (Maraatib Al-Ijmaa’ 1/126)
Maka bagaimana pun perbuatan seseorang, jika dia menyelisihi ijma’ maka perbuatan itu sama sekali tidak ada harganya dan tidak berpengaruh, bahkan tidak boleh diamalkan.
4- Ketika Nusron Wahid membawakan hadits ini, justru dia telah menembak dirinya sendiri. Mengapa? Karena jelas-jelas Umar radhiyallahu anhu hidup di zaman pertama (yang mana Rasulullah telah mentazkiah zaman tersebut). Umar telah melarang ummat islam untuk mengangkat orang kafir menjadi pemimpin.
Sedangkan Umar telah ditazkiah zamannya oleh Rasulullah shalllallahu alaihi wa sallam. Lantas bagaimana dengan zamannya Al-Mu’tadhid billah? Mana yang lebih baik? Zamannya Umar atau Al-Mu’tadidh? Maka itu sama saja dengan senjata makan tuan. Menggunakan dalil namun menghancurkan argumentasi sendiri.
Ketiga: Dia mengatakan: “Bukti kedua, saya ingin mengatakan: ‘Dari semua terjemahan ayat Al-Quran, hanya teks bahasa Indonesia saja yang memaknai bahwa Aulia itu pemimpin. Bahasa Inggris tidak ada’”.
1- Tidak perlu nanggung-nanggung pak dengan mencari makna ayat di terjemahan Al-Quran saja. Silahkan langsung cari artinya di kitab-kitab tafsir Al-Quran dengan sangat lengkap. Cari tafsir Al-Quran bil Quran atau tafsir Al-Quran Bis Sunnah atau tafsir Al-Quran bi kalaamis shahabah. Silahkan cari di sana, dan jangan hanya nanggung-nanggung dengan mencukupkan diri pada Al-Quran terjemahan saja. Itu kalau kita ingin mencari kebenaran. Maka bapak akan mendapatkan banyak tafsiran bahwa memilih pemimpin kafir adalah haram.
2- Ada banyaknya makna auliya bukan berarti makna tersebut saling bertentangan. Perlu diketahui, perbedaan itu ada 2 jenisnya. Saya rasa pak Nusron sudah mempelajari hal ini, karena katanya dia belajar islam dari para ulama.
Perbedaan ada dua. Ada khilaf tanawwu’ dan ada pula khilaaf tudhaadh yang saling bertentangan. Sedangkan perbedaan makna Auliyaa’ adalah khilaaf tanawwu’ yang kesemuanya bisa diterima dan tidak bertentangan. Jadi apa saja yang terkandung dalam makna Auliya baik itu pemimpin, atau, pelindung, atau kawan karib, atau wali, maka dari makna itu semua adalah benar. Dengan artian kita tidak boleh menjadikan seorang kafir menjadi pemimpin, atau pelindung, atau wali, atau kawan kerabat, dll. Karena Al-Quran dan hadits adalah jawami’ul kalim. Karena semua makna itu benar. Ini adalah khilaaf tanawwu’ dan bukan khilaf tudhaad.
Jadi perbedaan makna wali yang ada di dalam surat Al-Maidah ayat 51, tidak perlu diributkan. Karena semua makna itu benar.
Mungkin itu saja komentar dan bantahan saya terhadap perkataan Nusron Wahid. Semoga itu sudah dan cukup mewakili. Wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.
—–