Syaikh Muhammad ibn Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya : “Kami tinggal di luar negeri Islam, dan peraturan pendidikan di sini tidak memungkinkan bagi sebagian pelajar untuk menghadiri shalat Jum’at. Bagaimana hukumnya mengulangi shalat Jum’at dalam satu masjid setelah pelaksanaan shalat Jum’at yang pertama?”

Jawaban beliau :

Apa yang dilakukan sebagian orang dengan mengulang shalat Jum’at dalam satu masjid dengan alasan peraturan sekolah yang tidak memungkinkan sebagian orang untuk menghadiri shalat Jum’at yang pertama, hal ini dalam madzhab Ibn Hazm dan selainnya yang sependapat dengan beliau adalah boleh. Beliau berpendapat bahwa siapa saja yang terlewat dari shalat Jum’at dan mendapati orang lain yang bisa shalat bersamanya walau satu orang saja, maka boleh bagi mereka shalat Jum’at (kloter kedua –pen). Adapun apabila ia tidak mendapati seorang pun yang shalat bersamanya maka ia shalat dzuhur seperti biasa.

Adapun menurut madzhab para fuqaha maka praktek seperti ini tidaklah sah. Karena akan berkonsekuensi berbilangnya shalat Jum’at tanpa adanya keperluan. Adanya aturan pendidikan bukanlah termasuk suatu hajat bagi jamaah kloter kedua yang mencegah mereka untuk shalat Jum’at bersama kloter pertama. Bila demikian maka nantinya setiap orang yang terlewat dari shalat Jum’at karena alasan sibuk, boleh juga untuk mendirikan shalat Jum’at bersama jamaahnya sendiri. Sehingga hilanglah maksud syariat dari pelaksanaan shalat Jum’at yaitu berkumpulnya manusia dalam satu tempat yang sama, ibadah yang sama, di belakang imam yang sama.

Na’am, apabila kloter kedua berada di tempat yang jauh dari kloter pertama maka hendaknya mereka mendirikan shalat Jum’at sendiri di tempat mereka berada, dan itu boleh karena adanya hajat yaitu jauhnya tempat dari kloter pertama, dengan waktu pelaksanaan yang berbeda.

Akan tetapi para fuqaha mensyaratkan sahnya suatu shalat Jum’at, bahwa seluruh jamaahnya harus termasuk warga setempat asli di negeri tersebut, atau dengan terpenuhinya jumlah yang disyaratkan, dan terdapat khilaf para ulama tentang jumlahnya. Ada yang mensyaratkan 40 orang, 12 orang, 3 orang bersama imam, atau di bawah itu (2 orang, 1 orang imam dan 1 orang makmum –pen)? Oleh karena itu apabila para pelajar tersebut seluruhnya bukan termasuk warga setempat maka tidak sah shalat Jum’at mereka. Mereka hanya wajib shalat zhuhur seperti hari-hari biasanya.

Dalam kondisi ini (tidak mungkinnya shalat Jum’at bagi mereka –pen) maka hendaknya mereka merencanakan waktu secara berkala, atau insidental untuk bertemu (semacam konferensi, seminar –pen) guna mempelajari kemungkinan yang ada demi menghilangkan kesulitan-kesulitan agama dan duniawi mereka.

Adapun menurut madzhab Ibn Hazm dan selainnya yang sependapat dengan beliau, sahnya shalat Jumat tidak disyaratkan harus penduduk suatu negeri itu. Shalat Jum’at sah bagi jamaah yang termasuk pemukim maupun musafir, bahkan tetap wajib bagi mereka juga.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *