Mengupas Dalil Ayat Pendukung Asuransi
Oleh: ustadz Ammi Nur Baits
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Setiap muslim harus mengedepankan sikap kehati-hatian ketika hendak berbicara tentang tafsir al-Quran. Karena al-Quran adalah firman Allah. dan menafsirkan firman Allah, berarti menyampaikan maksud dari firman Allah. apa yang bisa kita bayangkan, ketika kita menyampaikan tafsir al-Quran, kemudian Allah menyatakan, “Kamu dusta, bukan itu yang Aku maksudkan.”
Siapakah kita dibandingkan Abu Bakr as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Murid terdekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keilmuan beliau tentang al-Quran, sampai menyebabkan beliau tidak berani menyampaikan tafsir tanpa bukti. Beliau pernah mengatakan,
أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني، إذا قلت في كتاب الله ما لا أعلم
Langit mana yang akan menaungiku, bumi mana yang akan kupijak, jika aku berbicara tentang isi kitabullah, sementara aku tidak memiliki ilmunya.
Dalam riwayat lain, beliau mengatakan,
إذا قلت في كتاب الله برأيي
“… jika saya berani berbicara tentang isi kitabullah dengan akalku.” (Kanzul Ummal, 2/327)
Inilah sikap wara’ terhadap masalah kebenaran. Menjaga lisan, untuk jangan sampai mengucapkan masalah agama, hanya berdasarkan logika, tanpa didukung dalil dan ilmu.
Ayat Pendukung Asuransi
Ada 2 ayat dalam al-Quran, yang diklaim mendukung kegiatan asuransi, dan berikut penjelasan tafsir yang disampaikan para ulama,
Pertama, firman Allah terkait wasiat, agar tidak menelantarkan ahli waris
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Hendaklah kalian takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. an-Nisa: 9)
Ada 2 tafsir ulama mengenai ayat ini,
Tafsir pertama, bahwa ayat ini berbicara tentang orang yang hendak meninggal dunia, kemudian dia mau menyampaikan wasiat. Karena semangatnya untuk beramal sangat besar, terkadang si calon mayit akan mewasiatkan seluruh hartanya, atau sebagian besar hartanya, sehingga mereka tidak memiliki warisan atau jatah warisannya sangat sedikit. Allah perintahkan, agar yang mendengar wasiat ini untuk meluruskan isi wasiat. Jangan sampai wasiatnya menyebabkan ahli warisnya menjadi terlantar, karena tidak mendapat jatah warisan.
Ibnu Abbas memberikan penjelasan tentang ayat ini,
هذا في الرجل يَحْضُره الموت، فيسمعه الرجل يوصي بوصية تَضر بورثته، فأمر الله تعالى الذي يسمعه أن يتقي الله، ويوفقه ويسدده للصواب، ولينظر لورثته كما كان يحب أن يصنع بورثته إذا خشي عليهم الضَّيْعَةَ
Ayat ini berbicara tentang seseorang yang hendak meninggal, kemudian temannya mendengar orang ini berwasiat terkait hartanya, yang itu membahayakan ahli warisnya. Lalu Allah perintahkan agar orang yang mendengarnya bertaqwa kepada Allah, dengan membimbing si calon mayit dan meluruskkannya agar wasiatnya benar. dan hendaknya orang yang mendengar ini memperhatikan keadaan ahli warisnya. Sebagaimana dia juga ingin agar ahli warisnya terjaga, karena dia juga khawatir mereka akan terlantar. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/222).
Ini sejalan dengan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjadi saksi atas wasiatnya Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu. Beliau pernah menceritakan pengalaman sakitnya ketika di Mekah, saat haji wada’,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku ketika haji Wada’, karena sakit keras. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sangat keras sebagaimana yang anda lihat. Sedangkan aku mempunyai harta yang cukup banyak dan yang mewarisi hanyalah seorang anak perempuan. Bolehkah saya sedekahkan 2/3 dari harta itu?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab,
وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ
“Sepertiga itu banyak (atau cukup besar). Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu kaya, itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka terpaksa meminta-minta kepada masyarakat.” (HR. Bukhari 4409 dan Muslim 1628)
Sehingga berdasarkan tafsir pertama, makna ayat adalah hendaknya kalian takut untuk menelantarkan ahli waris, karena harta ortunya habis diwasiatkan. Karena itu, solusi di akhir ayat yang Allah sebutkan,
“Hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar…”
Maksudnya, ucapkan perkataan yang benar dalam berwasiat. Jangan sembarangan, pikirkan masa depan ahli waris dengan tidak menghabiskan jatah warisan untuk wasiat.
Tafsir kedua, bahwa ayat ini berbicara tentang harta anak yatim
Allah perintahkan agar yang merawat anak yatim, jangan sampai dia memakan harta mereka secara dzalim. Sebagaimana dia sendiri tidak ingin, ketika dia mati, kemudian harta anaknya yang yatim dimakan orang lain secara dzalim.
Sehingga makna ayat, sebagaimana kamu takut ketika anakmu jadi yatim setelah kamu meninggal, hartanya dimanfaatkan orang lain secara dzalim, maka janganlah kamu memanfaatkan harta anak yatim secara dzalim.
Kata Ibnu Jarir, ini merupakan tafsir Ibnu Abbas menurut riwayat al-Aufi.
Karena itu, di lanjutan ayat (an-Nisa: 10), Allah memberi ancaman untuk mereka yang makan harta anak yatim secara dzalim.
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam neraka.”
Hubungan ayat dengan Asuransi
Jika kita perhatikan untuk tafsir pertama, terkait masalah wasiat, ayat ini mengajarkan agar orang tua, meninggalkan harta warisan untuk ahli warisnya. Tapi ayat ini tidak meyuruh seorang muslim untuk memperbanyak warisan. Yang diperintahkan dalam ayat ini adalah meminta seorang muslim untuk tidak menghabiskan warisannya dengan cara diwasiatkan semuanya.
Karena itulah, solusi di akhir ayat yang Allah sebutkan,
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan berkatalah dengan perkataan yang benar.”
Artinya, perkataan yang benar ketika berwasiat.
Jika maksud ayat adalah memotivasi orang untuk memperbanyak warisan, tentu solusi yang diberikan bukan “berkatalah yang benar.” namun “perbanyaklah menabung…” dan Allah tidak memerintahkan demikian.
Kedua, firman Allah tentang wasiat untuk istri
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). (QS. al-Baqarah: 240).
Ayat ini bercerita, bahwa ketika ada seorang suami yang meninggal, istri punya hak nafkah dan tempat tinggal selama setahun. Sehingga, ketika suami sudah mendekati kematian, hendaknya dia berwasiat, agar istrinya diberi hak untuk tinggal selama setahun untuk menjalani masa iddah.
Kara para ulama, hukum dalam ayat ini telah mansukh (dihapus). Mansukh dengan ayat tentang penjelasan masa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selama 4 bulan 10 hari dan ayat tentang warisan, di mana seorang istri mendapat jatah ¼ atau 1/8.
Ibnu Zubair pernah bertanya kepada Utsman, setelah beliau membuat mushaf. “Mengapa ayat ini tetap ada dalam mushaf al-Quran, sementara dia sudah dihapus?”
Kemudian, Utsman radhiyallahu ‘anhu,
يا ابن أخي لا أغير شيئاً منه من مكانه
“Wahai anak saudaraku, sama sekali aku tidak mengubah isi al-Quran sedikitpun.” (HR. Bukhari 4531)
Ibnu Abbas mengatakan,
{ وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لأزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ } فكان للمتوفى عنها زوجها نفقتها وسكناها في الدار سنة، فنسختها آية المواريث فجعل لهن الربع أو الثمن مما ترك الزوج
“Orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).”
Dulu, para wanita yang ditinggal mati suaminya, maka dia berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal di rumahnya selama setahun. Kemudian dinasakh dengan ayat warisan, sehingga mereka mendapatkan ¼ atau 1/8 dari harta warisan suami. (HR. Ibnu Abi Hatim dan disebutkan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, 1/658).
Karena hukum pada ayat ini telah dimansukh, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
Allahu a’lam