Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Soal:
Pendapat madzhab Syafi’i rahimahullah mengatakan bahwa jika lelaki menyentuh wanita itu membatalkan wudhunya. Siapakah wanita yang dimaksud di sini? Apakah menyentuh wanita yang termasuk mahram yang belum baligh juga membatalkan wudhu?
Jawab:
Mengenai masalah lelaki menyentuh wanita apakah membatalkan wudhu atau tidak, ini terjadi khilaf di antara para ulama. Sebagian ulama berpendapat hal tersebut membatalkan wudhu secara mutlak, sebagaimana pendapat Imam Asy Syafi’i rahimahullah. Dan sebagian ulama juga berpendapat hal itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah. Ada juga ulama yang berpendapat hal itu membatalkan wudhu jika menyentuhnya dengan disertai syahwat, yaitu menyentuh wanita dalam rangka bercumbu dan disertai syahwat, maka ini membatalkan wudhu. Ini pendapat yang dicenderungi oleh Imam Ahmad rahimahullah.
Yang tepat dalam masalah ini adalah yang dilandasi oleh dalil. Yaitu bahwasanya menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak. Baik dengan syahwat maupun tanpa syahwat, selama tidak keluar mani sama sekali. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mencium sebagian istri-istri beliau kemudian shalat tanpa berwudhu lagi. Dan juga hukum asal yang berlaku adalah salamatut thaharah (sahnya wudhu) dan bara’atudz dzimmah (tidak adanya tuntutan) untuk berwudhu kembali. Maka tidak wajib untuk berwudhu kembali kecuali ada dalil shahih yang menunjukkannya yang tidak bertentangan dengan dalil yang lain.
Karena secara umum wanita itu ada di rumah-rumah (di zaman Nabi), dan sulit menghindari persentuhan dengan para istri dan juga wanita lain yang masih termasuk mahram. Andaikan menyentuh wanita itu membatalkan wudhu maka tentu ketika itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam akan menjelaskan sejelas-jelasnya.
Adapun firman Allah Ta’ala:
أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“… atau engkau menyentuh wanita” (QS. Al Maidah: 6)
Dalam qira’ah yang lain:
أو لمستم
“… atau engkau sungguh-sungguh menyentuhnya“
Maka yang dimaksud di sini adalah: jima’. Allah Ta’ala menggunakan kinayah (kata kiasan) untuk menyebutkan jima’. Sebagaimana Allah Ta’ala juga menggunakan kinayah dengan kata المس (menyentuh) untuk menyebutkan jima’ dalam ayat yang lain. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dan sejumlah ulama. Dan inilah yang tepat.
***
Sumber: http://binbaz.org.sa/fatawa/2238
Catatan:
Adapun menyentuh wanita yang tidak halal disentuh, semisal wanita bukan mahram, walaupun tidak membatalkan wudhu namun hukumnya haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya (bukan mahramnya)” (HR. Ar Ruyani dalam Musnad-nya, 2/227,dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 1/447).