Tiga Bentuk Penyalahgunaan Zakat

Jul 26, 2016 Artikel, Fikih Kontemporer 0

Menjamurnya Lembaga Amil Zakat (LAZ) menuai berbagai masalah. Banyak aturan zakat yang tidak mereka pahami, sehingga melakukan berbagai praktek yang sejatinya melanggar aturan syariat zakat. Termasuk LAZ di bank syariah melalui program qardhul hasan.

Oleh Muhammad Yassir, Lc, MA

Pelaksanaan ibadah zakat melibatkan tiga kelompok besar. Yakni wajib zakat (pemilik harta), pengelola zakat (amil) dan penerima zakat (ada delapan kelompok). Juga prosesnya, yakni sampainya harta dari wajib zakat ke pihak yang berhak menerimanya. Mengingat banyak pihak terlibat, plus proses yang dilaluinya, tidak bisa dipungkiri kemungkinan adanya kekeliruan. Siapa pun yang memahami perkara ini tidak boleh tinggal diam, tetapi harus berusaha turut memperbaikinya.

Tulisan ini membahas beberapa kekeliruan praktek pelaksanaan zakat.

1. Amil Zakat Tidak Ditunjuk Pemerintah

Tugas pokok amil adalah mengambil zakat, menjaga dan menyalurkannya. Banyak syarat yang harus dipenuhi amil. Di antaranya, orang Muslim, mukallaf (baligh dan berakal), amanah, dan paham hukum-hukum zakat. Namun syarat terpenting bagi amil yang sah menurut syar’i adalah ia harus ditunjuk pemerintah. Hal ini karena amil berhak mengambil sebagian harta wajib zakat secara paksa bila wajib zakat menolak membayar zakat. Kemampuan “mengambil paksa” ini hanya dimiliki pemerintah. Oleh karena itu panitia zakat yang tidak ditunjuk oleh pemerintah tidak bisa dikategorikan amil zakat secara syar’i.

Pada Ramadhan biasanya menjamur panitia penerima zakat. Mereka mendedikasikan diri sebagai penerima zakat harta maupun zakat fitrah. Panitia-panitia itu muncul atas inisiatif sendiri atau ditunjuk yayasan/takmir masjid, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Bolehkah panitia zakat semacam itu?

Boleh-boleh saja. Asalkan dipahami bahwasemua personel panitia zakat bukan berstatus amil. Mereka hanyalah wakil pihak wajib zakat. Konsekuensinya, wakil tidak berhak memperoleh bagian zakat. Hanya amil yang berhak. Panitia zakat hanya boleh meminta upah dari wajib zakat untuk jasa menyalurkan zakat, dan upah itu bukan diambil dari harta zakat.

Kesalahan fatal ini banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Yakni panitia yang bukan ditunjuk resmi pemerintah menganggap pihaknya sebagai amil zakat. Mereka pun merasa berhak mengambil sebagian harta zakat yang dititipkan kepadanya.

Kaitan dengan hal itu, lembaga keuangan syariah yang menampung zakat pada dasarnya juga berstatus bukan amil. Posisinya mirip panitia penampung zakat. Konsekuensinya, Lembaga Amil Zakat (LAZ) bank syariah tidak berhak memaksa nasabah membayar zakat melaluinya. Apalagi mengambil zakat dari tabungan nasabah tanpa sepengetahuan pemiliknya. Lebih dari itu, petugas LAZ juga tidak diperkenankan mengambil bagian dari harta zakat , meski berbentuk kafalah.

2. Menyalurkan Zakat Berbentuk Uang Pinjaman

Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala telah menentukan kelompok orang yang berhak menerima zakat. Allah berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, untuk melunasi orang berutang (ghorim), untuk jihad fi sabilillah, dan untuk ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal untuk pulang)” (QS. At-Taubah: 60).

Proses penyaluran zakat untuk empat kelompok pertama (fakir, miskin, amil dan muallaf) dengan cara menyerahkan zakat kepada mereka dan memberikan hak kepemilikan penuh pada harta tersebut untuk digunakan sesuai keinginan mereka. Sedangkan untuk empat kelompok terakhir (budak, ghorim, fi sabilillah, dan ibnu sabil), zakat diserahkan sesuai dengan kebutuhan mereka.

Contoh, orang terlilit utang, zakat disalurkan kepadanya hanya untuk melunasi utangnya. Tidak boleh menggunakan zakat untuk keperluan lain (lihat Ibn Qudamah, Al-Mughni 4/130). Intinya, zakat harus diserahkan kepada pihak yang berhak untuk digunakan mereka, tanpa mewajibkan penerima untuk mengembalikannya di kemudian hari kepada amil atau wajib zakat.

Akhir-akhir ini muncul pendapat lain. Pendapat ini menyatakan, boleh meminjamkan dana zakat kepada orang yang membutuhkan uang. Alasannya dengan qiyas (analogi) terhadap ghorim (orang yang terlilit utang). Pendapat ini mengatakan, apabila orang terlilit utang berhak menerima zakat, orang yang butuh uang juga berhak mendapat pinjaman dari uang zakat.

Kalau kita perhatikan, pendapat tersebut keliru dan bertentangan dengan aturan penyaluran zakat, karena tiga alasan. Yakni:

  1. Jika orang itu butuh uang karena dia miskin, seharusnya dia berhak mendapat bagian zakat, bukan dipinjami uang.
  2. Jika orang itu butuh uang karena tidak mampu melunasi utangnya, seharusnya dia berhak mendapatkan zakat untuk melunasi utangnya, dan bukan butuh pinjaman. Karena jika diberikan dalam bentuk pinjaman yang uangnya dari zakat, tidak ada gunanya. Sementara dia juga masih dililit utang. Ini seperti gali lubang tutup lubang.
  3. Jika dia bukan orang miskin, namun butuh uang untuk kebutuhan primer atau konsumtif lain, sejatinya dia tidak berhak menerima zakat. Sehingga menyalurkan zakat kepadanya, walau berbentuk pinjaman, adalah sebuah kesalahan, karena mengakibatkan zakat tertunda sampai ke tangan yang berhak.

Beberapa LAZ bank syariah menyalurkan dana zakat melalui program bernama qardhul hasan (pinjaman lunak) kepada yang berhak menerima zakat seperti fakir, miskin, dan lainnya. Hanya konsekuensinya, penerima dana qardhul hasan itu harus mengembalikan pinjaman itu. Meskipun dalam prakteknya sebagian dari mereka tidak mengembalikannya.

3. Menggunakan Harta Zakat untuk Investasi (Usaha Produktif)

Pertama, bila investasi diberikan ke golongan yang berhak menerima zakat, seperti fakir, miskin, dll.
Dalam hal ini, para ahli fikih telah menyatakan keabsahannya dalam kitab fikih mereka. Karena, ketika orang yang berhak telah menerima zakat, otomatis harta tersebut menjadi milik dia sepenuhnya. Terserah dia untuk memanfaatkannya. Untuk membeli barang kebutuhan pokok, atau untuk usaha produktif. Mereka tidak harus dibebani tanggung jawab mengembalikannnya. Mereka berhak menerimanya, dan dana itu bukan pinjaman lunak, tetapi murni sedekah.

Kedua, dana zakat sebagai investasi usaha pemberi zakat.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan mengeluarkan zakat dari sebagian harta kaum Muslimin. Berarti dalam harta terdapat hak-hak orang lain yang harus ditunaikan. Syariat Islam telah menentukan waktu pemberian zakat sesuai jenis harta yang wajib dizakati. Oleh sebab itu, yang seharusnya dilakukan orang takwa adalah bersegera menunaikan zakat. Atas dasar ini, wajib zakat tidak berhak menunda pembayaran zakatnya dengan alasan untuk diinvestasikan atau dikembangkan lebih dulu sebagai modal usahanya.

Terlebih bila ditinjau dari sisi lain, investasi pasti mengalami pasang-surut, dan ketidakpastian. Bisa untung dan bisa buntung, yang bisa-bisa zakatnya malah tidak sampai ke yang berhak menerimanya.

Ketiga, investasi yang dilakukan pemerintah atau lembaga amil zakat syar’i.
Sebelumnya kami ingatkan, LAZ yang kami maksud adalah lembaga yang sesuai ketentuan syariah. Artinya, LAZ yang ditunjuk pemerintah sebagaimana penjelasan sebelumnya. Pemerintah atau LAZ adalah jembatan penghubung antara pemberi zakat dan penerima zakat. Karenanya, tanggung jawab mereka adalah memegang amanah menyalurkan zakat kepada yang berhak. Salah satu bentuk amanah itu adalah tidak menggunakan harta zakat kecuali pada tempat penyaluran yang telah ditetapkan dalam Al-Quran.

Sepengetahuan kami, kajian tentang “investasi pemerintah terhadap harta zakat” belum pernah dibahas ulama dahulu, karena hal ini baru dilakukan di pemerintah zaman sekarang. Kesimpulan ini berdasarkan telaah kami terhadap kitab yang secara khusus membahas masalah zakat. Semua pendapat, baik yang membolehkan maupun yang tidak, dinukil dari pendapat ulama zaman sekarang.

Untuk itu, kami mengajak para amil zakat untuk merenungkan: harta zakat yang sedang ditangani LAZ bukanlah harta pribadi. Bukan pula harta warisan untuk dikembangkan dengan harapan mendapat untung. Ini harta amanah yang dibebankan Allah Ta’ala melalui tangan kita. Lantas, dengan alasan apa kita merasa berat melepaskannya kepada yang berhak? Bisa jadi alasan mashlahat yang kita buat hanyalah alasan sepihak. Sementara pihak lain (penerima zakat) lebih senang jika zakatnya segera sampai ke tangan yang berhak menerimanya.
Oleh karena itu, pendapat yang benar, zakat harus disegerakan sampai ke yang berhak menerimanya. Pemerintah/amil hanya pemegang amanah. Mereka tidak boleh menunda penyaluran zakat dengan alasan diinvestasikan atau dikembangkan. Pendapat inilah yang sesuai dengan maksud disyariatkan ibadah zakat. Yaitu mensucikan harta dengan cara menyalurkannya kepada yang berhak. Wallahu A’lam

Jika demikian aturan yang berlaku bagi pemerintah dan LAZ resmi, bagaimana dengan LAZ tidak resmi yang menjamur belakangan ini? Sebagaimana kita pahami, status LAZ tidak resmi hanyalah wakil wajib zakat. Tidak lebih dari itu. Posisi wakil seharusnya lebih lemah dibandingkan amil. Karena itu mereka sama sekali tidak berhak menahan harta zakat, walaupun dengan alasan mengembangkan dana zakat.

Salurkan Sendiri, Lebih Baik!

Agar terhindar dari penyalahgunaan zakat, kami menganjurkan para wajib zakat untuk menyalurkan zakat secara langsung kepada yang berhak. Beberapa alasannya antara lain:

  1. Boleh menyalurkan zakat secara pribadi, baik berupa emas, perak, zakat perniagaan atau uang. Tidak ada kewajiban menyerahkan melalui amil (Al-Majmu’: 6/137).
  2. Kinerja LAZ di Indonesia belum optimal. Praktek beberapa LAZ yang mengambil bagian dana zakat sebagai kafalah, padahal mereka bukan amil, sebagai buktinya.
  3. Ada beberapa bentuk kekeliruan yang dilakukan oleh sebagian LAZ, seperti menyalurkan zakat bukan pada tempatnya. Contoh, digunakan untuk membangun rumah sakit atau sekolah.
  4. Jumlah orang miskin di Indonesia masih banyak. Mereka berhak diutamakan menerima zakat.
    Ada beberapa keuntungan bila menyalurkan zakat secara langsung, di antaranya (lihat syarh Mumti’: 6/205): (1) Mendapatkan pahala lebih banyak, karena ada usaha mencari fakir-miskin dan menyalurkannya dengan tenaga sendiri; (2) Lebih yakin sampainya zakat ke penerimanya; (3) Menampik su’uzhon (buruk sangka) yang mengira orang kaya tidak mengeluarkan zakat; dan (4) Untuk lebih menumbuhkan rasa syukur.

Namun kami tidak menganjurkan menggunakan open hause untuk menyalurkan zakat. Selain menimbulkan keributan, kecelakaan dan kekacauan, juga diragukan sampainya zakat ke yang berhak. Kita tidak tahu orang yang datang mengantre zakat adalah orang yang berhak menerima zakat atau bukan. Jalan keluarnya, data fakir miskin, datangi rumahnya dan serahkan zakat kita ke mereka.

Semoga menjadi pencerahan bagi pelaksanaan ibadah zakat yang sesuai syariah. Wallahu A’lam.***

*) Penulis adalah dosen STDI Imam Syafi’i Jember

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *