Pemiskinan Melalui Uang Kertas?
Jul 19, 2016 Artikel, Research and Development 0
Uang kertas telah memiskinkan orang yang memiliki rupiah karena nilai tukar mata uang ini terus merosot. Terhitung sejak 70 tahun lalu, pemilik uang kertas rupiah hari ini 256.000 kali lebih miskin!
Oleh: Budhi W. Soekardjo
Alih-alih menjadi sejahtera, daya beli rakyat Indonesia secara riil sebenarnya terus merosot. Negara kita tahun ini akan genap 71 tahun merdeka, namun kemakmuran tampaknya belum beranjak mendekat ke rakyatnya. Kita bahkan secara riil sebenarnya lebih miskin dibandingkan sebelum merdeka!
Saya yakin, karena dalam pernyataan itu ada kosa kata “kita”, akan ada pihak yang keberatan – misal, karena merasa “Saya lebih kaya, tuh.” Baiklah. Karena itu, pernyataan tersebut hanya berlaku untuk saya, dan kalimatnya saya ubah menjadi: Alih-alih menjadi sejahtera, daya beli saya secara riil terus merosot. Secara relatif, saya semakin miskin. Jika negara ini tahun ini genap 67 tahun merdeka, namun tingkat kemakmuran saya tidak bergerak ke arah yang lebih baik, bahkan secara riil sebenarnya saya lebih miskin, boleh dong saya curiga: pasti ada sesuatu yang demikian serius salahnya dengan (di) negara-bangsa ini!
Kemerosotan daya beli saya tersebut saya ketahui melalui indikator nilai tukar rupiah dibandingkan Dinar emas. Saya membandingkan rupiah dengan Dinar emas, misalnya, semata karena fokus edisi ini kebetulan bertema uang kertas (rupiah, misalnya) versus uang intrinsik dari emas (contohnya Dinar emas). Kalau curiga saya sedang punya agenda tertentu, baiklah, saya juga akan membuat perbandingan rupiah dengan mata uang lain: dolar AS, misalnya.
Jika saya membandingkan nilai tukar antara rupiah dan Dinar emas, hari ini saya sekitar 256.000 kali lebih miskin! Sebesar inilah kemerosotan nilai riil uang rupiah saya terhadap Dinar emas. Yang naik nilai tukarnya sebenarnya bukan Dinar emas. Nilai tukar atau kurs rupiah saya-lah yang menurun.
Ya, kemakmuran rupanya belum beranjak menghampiri saya. Mengapa saya secara riil lebih miskin? Apa gerangan yang terjadi pada uang kertas rupiah saya selama ini? Wah, jangan-jangan karena rupiah saya berbentuk uang kertas? Saya yakin, inilah yang sebenarnya terjadi dengan uang rupiah saya: karena ia berbentuk kertas yang tidak ada nilai instrinsiknya.
Kurs Dinar-Rupiah
Setahun setelah Indonesia merdeka (1946), 1 koin Dinar emas nilai tukarnya terhadap rupiah sebesar Rp 8,5. Pada 1966, saat saya masih kanak-kanak, kurs Dinar emas nilainya Rp 850. Ini artinya nilai riil rupiah saya turun 100 kali. Saya persingkat saja. Pada 30 Oktober 2007, untuk pertama kalinya nilai tukar Dinar emas terhadap rupiah menembus angka Rp 1.000.000. Ini harga Dinar emas yang jauh di atas prediksi semua orang. Pada Mei 2010, 1 keping Dinar emas nilainya sekitar Rp 1.500.000, dan pada awal Agustus 2011 menembus angka Rp 2.000.000. Pada 11 November 2011, kurs Dinar emas sekitar Rp 2.270.000. Pada 9 Mei 2011 sebesar Rp 2.160.000, dan angka ini relatif stabil setelah itu sampai tulisan ini saya susun (simak Tabel).
Tabel Nilai Tukar Dinar Emas terhadap Rupiah, 1946-2016
Kenaikan kurs Dinar emas berhubungan dengan tren kenaikan harga emas. Emas memang instrumen investasi penangkal inflasi. Semakin tinggi laju inflasi biasanya semakin baik kenaikan harga emas. Dalam 10 tahun terakhir, apresiasi Dinar emas terhadap rupiah mencapai 20-25% per tahun. Kenaikan kurs Dinar emas berhubungan dengan tren kenaikan harga emas. Ya, emas memang instrumen investasi penangkal inflasi. Semakin tinggi inflasi biasanya semakin baik kenaikan harga emas. Karena harga emas cenderung naik, orang-orang berpunya sering menjadikan emas sebagai safe heaven. Dalam keadaan normal pun, emas menjadi alat investasi, tabungan yang memberikan perlindungan nilai terbaik terhadap harta.
Perbandingan kurs rupiah dengan Dinar emas yang saya sampaikan sebelumnya barangkali masih rumit untuk menggambarkan betapa pemiskinan yang saya alami secara relatif terjadi melalui uang kertas rupiah saya. Semoga dengan contoh dalam uraian berikut ini saya berhasil menyederhanakannya.
Sebelum krisis moneter (Krismon) 1997, dengan uang Rp 100.000, jika saya membeli telur ayam ras, saya akan beroleh 50 kg, karena saat itu harga telur ayam ras sekilonya Rp 2.000. Tapi beberapa bulan sesudah Krismon, dengan uang itu, saya hanya mendapatkan 13,33 kg, karena harga telur ayam ras naik menjadi Rp 7.500/kg. Dan pada November 2011 saya cuma dapat 6,25 kg telur ayam ras, karena harga telur ayam ras naik menjadi Rp 16.000 sekilo. Saat tulisan ini disusun, dengan uang Rp 100.000, saya tidak akan memperoleh telur ayam ras sebanyak yang saya dapatkan 5 bulan silam.
Daya beli saya juga cenderung melorot jika saya membandingkan rupiah dengan dolar AS yang sama-sama uang kertas. Ketika harga telur ayam ras naik dari Rp 2.000 sebelum Krismon 1997 menjadi Rp 7.500 per kg saat Krismon terjadi, saat itu kurs 1 dolar AS sama dengan Rp 9.000, naik dari Rp 2.000 per 1 dolar AS. Nilai rupiah saya kembali merosot lebih dari 50% ketika harga telur ayam ras naik menjadi Rp 16.000 per kg. Padahal dolar AS masih pada kurs sekitar Rp 9.000/dolar AS. Tidak ada Krismon pun, rupiah saya tetap saja loyo. Dibandingkan dengan sebelum Krismon 1997 dengan hari ini, kurs rupiah di dompet saya nilainya merosot lebih dari 70%. Daftar kemerosotan nilai rupiah dapat saya perpanjang jika saya menggunakan perbandingan dengan memakai barang apa saja. Saya juga mendapatkan kondisi yang sama: daya beli uang kertas rupiah saya terus merosot!
Siapa Perampok Rupiah Saya?
Saya, mungkin juga Anda, sering menyimak pejabat statistik dan lembaga penjaga kebijakan moneter di negeri ini melalui televisi bilang bahwa kenaikan harga barang-barang-lah yang menyebabkan inflasi. Tapi saya tidak percaya. Sebagian ekonom akhirnya memang berterus terang dan menunjuk inflasi-lah biang kerok merosotnya kurs rupiah.
Menurut saya, mereka semua tetap tidak akan bersedia jujur mengatakan yang terjadi sebenarnya dan pangkal persoalannya, bahwa kalau secara relatif saya semakin miskin, penyebabnya ada pada sistem uang kertas – karena rupiah saya bentuknya kertas. Saya yakin mereka pun tidak akan berani menunjukkan kepada saya jika saya bertanya: siapa yang mengambil uang saya, dan bagaimana caranya? Saya yakin ada yang merampok nilai uang saya. Sungguh, perampokan ini sangat halus caranya dan tidak terlihat. Rupiah saya diambil bukanlah melalui fisik kertasnya. Tapi melalui sistem ekonomi ganjil yang berlaku saat ini.
Ilustrasi mengenai perubahan harga telur ayam ras tadi juga menggambarkan betapa uang kertas rupiah saya bukanlah alat takar yang tetap dan pasti. Apalagi jika saya menghubungkannya dengan mata uang lain. Alat takar berat, yakni kilogram misalnya, tetap dan pasti di mana pun. Di pasar becek maupun di laboratorium yang steril.
Yakni 1 kg sama dengan 1.000 gram. Seperti juga 1 liter sama dengan 1.000 mililiter, 1 meter sama dengan 100 sentimeter, atau 1 kilometer sama dengan 1.000 meter. Demikian seharusnya sebuah mata uang, termasuk semestinya juga uang kertas rupiah saya. Namun uang kertas saya ternyata tidak memiliki takaran yang pasti, karena nilainya, menurut saya, hanya fantasi atau ilusi.
Hanya fantasi atau ilusi karena melalui perbedaan “nilai” antar-uang kertas, yang sering disebut kurs, selembar kertas berwarna hijau muda bertuliskan dolar AS denominasi 1 sama nilainya dengan Rp 13.000 saat ini hanya karena nama, gambar, warna dan angkanya berbeda. Yang satu bernama rupiah dan yang lain dolar Amerika Serikat. Akibatnya, uang kertas sama sekali tidak bisa menjadi patokan harga dan nilai sesuatu, yang tiba-tiba berubah hanya karena dinilai dengan uang kertas yang lain. (PM)
Pull-Quote:
Karena harga emas cenderung naik, orang-orang berpunya sering menjadikan emas sebagai safe heaven. Dalam keadaan normal pun, emas menjadi alat investasi, tabungan yang memberikan perlindungan nilai terbaik terhadap harta.