MOHONLAH HIDAYAH HANYA KEPADA ALLÂH AZZA WA JALLA !
Tak akan sirna dari ingatan kaum Muslimin perjuanngan Abu Thalib, paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam membela dakwah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia rela ikut merasa kelaparan saat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat di boikot oleh kuffar qurais, bahkan nyawa pun siap dikorbankan demi membela Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidaklah mengherankan jika kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai beliau. Kecintaan inilah yang mendorong beliau untuk terus meminta pamannya tersebut mengucapkan syahadat saat detik-deik terakhir kehidupannya. Diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa tatkala Abu Thalib akan meninggal, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas mendatanginya. Pada saat yang sama, Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada di sisinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :
أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Wahai, pamanku. Ucapkanlah LÂ ILAHA ILLALLÂH; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu di hadapan Allâh Azza wa Jalla.
Akan tetapi, Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali degan ucapan, “Apakah engkau (Abu Thalib) membenci agama Abdul Muththalib ?” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap di atas agama Abdul Muththalib dan enggan mengucapkan LÂ ILAHA ILLALLÂH. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allâh menurunkan firmanNya.
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allâh) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam”. [At-Taubah/9:113]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu sayangi, tetapi Allâh memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki”. [Al-Qashash/28:56].
Penggalan kisah ini memberikan pelajaran yang teramat berharga tentang betapa hidayah itu memang murni milik Allâh Azza wa Jalla dan hanya diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai makhluk yang paling mulia dan paling dekat dengan Allâh Azza wa Jalla telah berusaha untuk mengusahakan hidayah untuk pamanda, namun takdir berkata lain. Oleh karenanya, hendaknya kita memohon hidayah kepada-Nya.
Kisah ini juga mestinya semakin memotivasi untuk terus bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas anugerahkan hidayah yang telah Allâh Azza wa Jalla berikan kepada kita dengan menjadikan kita sebagai kaum Muslimin. Namun kita tidak boleh lalai dalam menjaga hidayah ini. Karena berbagai fitnah yang datang silih berganti senantiasa mengancam keberadaan hidayah yang ada di dada kita. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan umatnya agar mewaspadai fitnah yang bisa merusak keimanan dan mengancam keberlangsungan hidayah di dati kaum Muslim. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
بَادِرُوْا بِالْأَعْمَـالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْـمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُـؤْمِنًـا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا.
Bersegeralah mengerjakan amal-amal shalih karena fitnah-fitnah itu seperti potongan malam yang gelap; di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan di sore hari menjadi kafir, atau di sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari menjadi kafir. Ia menjual agamanya dengan keuntungan duniawi yang sedikit. [HR. Muslim (no. 118 (186)), at-Tirmidzi (no. 2195), Ahmad (II/304, 523), Ibnu Hibban (no. 1868-Mawârid), dan selainnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]
Do’a yang dipanjatkan oleh seorang Muslim memiliki peran penting dalam menggapai hidayah dan juga dalam upaya mempertahankannya. Karena hati yang merupakan wadah bagi hidayah mudah sekali berbolak balik. Dengan do’a yang diiringi dengan usaha untuk mempertahankan hidayah, pasti hati akan istiqamah di atas hidayah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allâh beserta orang-orang yang berbuat baik. [Al-‘Ankabût/29:69]
Oleh karena itu, hendaklah senantiasa kita bersungguh-sungguh memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar terus diberi hidayah dan agar Allâh Azza wa Jalla memberikan kita kekuatan untuk menjaganya.