MENGGAPAI LAILATUL QADAR
1. Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu? Malam kemuliaan (Lailatul Qadar) itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr : 1-5)
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, yaitu takdir selama setahun. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ad-Dukhan: 3 – 6)
2. Waktunya
Diriwayatkan dari Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bahwa malam tersebut terjadi pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Ini adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan hadits ‘Aisyah -Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda: “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Carilah di sepuluh hari terakhir, jika seorang dari kamu merasa lemah atau tidak mampu maka janganlah sampai terluput tujuh hari sisanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar?
Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa melakukan qiyam (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah -Radhiyallahu ‘anha bahwasanya beliau bertanya: “Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan?” Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam menjawab” “Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah, Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemaaf dan Suka Memaafkan,
maka maafkanlah hamba.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad sahih)
Dari ‘Aisyah -Radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam apabila telah masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (banyak beribadah), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga dari ‘Aisyah -Radhiyallahu ‘anha, belaiu berkata: “Adalah Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) sepuluh hari terakhir yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” (HR. Muslim)
4. Tanda-Tandanya
Dari ‘Ubaiy –Radhiallahu ‘Anhu berkata, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas -Radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda: “(Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya sinar matahari melemah kemerah-merahan.” (HR. Ath-Thayalisi, Ibnu Khuzaimah dan Al-Bazzar dengan sanad hasan)
[Sumber; Kitab ‘Fiqh Ramadhan’, karya Abdullah Sholeh Hadrami]
SEPUTAR PERMASALAHAN I’TIKAF
1. Hikmahnya
Al-Allamah Ibnul Qayyim –rahimahullah berkata: “Dan (Allah) syari’atkan i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat denganNya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata.”
Belaiu juga menyebutkan diantara tujuan i’tikaf adalah agar supaya kita bertafakkur (memikirkan) untuk selalu meraih segala yang mendatangkan ridha Allah dan segala yang mendekatkan diri kepadaNya dan mendapatkan kedamaian bersama Allah sebagai persiapan kita menghadapi kesepian di alam kubur kelak.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin –rahimahullah berkata: “Tujuan dari pada i’tikaf adalah memutuskan diri dari manusia untuk meluangkan diri dalam melakukan ketaatan kepada Allah di dalam masjid agar supaya meraih karunia dan pahala serta mendapatkan lailatul qadar. Oleh sebab itu hendaklah seorang yang beri’tikaf menyibukkan dirinya dengan berdzikir, membaca (Al-Qur’an), shalat dan ibadah lainnya. Dan hendaklah menjauhi segala yang tidak penting dari pada pembicaraan masalah dunia, dan tidak mengapa berbicara sedikit dengan pembicaraan yang mubah kepada keluarganya atau orang lain untuk suatu maslahat, sebagaimana hadis Shafiyyah Ummul Mukminin –radhiallahu anha berkata: “Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf lalu aku mengunjunginya pada suatu malam dan berbincang dengannya, kemudian aku bangkit untuk pulang lalu Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bangkit bersamaku (mengantarkanku).” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Makna I’tikaf
Yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu. Dan dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘akif (orang yang sedang i’tikaf).
3. Disyari’atkannya I’tikaf dan Waktunya
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainnya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Syawwal. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sahabat Umar –Radhiallahu ‘Anhu pernah bertanya kepada Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada jaman jahiliyyah (dahulu), (yaitu) aku akan beri’tikaf semalam di Masjidil Haram ?” Beliau –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam bersabda, “Tunaikanlah nazarmu.” Maka ia (Umar) beri’tikaf semalam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis sahabat Umar ini adalah dalil bahwa i’tikaf boleh dilakukan diluar bulan Ramadhan dan tanpa melakukan puasa, karena i’tikaf dan puasa adalah dua ibadah yang terpisah dan tidak disyaratkan untuk menggabungkan keduanya, ini adalah pendapat yang benar. Diperbolehkan pula i’tikaf beberapa saat (tidak dalam waktu lama). (“Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/508-509 dan 6/511..)
Yang paling utama adalah pada bulan Ramadhan, berdasarkan hadits Abu Hurairah –Radhiallahu ‘Anhu , bahwasanya Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tiba tahun yang dimana beliau diwafatkan, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari. (HR. Bukhari)
Dan yang lebih afdhal lagi adalah pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Ta’ala mewafatkan beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)
Seseorang yang berniat i’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hendaklah memulai i’tikafnya pada hari keduapuluh Ramadhan sebelum matahari terbenam, jadi malam pertamanya adalah malam keduapuluh satu Ramadhan.
(Lihat “Al-Mughni”, Ibnu Qudamah 4/489-491, “Mukhtashar Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab” An-Nawawi 6/211, “Fiqhus Sinnah”, Sayyid Sabiq 1/622-623, dan “Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/521)
4. Hendaklah I’tikaf Dilakukan di Masjid
Hendaklah i’tikaf dilakukan di masjid sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Ayat tersebut juga dalil atas diharamkannya jima’ dan segala pendahuluannya –seperti mencium dan meraba dengan syahwat- bagi orang yang i’tikaf.
I’tikaf boleh dilakukan di semua masjid, akan tetapi yang paling afdhal adalah i’tikaf di tiga masjid (Masjil Haram Mekkah kemudian Masjid Nabawi Madinah kemudian Masjdil Aqsha Palestina) sebagaimana sabda Rasulullah –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam: “Tidak ada i’tikaf (yang lebih sempurna dan afdhal) kecuali di tiga masjid (tersebut).”
(HR. AbduR Razzaq dalam “Al-Mushannaf” (8037) dengan sanad sahih. Lihat “Shifat Shoum Nabi“ hlm 93 dan gabungkan dengan “Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’”, Karya Syaikh Utsaimin 6/505)
5. Wanita Boleh Beri’tikaf di Masjid
Wanita diperbolehkan i’tikaf di masjid bersama suaminya atau sendirian, sebagaimana dikatakan Aisyah –radhiallahu anha : “Bahwasanya Nabi –Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani –rahimahullah berkata: “Dalam hadis tersebut ada dalil bahwa boleh wanita beri’tikaf. Dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu terikat oleh ijin dari wali mereka, aman dari fitnah (hal-hal yang tidak di inginkan) dan tidak terjadi kholwah (berdua-duan) dengan laki-laki berdasarkan dalil-dalil yang banyak tentang hal tersebut dan juga kaidah fiqih: Menolak kerusakan adalah didahulukan daripada mendatangkan kebaikan.”
6. Tidak Keluar dari Masjid Kecuali Seperlunya
Hendaklah orang yang i’tikaf tidak keluar dari masjid selama ’tikaf kecuali seperlunya, sebagaimana dikatakan Aisyah –radhiallahu anha: “Yang sunnah bagi orang i’tikaf adalah tidak keluar kecuali untuk perkara yang mengharuskannya keluar.” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad sahih)
Aisyah berkata pula: “Bahwasanya Rasulullah–Shallallahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam apabila i’tikaf tidak masuk rumah kecuali karena hajat manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keluar dari masjid ketika ’tikaf ada tiga macam:
a). Keluar untuk suatu perkara yang merupakan keharusan seperti, buang air besar dan kecil, berwudhu dan mandi wajib atau lainnya seperti makan dan minum, ini adalah boleh apabila tidak memungkinkan dilakukan di dalam masjid.
b). Keluar untuk perkara ketaatan seperti, menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali apabila dia telah berniat dan mensyaratkannya di awal i’tikaf.
c). Keluar untuk perkara yang menafikan i’tikaf seperti, untuk jual beli, jima’ dan bercumbu dengan isterinya dan semacam itu, hal ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan i’tikaf dan menafikan maksud dari i’tikaf. (“Majalis Syahr Ramadhan” hlm 160. Karya Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin -Rahimahullah)