Di saat Indonesia lagi ramai membicarakan “Hormatilah yang tidak berpuasa”, maka berbeda dengan salah satu contoh yang saya dapatkan dari seorang ibu yang berada di Eropa tepatnya di Jerman. Beliau bukanlah warga negara Indonesia namun lahir di Indonesia.
Di Indonesia, waktu puasanya adalah normal, tidaklah panjang dan tidak pula memberatkan. Namun berbeda dengan lamanya waktu puasa yang dijalankan oleh saudara-saudara kita di Eropa sana. Silahkan para pembaca menilai sendiri, saudara-saudara kita yang di sana bersungguh-sungguh berpuasa namun kita justru berleha-leha dengan puasa sampai keluar kalimat “hormatilah yang tidak berpuasa”. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah..
Ibu tersebut bertanya di grup whatsapp Kajian Al-Amiry, semoga Allah menjaga beliau dan merahmatikeluarga beliau:
“Assalamu’alaikum Ustadz, sehubungan dengan sedikitnya waktu makan bagi kami di Eropa saat Ramadhan, bagaimana jika karena pekerjaan dan sebagainya. Seseorang tersebut. Pada saat tertentu (tidak setiap hari maksudnya), hanya bisa mendapati waktu berbuka dengan makanan yang sedikit sekali, dan pada saat sahur sudah tidak ada waktu lagi untuk makan, sehingga pada saat shaum merasa lapar sekali dan sangat berat. Bolehkah seseorang tersebut membatalkan puasanya dan diganti hari lain? Dan apakah dia juga harus membayar fidyah atau cukup mengqodhonya saja?
Mohon pencerahannya. Jazaakallah khoir.”
Maka ana jawab dengan fatwa syaikh Utsman Al-Khamis hafidzahullah, bahwa dia harus berpuasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun jika dia tidak mampu maka silahkan berbuka dan dia mengqadha di lain hari ketika waktu siang dan malam sudah seimbang.
Mungkin lebih jelasnya, ana bawakan fatwa syaikh Utsman Al-Khamis ketika beliau ditanya tentang puasa kaum muslimin yang berada di Eropa selama 20 jam dan waktu berbuka hanya 3 jam saja, maka beliau menawab:
الله تبارك وتعالى حدد الصيام من الفجر إلى المغرب. هذا أصل في الصيام في أي بلاد الدنيا. إذا شعر الإنسان بالتعب لطول الوقت مثلا وهو مريض فليفطر. الأمر فيه سعة. لا يكلف الله نفسا إلا وسعها ويقضي إذا انتصف الليل والنهار.
“Allah tabaraka wa ta’ala membatasi waktu berpuasa dari terbitnya fajar sampai maghrib (terbenamnya matahari). Inilah waktu berpuasa di seluruh negara manapun. Jika seseorang kelelahan karena panjangnya waktu puasa semisal dan dia sakit maka hendaknya dia berbuka. Perkara ini memiliki keluasan. Tidaklah Allah memberikan taklif kecuali dia memberikan keluasan. Dan dia mengqadha puasanya di hari yang mana siang dan malam sudah seimbang” (Selesai, saya ambil dari fatwa beliau dalam salah satu kajian yang diisi oleh beliau)
Ya, ibu ini dan kaum muslimin di sana berpuasa selama 19 jam dan juga ada yang berpuasa selama 21 jam di tahun ini. Dan itu saya tanya sendiri dan beliau menjawab:
“Iya ustadz.. waktu puasa kami panjang sekali.. Di negara sebelah kami puasanya 21 jam. Ditempat ana cuma 19 jam”.
Dan bukan hanya orang-orang dewasa yang berpuasa. Namun anak-anak mereka juga diajari untuk ikut berpuasa secara full. Ketika ana tanya, apa mampu untuk berpuasa segitu lama maka beliau menjawab:
“Alhamdulillah bisa Ustadz. Putra putri ana alhamdulillah juga ikutan. Walau umurnya masih 9 tahun. Kadang dapat tekanan dari sekolah. Mereka memaksa untuk berbuka. Karena dikira ana dan agama islam telah mendzolimi anak-anak yang masih kecil. Tapi anak ana alhamdulillah ikhlas menjalankannya tanpa paksaan. Jadi gurunya juga tdk bisa memaksa untuk berbuka”.
2- Tentang shalat tarawih.
Bukan hanya berpuasa. Namun ketika tarawih pun mereka memiliki beban yang tidak ringan. Mengapa? Silahkan baca pertanyaan beliau sendiri:
“Assalamu’alaikum Ustadz.. Apakah benar shalat tarawih itu bisa dikerjakan setelah maghrib? Karena ditempat ana maghrib jam 10 malam. Isha jam 12 malam. Fajar jam 3 pagi. Ditempat lain bahkan fajar jam 1 pagi. Jadi tdk ada waktu cukup utk mengerjakan shalat tarawih dan dikarenakan waktunya yg sangat malam menjadikan banyak orang yg tidak datang ke masjid untuk melaksanakan sholat tarawih. Karena mungkin besoknya harus pergi kerja dsb. Mohon pencerahannya (dan sekaligus solusi terbaik buat kami yg tinggal didaerah spt ini). Jazaakallah khoir”
Maka pertanyaan ini, ana jawab dengan fatwa syaikh Abdurrahman Al-Barrak hafidzahullah ta’ala:
“Jika waktu isyanya telat terlalu jauh, maka boleh bagi mereka untuk menjama’ shalat maghrib dan isya dengan jama’ taqdiim (di waktu maghrib). Dan kemudian mereka shalat tarawih setelah itu”.
Lebih lengkapnya ana bawakan fatwa beliau:
لا يجوز لهم أداء صلاة التراويح قبل صلاة العشاء ودخول وقتها ولكن نظرا لتأخر وقت دخول العشاء عندهم : يجوز لهم الجمع بين صلاتي المغرب والعشاء جمع تقديم ، ثم يصلون التراويح بعد ذلك
“Tidak boleh melakukan shalat tarawih sebelum shalat isya dan sebelum waktunya. Akan tetapi karena telatnya waktu isya yang ada pada mereka, maka boleh bagi mereka untuk menjama’ shalat maghrib dan isya dengan jama’ taqdiim. Kemudian shalat tarawih setelahnya” (Selesai bisa lihat di sini)
Alhamdulillah waktu shalat tarawih kita tidaklah memberatkan sehingga dengan mudah kita bisa melaksanakannya.
Mungkin, kalau seandainya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tahu keadaan ummat beliau sekarang yang banyak berleha-leha untuk tidak berpuasa dan tidak menggunakan kesempatan Ramadhan ini, maka beliau akan sangat sedih dan murka ketika melihat ummatnya seperti ini.
Tidakkah kita ingat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda:
جَاءَنِي جِبْرِيلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ: آمِينَ
“Jibril mendatangiku, maka dia berkata: ‘Binasalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan, kemudian bulan ramadhan selesai namun dia belum diampuni’. Maka aku (Rasulullah) berkata: Amiin’” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Semoga kita bukanlah termasuk orang yang celaka yang telah diaminkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Amiin.