Sekarang kita sudah siap untuk menjawab tiga pertanyaan yang telah disebutkan di bagian pertama dari tulisan ini tentang ayat 120 surat al-Baqarah. Dari dalil-dalil yang telah kami sebutkan sebelumnya, kita menyimpulkan bahwa kaum Yahudi dan Nashrani, bahkan kaum kafir dan musyrik secara umum, dengki kepada kaum muslimin secara umum dan ingin menjerumuskan mereka kepada kekafiran.
Jawaban syubhat pertama
Mengapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan kata “kepadamu..” pada ayat 120 surat al-Baqarah tersebut? Apakah maknanya adalah bahwa yang dimaksud oleh ayat itu hanyalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan bukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan bukan juga kaum muslimin secara umum?
Jawabannya adalah bahwa ini termasuk dalam bab mafhuum muwaafaqah. Apa maksudnya? Mari kita perhatikan ayat tersebut. Kaum Yahudi dan Nashrani tidak ridha’ kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik, tapi apa yang menyebabkan mereka tidak ridha’ kepada beliau? Adakah sifat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang layak untuk dibenci oleh mereka? Apakah kepribadian beliau, perilaku beliau, sikap beliau? Tentu tidak! Kita telah tahu bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkenal dengan keteladanan akhlaknya, dengan kelembutan budi pekertinya, dengan kejujuran dan sifat amanahnya, serta sifat-sifat unggul beliau yang lain. Sebelum risalah kenabian turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, semua orang mencintai dan mengagumi beliau. Ini adalah fakta yang banyak disebutkan dalam kitab-kitab sirah, yang tidak mungkin luput oleh kita semua. Namun, setelah beliau diutus menjadi Nabi dan Rasul, barulah mereka kaum kafir menjadi membenci dan memusuhi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memusuhi para sahabat yang mengikuti beliau, walaupun itu anak atau ayah mereka sendiri. Ini berarti faktor yang mereka benci dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah risalah yang beliau bawa, bukan sisi personal beliau seperti akhlak, harta, kedudukan, atau selainnya.
Oleh karena itu, sebenarnya ayat ini bermakna umum. Ketahuilah bahwa dalil umum itu terdiri atas dua macam, yaitu ‘umuum lafzhiy (keumumannya disebabkan oleh keumuman lafazh yang digunakan) dan ‘umuum ma’nawiy (keumumannya disebabkan oleh keumuman makna yang disampaikan). Jika sebuah dalil adalah ‘umuum lafzhiy, maka kita harus memasukkan seluruh makna yang terkandung dalam lafazh tersebut, sampai ada dalil yang memalingkan dari keumuman makna ini. Contohnya adalah kata “al-insaan” pada surat al-’Ashr, harus dimaknai umum mencakup seluruh manusia, sebagaimana keumuman lafazhnya. Adapun jika sebuah dalil adalah ‘umuum ma’nawiy, maka kita harus memasukkan seluruh hal yang memiliki ‘illah (sifat) yang sama dengan ‘illah yang disebutkan dalam dalil tersebut. Contohnya adalah ayat 120 surat al-Baqarah ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didengki dan dibenci karena risalah yang dibawa oleh beliau, maka kaum muslimin pada generasi setelah beliau hingga saat ini, yang juga membawa risalah tersebut, juga akan didengki dan dibenci oleh mereka.
Ini sesuai dengan kaidah,
الحكم يدور مع علته، وجودا وعدما، قوة وضعفا
“Hukum itu berkaitan dengan ‘illah-nya, dalam hal ada atau tidaknya, dalam hal kuat atau lemahnya.”1
Maknanya adalah bahwa jika ‘illah-nya ada, maka hukumnya pun ada. Sebaliknya, jika ‘illah-nya tidak ada, maka hukumnya pun tidak ada. Jika seseorang adalah muslim, maka ‘illah ayat di atas ada padanya, sehingga akibatnya pun akan ada padanya, yaitu kedengkian kaum kafir. Jika ‘illah-nya kuat, maka hukumnya pun kuat. Sebaliknya, jika ‘illah-nya lemah, maka hukumnya pun lemah. Jika seseorang adalah muslim yang fasik, yang sangat hedonis dan mengikuti budaya orang kafir, maka kedengkian kepadanya pun lemah. Namun, jika seseorang adalah muslim yang ta’at, shalih, dan komitmen dengan agamanya dalam setiap langkah kehidupannya, maka kedengkian mereka pun menjadi kuat.
Jika ada yang berkata, “Baik, saya terima bahwa banyak ayat yang menyebutkan bahwa kaum Yahudi dan Nashrani itu dengki kepada kaum muslimin, sebagaimana sebagian ayat yang telah anda sebutkan di atas. Namun, ayat 120 surat al-Baqarah ini maknanya khusus hanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, semua ayat-ayat lain yang telah anda sebutkan tersebut dikenai takhshiish (pengkhususan) oleh ayat 120 surat al-Baqarah. Ayat-ayat lain tersebut memang bermakna umum, namun ternyata dikhususkan oleh ayat 120 surat al-Baqarah ini.”
Maka jawabannya, “Takhshiish dalam kasus ini tidak bisa diberlakukan, karena syarat takhshiish adalah bahwa dalil yang khusus itu haruslah menafikan dalil yang umum.2 Misalnya, pada surat al-’Ashr, disebutkan kata ‘al-insaan’ (manusia) yang merupakan makna umum dan dihukumi akan mengalami kerugian. Kemudian disebutkan pengecualian dari kata ‘al-insaan’ ini, yaitu orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dengan kebenaran, dan saling menasehati untuk sabar. Penggunaan kata ‘illaa’ (kecuali) menunjukkan bahwa hukumnya berbeda, sehingga kita memahami bahwa orang yang memiliki empat karakteristik ini akan beruntung di dunia dan akhirat. Maka, ketika dalil yang khusus menafikan dalil yang umum, seperti pada contoh ini, takhshiish boleh diberlakukan. Namun, dalam kasus yang sedang kita bahas di sini, dalil-dalil yang secara umum menyebutkan kaum muslimin dan ayat 120 surat al-Baqarah yang secara khusus mengacu pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya memiliki hukum yang sama, yaitu kedengkian kaum Yahudi dan Nashrani. Ini menunjukkan bahwa takhshiish tidak sah untuk diaplikasikan dalam kasus ini.”
Jika ada yang berkata, “Baik, saya setuju bahwa takhshiish tidak bisa diberlakukan di sini. Namun, ketahuilah bahwa lafazh umum yang tercantum di banyak ayat yang anda sebutkan di atas, itu sebenarnya merupakan lafzhul-’umuum yuraadu bihi al-khaashsh (lafazh umum tapi yang dimaksudkan adalah makna khusus). Jadi, walaupun lafazh yang digunakan itu bermakna jamak, sehingga kita memaknainya sebagai ‘kaum muslimin,’ namun sebenarnya yang ingin disampaikan oleh lafazh-lafazh umum tadi adalah makna khusus, yaitu hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kedengkian dan ketidaksenangan dari kaum Yahudi dan Nashrani itu hanya tertuju pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini bukan termasuk bab takhshiish, karena dari awal saya tidak mengklaim bahwa lafazh-lafazh umum tersebut bermakna umum. Namun, saya katakan bahwa ini adalah lafazh umum tapi yang dimaksudkan adalah makna khusus.”
Maka jawabannya, “Absyir (berbahagialah) yaa akhiy. Bagimu hadits ini,
عن ثوبان مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يوشك أن تداعى عليكم الأمم من كل أفق كما تداعى الأكلة على قصعتها. قال: قلنا: يا رسول الله أمن قلة بنا يومئذ؟ قال: أنتم يومئذ كثير ولكن تكونون غثاء كغثاء السيل، ينتزع المهابة من قلوب عدوكم ويجعل في قلوبكم الوهن. قال: قلنا: وما الوهن؟ قال: حب الحياة وكراهية الموت.
‘Dari Tsaubaan, mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hampir-hampir umat-umat kafir saling menyeru untuk menyerang kalian dari segenap penjuru, sebagaimana orang-orang (yang lapar) sedang mengerumuni hidangan makanan. Dia (Tsaubaan) berkata: Kami (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah pada waktu itu kami sedikit? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Bahkan pada waktu itu kalian berjumlah banyak, akan tetapi kalian bagai buih, seperti buih banjir. Allah mencabut rasa takut kepada kalian dari hati-hati musuh kalian, dan memasukkan al-wahn kepada hati-hati kalian. Dia (Tsaubaan) berkata: Kami (para sahabat) bertanya: Apakah itu al-wahn? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Cinta dunia dan takut mati.’3
Dari hadits ini, jelaslah bahwa kedengkian dan kebencian kaum kafir itu juga ditujukan kepada kaum muslimin, baik di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun jaman setelahnya. Karena mereka semua memiliki ‘illah yang sama, yaitu risalah tauhid dan agama Allah yang lurus. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa ayat 120 surat al-Baqarah tersebut secara tekstual hanya mengacu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ini termasuk dalam bab lafzhul-khaash yuraadu bihi al-’umuum (lafazh khusus tapi yang dimaksudkan adalah makna umum), yaitu dengan cara at-tanbiih bil-a’laa ‘alal-adnaa (mengarahkan pada hal yang lebih rendah dengan menyebutkan hal yang lebih tinggi). Yaitu, sebab mengapa hanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan pada ayat 120 surat al-Baqarah ini adalah karena beliaulah yang paling didengki dan dibenci oleh kaum Yahudi dan Nashrani, bahkan oleh kaum kafir seluruhnya, karena beliau adalah yang membawa risalah agama ini. Walaupun demikian, orang lain selain beliau dari kalangan kaum muslimin juga mendapatkan porsi kedengkian ini sesuai derajat keimanan mereka, karena ‘illah-nya adalah agama Allah yang haq, bukan pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang. Dan kami telah jelaskan tentang hal ini sebelumnya.”
Ini menjawab pertanyaan 1, alhamdulillah.
Jawaban syubhat kedua
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang Yahudi dan Nashrani” yang disebutkan di ayat 120 surat al-Baqarah tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani tertentu yang ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan asbaabun-nuzuul ayat tersebut.
al-Baghawiy rahimahullah berkata,
وقال ابن عباس رضي الله عنهما : هذا في القبلة وذلك أن يهود المدينة ونصارى نجران كانوا يرجون النبي صلى الله عليه وسلم حين كان يصلي إلى قبلتهم فلما صرف الله القبلة إلى الكعبة أيسوا في أن يوافقهم على دينهم
“Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Ayat ini tentang kiblat, yaitu bahwa kaum Yahudi Madinah dan Nashrani Najran mengharapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat menghadap kiblat mereka. Maka ketika Allah memalingkan kiblat (kaum muslimin) kepada Ka’bah, mereka lantas berputus asa dari keinginan mereka tersebut, yaitu agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikuti agama mereka.’”4
Berdasarkan penjelasan yang telah kami paparkan sebelumnya, bahwa kita harus mengambil keumuman lafazh dan bukan kekhususan sebab, maka kita katakan bahwa mengkhususkan lafazh “orang-orang Yahudi dan Nashrani” kepada orang-orang Yahudi Madinah dan Nashrani Najran di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kesalahan. Ini menjawab pertanyaan 2, alhamdulillah.
Jawaban syubhat ketiga
Lalu apa yang dimaksud dengan kata “millah” pada ayat 120 surat al-Baqarah tersebut? Apakah “millah” artinya adalah “jalan”, sehingga kaum Yahudi dan Nasrani bukan ingin mengajak umat Muslim ke agama mereka namun sekedar ke “jalan” mereka?
Maka silahkan lihat ayat-ayat lain yang telah disebutkan sebelumnya untuk mencari tahu apa yang dimaksud. Misalnya, kami bawakan kembali ayat berikut,
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّـهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّـهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Banyak dari kalangan ahli kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki (yang timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintahNya. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (al-Qur’an, surat al-Baqarah, ayat 109)
Dari ayat ini, jelaslah bahwa yang dimaksud “millah” adalah agama, karena kaum kafir ingin mengembalikan kaum muslimin menuju kekafiran. Memang benar bahwa al-Baghawiy rahimahullah menafsirkan kata “millah” ini dengan makna “jalan,”5 sehingga ada yang beranggapan bahwa maknanya bukanlah agama. Pendapatnya ini berusaha untuk diperkuat dengan menukil asbaabun-nuzuul dari ayat ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Baghawiy rahimahullah dan yang telah kita nukil sebelumnya, yaitu tentang orang-orang Yahudi Madinah dan Nashrani Najran yang ingin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat menghadap kiblat mereka. Namun, bukankah permasalahan kiblat itu adalah termasuk dari agama?
Selain itu, Ibn Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa,
وقد استدل كثير من الفقهاء بقوله: (حتى تتبع ملتهم) حيث أفرد الملة على أن الكفر كله ملة واحدة كقوله تعالى: (لكم دينكم ولي دين)، فعلى هذا لا يتوارث المسلمون والكفار، وكل منهم يرث قرينه سواء كان من أهل دينه أم لا، لأنهم كلهم ملة واحدة، وهذا مذهب الشافعي وأبي حنيفة وأحمد في رواية عنه.
“Banyak ahli fiqh berdalil dengan menggunakan firman Allah Ta’ala, ‘Hingga kamu mengikuti millah mereka,’ di mana Allah menggunakan bentuk tunggal untuk ‘millah,’ yaitu bahwa seluruh kekafiran itu adalah millah yang satu, seperti firman Allah Ta’ala, ‘Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.’ Oleh karena itu, seorang muslim dan kafir tidak saling mewarisi. Dan setiap dari orang kafir itu mewarisi kerabatnya (yang sama-sama kafir), baik apakah kerabatnya itu beragama sama dengannya atau tidak, karena semua dari mereka itu memiliki millah yang satu. Ini adalah madzhab asy-Syafi’iy, Abu Hanifah, dan Ahmad dalam sebuah riwayat dari beliau.”6
Perhatikanlah bagaimana para ulama’ madzhab tersebut, yaitu Imam asy-Syafi’iy, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad memahami kata “millah” ini sebagai agama. Ini adalah pemahaman mereka, dan metode kita dalam beragama adalah dengan mengikuti pemahaman mereka, para generasi terdahulu, rahimahumullah. Ini menjawab pertanyaan 3, alhamdulillah.
Untuk menutup tulisan ini, kami ingin mengingatkan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin, bahwa hendaknya kedengkian dan kebencian kaum kafir ini tidak boleh menjadikan kita untuk tidak berbuat adil kepada mereka. Kita harus tetap berbuat adil kepada mereka dengan cara memberikan mereka haknya, dengan mengharap Wajah Allah, bukan mengharap pujian mereka atau siapapun juga. Jika kita bertetangga dengan orang kafir, misalnya, maka berikanlah ia haknya sebagai tetangga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّـهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ * إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّـهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak pula mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sungguh Allah hanya melarang kalian untuk ber-wala’ kepada orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan yang mengusir kalian dari negeri kalian dan membantu (orang lain) untuk mengusir kalian. Barangsiapa yang ber-wala’ kepada mereka, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (al-Qur’an, surat al-Mumtahanah, ayat 8-9).
Wallaahu a’lamu bish-shawaab.