Tidak Golput, Sing Penting Ojo Kuwi

Berbicara masalah politik menurut sebagian orang tabu. Iya memang kalau tidak ada urgensinya, memang tidaklah penting. Apalagi saban waktunya hanyalah untuk politik, melupakan agamanya. Namun pembicaraan ini kadang menjadi urgent tatkala masyarakat bingung manakah yang mesti dicoblos ketika digelontorkan pada dua pilihan. Yang satu sekuleris, yang satu lebih ringan mudaratnya. Kami memilih tidak golput, namun sing penting ojo kuwi.

Memberi Saran untuk Memilih

Jika ada yang meminta nasehat untuk memilih salah satu pilihan, maka boleh kita memberikan saran dan masukan, lantas mengkritik salah satunya dan menyarakankan memilih yang lebih mending. Perhatikan tentang kisah Fatimah binti Qais ketika meminta saran pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, manakah di antara pilihan yang mesti ia pilih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyarankan pada Fatimah binti Qais radhiyallahu ‘anha untuk menikah dengan Usamah, dibanding dengan dua laki-laki yang telah melamarnya yaitu Mu’awiyah dan Abu Jahm. Beliau berkata pada Fatimah,

أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ ».فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ « انْكِحِى أُسَامَةَ ». فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ بِهِ.

“Abu Jahm itu biasa memukul istri. Sedangkan Mu’awiyah itu miskin (tidak punya banyak harta). Nikahlah saja dengan Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Aku awalnya enggan.” Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap mengatakan, “Nikahlah dengan Usamah.” Akhirnya, aku memilih menikah dengan Usamah, lantas Allah mengaruniakan dengan pernikahan tersebut kebaikan. Aku pun berbahagia dengan pernikahan tersebut. (HR. Muslim no. 1480).

Jadi tak ada salah jika mengghibah (menggunjing) dalam kondisi memberikan saran pada orang yang butuh seperti yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala memberikan saran pada Fatimah binti Qais.

Memilih yang Lebih Ringan Mudaratnya

Ibnu Taimiyah berkata,

لَيْسَ الْعَاقِلُ الَّذِي يَعْلَمُ الْخَيْرَ مِنْ الشَّرِّ وَإِنَّمَا الْعَاقِلُ الَّذِي يَعْلَمُ خَيْرَ الْخَيْرَيْنِ وَشَرَّ الشَّرَّيْنِ

Orang yang cerdas bukanlah orang yang tahu mana yang baik dari yang buruk. Akan tetapi, orang yg cerdas adalah orang yang tahu mana yang terbaik dari dua kebaikan dan mana yang lebih buruk dari dua keburukan.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 54).

Para ulama juga biasa menyatakan suatu kaedah,

ارْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

Mengambil bahaya yang lebih ringan.

Kaedah di atas bisa kita bisa ambil dari kisah Khidr yang disebutkan dalam ayat berikut,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al Kahfi: 79).

Lihatlah apa yang dilakukan oleh Khidr adalah untuk mengambil bahaya yang lebih ringan dari dua bahaya yang ada. Khidr sengaja menenggelamkan kapal milik orang miskin, ini adalah suatu mafsadat (bahaya). Namun bahaya ini masih lebih ringan dari hilangnya seluruh kapal yang nanti akan dirampas oleh raja yang zalim.

Begitu pula ayat yang menceritakan bahwa Khidr membunuh seorang anak karena khawatir orang tuanya tersesat dalam kekafiran, itu juga mendukung kaedah yang dimaksud. Dalam ayat disebutkan,

وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا

Dan adapun anak muda itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.” (QS. Al Kahfi: 80). Membunuh anak muda itu adalah suatu mafsadat, sedangkan kesesatan dan kekafiran adalah mafsadat yang lebih besar.

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani membuat kaedah,

ارتكاب أخف المفسدتين بترك أثقلهما

Mengambil mafsadat yang lebih ringan dari dua mafsadat yang ada dan meninggalkan yang lebih berat.” (Fathul Bari, 9: 462)

Dalam kitab yang sama, Ibnu Hajar juga menyatakan kaedah,

جواز ارتكاب أخف الضررين

Bolehnya menerjang bahaya yang lebih ringan.” (Fathul Bari, 10: 431)

Penerapan kaedah di atas bisa diterapkan pada masalah lainnya seperti kita dapat melihat dalam ayat yang menyatakan bolehnya memakan bangkai,

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173). Di sini nampak ada dua mafsadat. Mafsadat pertama, diri bisa binasa (mati). Mafsadat kedua, memakan bangkai. Ketika bertabrakan dua mafsadat semacam ini, maka yang ditinggalkan adalah maslahat yang lebih besar dan memilih mafsadat lebih ringan yaitu memakan bangkai.

Kaedah itu pun bisa diterapkan tatkala memilih seorang pemimpin dengan jalan Pemilu. Ada dua mafsadat (kerusakan) dalam Pemilu. Pemilu sendiri bukanlah jalan syar’i. Namun jika tidak memilih maka akan membesarkan ruang gerak para penjahat, musuh Islam, kaum liberal dan Syi’ah. Karena mempertimbangkan kaedah ini, jadinya memilih caleg muslim dan baik lalu kerusakan yang lebih ringan yang dipilih.

Daripada Memilih yang Lebih Rusak

Guru penulis, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir Al Barrok -ulama besar di Kerajaan Saudi Arabia-berkata,

“Munculnya cara pemilihan umum tingkat daerah dan semacamnya, atau pemilihan penguasa pada wilayah lainnya adalah di antara bentuk taqlid (sekedar ikut-ikutan) dan tasyabbuh (menyerupai orang kafir) yang dimasukkan atau diimpor ke tengah-tengah kaum muslimin.

Asalnya (yang benar), ulil amri (kepala negara) berijtihad untuk memilih orang yang capable (memiliki kemampuan) dan sholeh untuk mengurusi rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Ulil amri di sini meminta nasehat kepada orang-orang yang ahli di bidangnya dan menghendaki kebaikan bersama. Akan tetapi, jika rakyat diminta untuk menyumbangkan suara dalam pemilihan, maka hendaklah para penuntut ilmu (yang perhatian pada agamanya), juga orang-orang yang baik-baik ikut serta dalam memilih caleg yang baik dari sisi agama dan dunia. Hal ini dilakukan agar orang-orang bodoh, orang yang gemar bermaksiat (fasiq), dan orang yang sekedar mengikuti hawa nafsu tidak menang dengan memilih pemimpin yang sesuai dengan hawanya (keinginannya) dan orang yang sejenis dengan mereka. Jika orang-orang baik turut serta memilih, maka ini akan memperbanyak kebaikan, kejelekan pun berkurang sesuai dengan kemampuan yang ada. Sunggun Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At Taghaabun: 16). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az Zalzalah: 7)

Hikmah dari ini semua: Seorang hendaknya berusaha mewujudkan kebaikan sesuai dengan kemampuannya dan bukan kewajiban baginya untuk menyempurnakan tujuan.

Kita memohon kepada Allah untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin dan semoga Allah menjadikan pemimpin adalah orang-orang terbaik di antara mereka. Wallahu a’lam.” (Fatwa Ulama Tentang Coblos dalam Pemilu)

Meminimalkan Ruang Gerak Penjahat

Kita tahu bahwa demokrasi bukanlah cara Islam dalam memilih pemimpin. Namun agama ini bisa saja jadi tegak lewat orang-orang yang fajir atau keji. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ta’ala anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal pada saat perang Khoibar untuk menyeru manusia dengan mengatakan,

إِنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ

Sejatinya tidak ada yang dapat masuk surga kecuali jiwa-jiwa yang beriman. Namun demikian kadang kala Allah meneguhkan agama ini lewat orang yang fajir (keji, ahli maksiat)” (HR. Bukhari no. 3062 dan Muslim no. 111)

Sebagian saudara kita memberikan tanggapan bahwa sungguh sia-sia keberadaan orang baik di Parlemen. Atau mereka katakan bahwa partai adalah hasil demokrasi yang sudah barang tentu menyimpang dari ajaran Islam. Komentar seperti ini tidak tepat sasaran.

Ingat bahwa menggunakan hak suara dalam Pemilu bukan dalam rangka mencari pemimpin yang akan menegakkan Islam, namun dalam rangka meminimalkan ruang gerak para penjahat dan musuh Islam.

Lihatlah dahulu, pada awal kedatangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Madinah, beliau membuat perjanjian damai atau kerjasama dengan kaum Yahudi untuk mempertahankan kota Madinah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepenuhnya memahami bahwa Yahudi tidak akan membela Islam apalagi menegakkan syari’at Islam. Beliau melakukan hal itu untuk meminimalkan ancaman dan resiko serangan kafir Quraisy dan sekutunya. Kisah perjanjian tersebut dimuat dalam kitab-kitab sirah dan dikisahkan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka.

Demikian fatwa ulama yang membolehkan menggunakan hak suara pada Pemilu mendatang juga maksud mereka adalah seperti itu.

Memilih untuk Golput?

Golput dalam pemilihan Presiden kali ini apakah tepat?

Menurut kami, cobalah ditimbang-timbang. Karena salah satu pesaing bila terpilih akan membuat ibu kota kita akan dikuasai non muslim dan ini berarti terulang untuk kedua kalinya. Partainya pun terkenal sekuler, menentang ditutupnya tempat prostitusi dan menolak Perda larangan Miras. Syi’ah dan non muslim akan berani menyuarakan aspirasinya karena banyak wakil rakyat seperti itu di partai tersebut. Sedangkan lawannya lebih cenderung membela Islam dan pernah menyuarakan untuk mencegah lajunya aliran sesat di tanah air.

Masih terlalu banyak di antara kita yang tidak terbiasa dan gerah menghadapi perbedaan pendapat dalam wilayah ijtihadiyah. Namun tetaplah hal ini mesti disampaikan walau itu pahit. Abu Dzarr pernah dinasehati oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَأَمَرَنِى أَنْ أَقُولَ بِالْحَقِّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا

Beliau memerintahkan untuk mengatakan yang benar walau itu pahit.” (HR. Ahmad 5: 159. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih, namun sanad hadits ini hasan karena adanya Salaam Abul Mundzir)

Kami membicarakan masalah Capres kali ini karena tuntutan maslahat. Setiap muslim bingung, manakah yang harus dipilih. Namun kecenderungan kami pada satu capres bukan berarti itu jadi pendapat Salafi secara umum, yang lain barangkali lebih senang memilih Golput dan kami pun tidak memaksa.

Semoga Allah menganugerahkan kepada kita pemimpin yang terbaik. Apa pun hasil pemilihan presiden besok, tetap wajib ditaati. Walau ternyata pemimpin tersebut bukan pilihan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِى عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ

Hendaklah engkau dengar dan taat kepada pemimpinmu baik dalam keadaan sulit maupun dalam keadaan mudah, baik dalam keadaan rela ataupun dalam keadaan tidak suka, dan saat ia lebih mengutamakan haknya daripada engkau.” (HR. Muslim no. 1836).

Namun ikhtiyar mesti ada, demi meraih yang terbaik. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Selesai disusun menjelang Ashar, 22 Rajab 1435 H di Pesantren DS Gunungkidul

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Tentang Administrator Mahad

Cek Juga

KOK BERAT..?

Bulan ramadhan adalah bulan yang dilipat-gandakan amal.. Namun sebagian orang merasa berat untuk melaksanakan amal …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *